Spin-off novel, Percakapan Malam Terakhir
“Putri kita sudah tidur, sayang?” Seorang pria dewasa dengan janggut tipis di dagu duduk lebih tegak tatkala menyadari kedatangan istrinya. Ia menepuk tempat di sampingnya pelan, mempersilahkan wanita kesayangannya itu ikut duduk beralaskan tikar bersamanya.
“Iya, akhirnya ketiduran. Tapi masih sambil sesenggukan sedikit di dalam mimpi tuh,” ucap sang istri tertawa miris. Kepalanya ia letakkan di bahu sang suami yang kokoh, bahu yang selama ini sudah menanggung begitu banyak tanggung jawab.
“Kasihan…”
“Aku sebenarnya mau ngeluh… Bahkan mau ngelarang Abi buat pergi. Tapi gak boleh kan ya?” Wanita itu kembali terkekeh pelan. Temaram lampu ruang keluarga dan udara malam yang berhembus dingin menggerakkan tangannya, mendekap tubuh hangat pria di sampingnya.
“Ummi sedih juga, ya?” tanya pria itu tersenyum. Dielusnya rambut sang istri perlahan.
“Sedih itu fitrah manusia kan? Apalagi ditinggal sama orang paling ganteng sedunia, wajar dong kalau aku sedih.” Wanita itu tertawa lagi. Sang suami memandangnya lama.
“Kalau sedih… Kenapa tertawa terus?” Pertanyaan yang diajukan membuat sang istri mendongakkan kepala, memandang sepasang mata di hadapannya.
“Ehm.. Karena…”
“Kalau sedih, gak apa-apa. Menangis aja. Pundakku siap untuk basah kok, malam ini.” Sedetik setelah berucap demikian, pria itu merasa getaran halus dari tubuh istrinya. Tangan liatnya ia gerakkan, merengkuh tubuh mungil yang selama ini setia mendampingi, bagaimanapun keadaan yang terjadi.
“Hiks… Aku takut, Abi.. Aku takut banget…”
“Mmh..” Sang suami menganggukkan kepala, merasa harus memberi respon minimal.
“Aku takut gak bisa jaga Aisyah selama Abi pergi. Aku takut gak bisa handle semua urusan di rumah. Aku takut… Aku takut kangen sama Abi, dan malah menangis tanpa daya di depan Aisyah.” Wanita itu terisak-isak dalam dekapan yang semakin kuat.
“Tidak apa-apa, tidak apa-apa. It’s okay.” Sang suami menepuk pelan bahu istrinya yang terguncang hebat. Ia membiarkan istrinya meluapkan segala resah dalam dada, tanpa memotongnya kecuali dengan sedikit respon. Sekadar memberi tahu bahwa ia ada di sisinya, mendengarkan penuh seksama.
Satu jam berlalu bersama isakan tangis, emosi wanita itu akhirnya mulai mereda. Ia menyembunyikan muka, malu akibat telah menangis begitu hebat.
“Udah selesai nangisnya?” tanya sang suami. Pipi sang istri ditangkupkan lembut, hidung merah dan mata yang basah membuatnya terlihat lebih imut. “Sayang… Aku pun berat harus pergi meninggalkan kalian. Tapi ini adalah jalan yang mungkin Allah takdirkan untukku. Untuk mengejar realisasi impian kita. Impian dunia dan akhirat kita.” Wanita itu memandangnya dalam. “Sayang, apa pun yang terjadi, selalu sandarkan diri pada Allah ya? Selalu minta kekuatan dari Allah. Selalu optimis, bahwa Allah akan membantu. Tidak apa-apa sekali-kali menangis, tidak apa-apa sekali-kali merasa rapuh. Tapi… tolong. Tolong jangan lupa untuk menangis dalam sujud-sujud panjang. Jangan merasa rapuh, merasa tidak berdaya, kecuali di hadapan Allah. Sebab, kita sebagai makhluk yang lemah, memang hendaknya selalu merasa rapuh dan butuh pada Allah.”
“Iya, Abi…” ucap sang istri lirih.
“Doakan aku ya, sayang. Semoga perjalanan ini dihitung sebagai jihad di jalan Allah, semoga Allah kumpulkan kita kembali dalam keadaan lebih baik dan semakin saling menyayangi.” Pria itu mengecup dahi istrinya lama. Lamaa sekali. Tanpa mereka tahu, bahwa kecupan itu adalah kecupan terakhir mereka di dunia.
Komentar
Posting Komentar