Bab 12, Percakapan di Meja Makan

Jam lima sore, hujan deras menyambut kepulangan mereka di rumah. Aisyah segera memarkirkan motornya ke bawah kanopi yang lebih teduh, sementara Eliza yang telah loncat lebih dulu berlari-lari kecil ke arah belakang. Ada jemuran yang belum diangkat sejak pagi. 


Ummi menyambut mereka dengan wajah yang sedikit khawatir. “Deras banget hujannya. Kenapa gak pakai jas hujan?” 


“Baru hujan ini, Mi, pas kita udah nyampe depan gerbang. Nih Aisyah cuma basah sedikit. Tapi emang langsung deras.” Aisyah mengusap-usap jilbabnya yang sedikit basah. Setelah turun dari motor, ia mengambil kain lap yang ada di jok dan mulai menyeka tas punggungnya. 


“Eliza mana?” 


“Ngambil jemuran, Mi!” seru Eliza yang tiba-tiba muncul dari belakang. Di tangannya, tertumpuk pakaian setengah basah yang diambil buru-buru. 


“Loh, perasaan tadi gak ada pakaian dijemur Ummi lihat?” 


“Ada kok, tadi aku jemurnya emang agak di pojok. Jadi gak kelihatan dari jendela. Niatnya pengen diangin-anginin bentaran aja sih tadi pagi, eh malah lupa diangkat kembali.” Ummi menggeleng-gelengkan kepala mendengar penuturan sang gadis. 


“Ya sudah, makan dulu, yuk. Kebetulan habis masak sop, enak nih hujan-hujan gini. Cepet ganti baju Aisyah, motornya gak usah dilap semua. Nanti basah lagi tuh kena tampias. Eliza juga, pakaiannya digantung lagi. Kalau lembab gitu langsung dilipat, bisa ikut apek semua baju-baju di lemari.” Intruksi Ummi menghentikan kegiatan Aisyah mengeringkan bagian-bagian motornya. Eliza mengacungkan jempol, lalu berjalan sedikit terhuyung menuju kamarnya. 


Baru saja meletakkan bajunya di kasur, terdengar suara ketukan halus di pintunya. Eliza segera membuka, dan muncul wajah Ummi di baliknya. “Udah dijemurnya?”


“Belum nih, hehe. Bingung mau disimpan di mana.” 


“Nih, Ummi bawain hanger tambahan. Kamu jemur-jemur nih, di sini. Di pinggir jendela.” Ummi mengambil sehelai baju dan menggantungkannya di jendela. “Yang kecil-kecil aja di sini. Seperti ini, ini juga,” katanya kembali mengambil beberapa baju. “Sisanya bawa ke samping tuh, di bawah kanopi. Dilebarin gini ya, supaya kena angin. Jemurannya agak dimasukin ke dalam supaya gak kena tampias.” Eliza hanya menganggukkan kepala mendengar penuturan wanita di hadapannya. 


Ummi juga cerewet, seperti Mama. Itu yang ia simpulkan pertama kali ketika tiba di rumah Eliza. Ia menginstruksikan banyak hal sesampainya di rumah. Di hari kelima, beliau bahkan masuk ke kamar–dengan izin Eliza tentunya dan membantu mengatur letak-letak barang dan lemari yang kurang rapi. “Bagusnya baju ditumpuknya sama baju juga, kayak gini nih. Kalau digabung dengan celana, jadinya kurang rapi, iya gak? Lebih mudah juga ngambilnya nanti kalau Eliza butuh cepat.” 


Ummi memang banyak bicara, tapi rasanya beda. Ia merasa membutuhkan kalimat panjang yang keluar dari ibu kosnya itu. Terutama karena kondisi terakhirnya di rumah sudah tak pernah lagi mengurus diri sendiri, pakaian selalu tersedia di lemari, sudah disetrika rapi. Makanan terus tersedia, tinggal membuka tudung di meja makan. Kadang berat, dan dia merasa ingin menyerah. Namun, Ummi dan Aisyah mengajarkannya dengan telaten tentang hal-hal dasar, tanpa nada merendahkan sedikit pun. Sedikit-sedikit, tangannya mulai terlatih kembali mengucek pakaian atau menyapu kamarnya yang tidak besar itu. 


“Ayo cepat, dibawa pakaiannya. Terus makan, sebelum supnya dingin. Ummi duluan, ya.” Ucapan Ummi membuatnya bergerak sedikit lebih cepat, ia segera menyelesaikan menjemur pakaian hingga jendela tak muat lagi, lalu membawa sisanya ke bagian samping rumah. 


Eliza bergabung ke meja makan hampir bersamaan dengan Aisyah. Rambutnya digerai, sedikit basah. Ada handuk yang masih tersampir di bahunya. Mereka pun langsung mengisi piring masing-masing dengan sup ayam yang masih mengepulkan asap. Perut yang kosong sudah meronta melihatnya. 



“Ada acara apa sore tadi?” Ummi membuka obrolan di meja, seperti biasa. 


