Terima kasih, Om!
“Jadi, aku memanggilmu apa? Kak, bang atau om?”
“Kok om sih, emang aku setua itu?” Seruan protesmu, membuatku tertawa hari ini.
Kukira, kita hanya akan terus bersapa melalui tulisan di media. Paling banter, pertemuan layar muka dalam webinar daring. Itu pun dalam keadaan yang kebanyakan offcam, membuka izin kamera ketika sesi foto di akhir acara saja. Namun, pertemuan pertama kita Sabtu pagi ini ternyata benar-benar terjadi. Kebetulan yang tak direncanakan. Rasanya ingin bersembunyi saja.
“Memang tua kan, beda berapa tahun tuh sama dia?” Istrimu menyeletuk, sambil ikut tertawa bersamaku. Ah, dua pasangan idolaku benar-benar nyata di hadapan!
“Umurnya seusia omku yang paling muda sebenarnya. Tapi juga, seusia kakak iparku yang paling tua,” jawabku akhirnya.
“Nah, pilih tuh. Mau jadi om-om muda atau kakak tua?” Tawaku meledak lagi mendengar ledekan dari wanita di sampingmu. Kalian bercanda secair ini, ternyata memang seperti yang ada dalam tulisan-tulisanmu selalu ya. Bukan hanya pencitraan, sebagaimana yang sering terjadi di balik layar kaca.
“Aku panggil om aja deh, supaya lebih khidmat. Supaya aku sadar umur, gak bercanda mulu sama om,” ujarku memutuskan. Kamu hanya mengangguk setuju, seakan menyerahkan segala keputusan kepadaku.
“Jadi apa yang ingin kamu tanyakan di pagi hari yang cerah ini, wahai keponakanku?” tanyamu, berusaha memasang wajah berwibawa. Hanya beberapa detik, tawamu menyembur kembali yang disusul tawa istrimu. Apa kita akan menghabiskan waktu untuk tertawa saja hari ini?
“Duh, maaf ya. Dia memang begini setelannya, bercanda mulu!” Istrimu menyenggol bahumu pelan, di sela-sela tawanya yang memudar.
“Ehm, serius kalau gitu om. Pertama-tama, ini!” Kuserahkan buku yang sudah kusiapkan sejak di rumah tadi. “Minta tanda tangan, ya!” pintaku cengengesan.
“Wah, buku pertama yang orang udah lupain. Kamu masih simpen ya?” Berbinar matamu, mengambil buku di tanganku. “Padahal isinya cuma omelan dan marah-marah, kok kamu mau beli sih?” tanyamu sembari membuka halaman demi halaman. Sepertinya kamu bernostalgia ya?
Istrimu ikut semringah, melirik halaman yang sedang kamu baca. “Padahal udah banyak bukunya si om ini yang lebih bagus. Udah berapa sih? Lima puluh ya?”
“Gak tahu, lebih kali,” jawabmu sekenanya.
“Iya tuh. Malah banyak juga yang udah jadi bestseller. Dapat kesempatan gini, kamu malah minta tanda tangan di buku gak laku yang isinya cuma marah-marahnya om-om?” tanya istrimu jenaka.
“Tapi buku ini yang paling memorable sih buat aku. Ditulis ketika baru coba terjun ke dunia kepenulisan, niatnya cuma buat meluapkan stres. Mana ada tuh perhatiin kaidah PUEBI, atau kata-kata baku. Pokoknya mah, hantam aja,” timpalmu terkekeh. “Tapi benar-benar berharga buat aku.”
“Buatku juga,” ucapku lirih. Wajahmu menoleh padaku, meminta penjelasan. “Buku ini langsung kuorder setelah membaca tulisan-tulisan om di blog. Bagaimana om bisa melepaskan seluruh emosi itu dalam tulisan, tanpa takut pandangan orang lain. Tanpa takut dijudge. Menurutku, itu keren banget. Bagiku saat itu, yang menulis deskriptif tentang suatu hal aja masih sering takut, om keren banget!” jelasku pelan. “Aku beli buku itu, dan aku baca berkali-kali buat yakinin diri. Yakinin diri untuk menulis apa yang aku suka, apa yang aku mau, tanpa khawatir oleh pandangan dunia. Terutama kalau itu kebaikan, kenapa nggak? Iya kan Om?” Kurasa, mataku sedikit berkaca-kaca.
Kamu berhenti membalik-balikkan halaman buku itu. Sebagai gantinya, helaan napas panjang terdengar berhembus dari mulutmu. “Aku… gak sekeren itu. Aku juga takut kok. Aku juga berjuang, selalu bertengkar dalam kepala agar bisa terus maju dan berkarya.”
“Terima kasih ya, Om, selalu berjuang. Untuk buku ini, dan untuk tulisan-tulisan Om selama ini. Terima kasih, karena tak pernah berhenti untuk memberi dukungan mental. Selalu mendorongku melalui tulisan yang om posting, secara langsung maupun tak langsung. Sampai aku pun bisa seperti hari ini. Meskipun gak sekeren Om sih…” Kukeluarkan tawa kecil di akhir, menutup getaran suara yang sepertinya bisa berubah sewaktu-waktu.
“Terima kasih juga ya, kamu juga sudah bertahan. Mari terus berjuang!”
“Selama yakin kamu berada di atas kebaikan, lanjutkan aja. Begitu ya, Om?” Kamu pun mengangguk mantap, sambil mengacungkan jempol. Menerbitkan senyumanku yang paling lebar.
Komentar
Posting Komentar