“Ada alumni yang datang, Mi. Namanya Kak Syakira. Dia tuh ya, Maasyaa Allah…” Aisyah mengambil gelas dan meminumnya. “Dia dulu siswa berprestasi di sekolah. Suka ikut olimpiade, paling sering menang di lomba-lomba fisika. Tapi pas lulus, malah banting setir!” 


“Banting setir gimana tuh maksudnya?” 


“Guru-guru, orang tuanya, pokoknya orang di sekitar kan udah nebak kak Syakira bakalan masuk kampus negeri, ngambil jurusan teknik atau fisika, atau yang dekat-dekat itulah. Bahkan dia diharapkan bisa tembus di PTN ibukota. Tapi tahu gak, Mi, dia akhirnya lanjut ke mana?” 


“Ke mana?” 


“Ke pesantren, Mi!” 


“Loh, jadi ngulang sekolah gitu lagi maksudnya? Masuk pesantren?” Ummi menyerngitkan dahinya. 


“Nggaaak. Kan sekarang sekolah tinggi juga udah banyak yang modelnya kayak pesantren, Mi. Jadi Kak Syakira tuh masuk ke sekolah tinggi bahasa Arab gitu, tapi sistem di sana mahasiswanya wajib masuk asrama. Ada aturannya, seperti nyantri gitulah.” 


“Oooh.” Ummi terlihat berpikir sejenak. “Belum pernah dengar Ummi, ada yang seperti itu. Terus, terus?” 


“Nah, sekarang dia dapat beasiswa S2 ke timur tengah. Ke Mesir, ambil hukum Islam! Bahasa Arabnya, beuh, udah lancar banget. Udah kayak orang asli sana.” Eliza yang dari tadi hanya diam dan mengunyah isi piringnya, mengamati betapa semangatnya Aisyah bercerita. 


“Oooh, jadi maksudnya banting setir, dia akhirnya ngambil jurusan agama. Padahal di sekolah prestasinya, bahkan digadang-gadang bakalan ngambil ke arah  fisika gitu?” 


“Iya, Mi!” seru Aisyah, ia lalu menyendokkan kembali nasi ke mulutnya. Mendadak, ia teringat sesuatu. “Oiya, Za. Tadi pas jam pulang sekolah, aku kan sempat keluar gerbang karena mau fotokopi di seberang jalan. Nah, di sana ada orang celingukan, kayak nyari orang gitu.” 


“Mmh.” Dengan mulut yang masih penuh, Eliza memberi respon seadanya menandakan kalau dia menyimak.  


“Pas balik, dia datangin aku. Nanyain, kenal Eliza gak?” 


Mendengar pertanyaan itu, Eliza sedikit tersentak. “O..Oiya? Terus kamu jawab apa?”


“Aku bilang nggak. Orang asing tiba-tiba nanya tentang kamu, jadinya refleks jawab nggak. Dia naik mobil bagus loh, Za. Ngeri banget,” ucap Aisyah sambil menuang air ke gelasnya. “Tapi…, kok dia bisa nanyain kamu dari sekian banyak orang di sekolah?” 


“Nggak tahu, aku emang terkenal kali,” seloroh Eliza. 


Aisyah menatap Eliza lamat-lamat. “Apa jangan-jangan dia beneran kenal kamu? Bapak kamu kali, tapi akunya aja yang parnoan jadi gak sempat cari tahu.” 


“Bapak aku sibuk. Makanya aku cari kos-kosan, kan. Bosan di rumah terus.” 


“Eh, tunggu. Kamu tuh harusnya punya duit cukup buat ngambil kosan dekat sekolah kan? Kalau gak salah, ke dokter aja ke Singapura? Iya kan?” 

“Kapan aku bilang gitu?” 


“Aku ingat banget loh. Waktu aku nolongin si adek kelas yang kamu labrak di koridor, kamu ngomong dokter kamu harus yang di Singapura,” kejar Aisyah. 


“Haha, itu cuma akal-akalan aku aja kok. Tahu sendiri kan, aku tuh gimana orangnya.” 


“Tapi kok bisa nyari kos-kosan murah cuma karena bosan di rumah gak ada orang?” 


“Bapak gue kerja terus, rumahku jauh dari sekolah. Gue cari kos-kosan juga supaya bisa hemat transport, gak mau nyusahin ortu.” Nada suara Eliza sedikit meninggi. Ia sampai lupa bahwa mereka masih berada di meja makan, dan Ummi Aisyah menyimak pembicaraan mereka. “Harus banget ya, gue jelasin semua ke Lo? Kan Lo juga yang ngejar-ngejar gue buat tinggal di sini, gimana sih.”


“Maaf deh, maaf. Aku kepo banget, ya.” Aisyah menggaruk kepalanya. Mereka pun melanjutkan makan dalam keadaan cukup hening. Diam-diam, Ummi Aisyah memikirkan sesuatu mendengar pembicaraan kedua gadis di hadapannya itu. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Salah?

Persiapan Keberangkatan (2)

Kail Pemancinh