Bab 8, Tinggal di mana?


"Jadi kamu tinggal di MyRoom dekat sekolah itu?" Ryan menyimpulkan kembali cerita yang baru saja ia dengar. Sebagian besar siswa berjalan di sekitar mereka, menuju satu-satunya gerbang sekolah. Beberapa murid baru jalan menunduk-nunduk melewati pasangan itu, berharap tak kena semprot karena telah mendahului jalan. Motor ojek online terlihat datang silih berganti, mereka jadi pahlawan bagi orang tua yang tak sempat mengantarkan anak-anaknya. 


"Iya, aku sedikit khawatir Abah datangin. Tapi setelah dipikir-pikir, gak mungkin deh Abah mau datang dan biarin aku buat keributan. Bisa viral ntar," kata Eliza tergelak. Pria di hadapannya masih memandang khawatir. Secara garis besar, ia mengerti apa yang pacarnya sampaikan beberapa detik yang lalu. Otak cerdasnya bisa menyusun kepingan cerita latar belakang keluarga perempuan di sampingnya, yang biasa ia dengar sepotong-sepotong. Kesimpulan yang ia tarik, gadis ini sedang tidak baik-baik saja. 


Murid-murid baru itu cukup beruntung, saat ini Eliza benar-benar tak memedulikan keberadaan mereka. "Suer deh, aku gak apa-apa."


"Uang kamu… gimana? Pasti kartu kamu udah diblokir sekarang." 


"Ah, itu mah gampang. Aku bawa cash kok! Seragam ini bahkan aku beli sendiri kemarin. Aku gak sempet bawa baju sih, hehe."


Tiba-tiba ia berhenti. Tangannya merogoh ke dalam tas ransel, lalu masuk ke ruang ATM di depan sekolah, meninggalkan Eliza yang kebingungan seraya berkata, "Tunggu bentar, ya!"


"Eh, jangan. Nggak usah!" Gadis yang tersadar atas tindakan yang akan dilakukan sang pacar ikut masuk dan mencegahnya melanjutkan gerakan memijit tombol-tombol mesin ATM. 


"Sst, diam aja." Sembari menyingkirkan halangannya, tangan Ryan dengan cepat memasukkan kata sandi, berikut nominal uang. Setelah mesin tersebut memuntahkan lembaran merahnya, segera ia berikan pada Eliza. "Ini mungkin gak banyak, kalau di MyRoom sebenarnya belum cukup bahkan untuk tinggal sebulan. Tapi cuma ini yang aku punya sekarang. Semoga bisa sedikit membantu ya,"


Gadis itu terperangah sedetik, lalu berkata gusar, “Gak Yan. Gue gak mau libatin siapa-siapa dalam pelarian ini. Gak Mama, gak Abah, gak juga Lo!” Eliza mengembalikan uang itu dengan kasar. 


“Pinjam Za!” seru Ryan. “Kamu pinjam aja kalau gitu. Uang ini, nggak aku kasih. Tapi kamu pinjam. Nanti kembaliin, ya kalau udah ada.” Ryan tahu sekeras apapun usahanya, Eliza dengan segala gengsinya takkan menerima pemberian uang yang sebenarnya tidak seberapa itu. 


Eliza memandang uang yang kembali diletakkan di tangannya. Dia memang butuh sih, uang yang terbawa hanya sedikit. Sebagian besar sudah ia belikan seragam dan beberapa lembar pakaian. Dan benar dugaan Ryan, seluruh kartu yang ia punya sudah terblokir sejak semalam.


“Ya udah, ini gue pinjam. Tapi bukan gue yang minta, ya. Lo yang paksa gue buat pinjam ni duit. Pokoknya ingat, nanti gue kembaliin!” Ryan mengangguk mendengar seruan Eliza. Dasar manis, susah banget nerima pemberian bahkan dari pacarnya sendiri. 


 “Ya udah, yuk buru ke kelas. Sebentar lagi bel.” Mereka pun segera berjalan beriringan ke kelas masing-masing. 


***

Sambil mematut lembaran kertas merah di tangannya, Eliza duduk dengan gelisah. Sekolah saat itu cukup hening, hampir seluruh siswa telah pulang. Sesore ini, tersisa mereka yang masih menyelesaikan urusan eskul dan perlombaan. Ryan pun sudah pamit sejak tadi, ada urusan keluarga katanya. 


Berkali-kali, ia pandangi iklan kosan yang ia kumpulkan. Belum ada yang cocok. Kalau bukan kemahalan, letak kosan itu terlalu jauh. Biaya bensin akan membengkak, ia tak bisa tinggal lama di sana. Lembaran merah yang diberikan Ryan tidak begitu banyak, tapi ia tahu bahwa pria itu mengorbankan lebih dari setengah jatah uang saku bulanannya. Membayangkan hari-hari sang pacar di sekolah tanpa bisa membeli makan membuat gadis itu merasa berat menerima. Padahal setahunya, Ryan hidup sendiri. Makan siang di sekolah tentu sangat membantu menstabilkan nutrisi yang masuk, tak melulu mie instan berbagai rasa. 


Gadis itu tak mau masalahnya menyeret orang lain ke dalam masalah baru. Tapi ia sendiri tak punya banyak pilihan. Bisa saja ia kembali ke rumah, tapi siapa yang tahu hal nekat apa lagi yang bisa diperbuat oleh Abah. Ia juga sudah muak pada Mama yang tak kuasa melindunginya, jarang di rumah, dan kerjanya hanya menasehati dirinya sepanjang hari. 


Apa gue numpang di rumah Ryan aja ya? Bisikan itu datang memengaruhi pikirannya. Ah, sepertinya tidak mungkin. Jangankan numpang, masuk pintu kosannya saja gak pernah diizinin. Eliza terus berdialog dengan dirinya. Lagi pula, cewek harus punya batasan, kan? Tanpa sadar, ia tersenyum sinis. Apaan sih, otak, masih mikirin kek gituan. Apa arti batasan itu sekarang? Apalah arti aturan bullshit yang mengekang, kalau malah harus ngebebanin orang atau bahkan luntang-lantung ga tahu ke mana? Pandangan Eliza menerawang. Apa gue mati aja ya?


Tanpa menetapkan keputusan yang jelas, Eliza melangkah gontai ke tempat tinggal sementaranya. Uangnya masih cukup untuk membayar beberapa malam lagi, bisa dipikir-pikir dulu. Yang pasti, ia enggan kembali ke rumahnya. Tanpa sadar, ia menjatuhkan sehelai lembaran brosur, dan seorang gadis memungutnya tanpa sepengetahuannya. 

***

Ryan Renaldo

[Gimana, kamu udah nemu kosan yang cocok?] 


Pesan chat yang masuk dari Ryan sore tadi belum dibuka sampai sekarang. Ini sudah hari ketiga ia berada di hunian ini tanpa membuat keputusan baru. Tiga hari lagi, setelah itu ia sudah harus menemukan tempat tinggal baru. Uang pegangannya bisa habis. Ia telah mengumpulkan informasi kosan yang ada di kotanya melalui brosur dan internet, tapi yang sesuai kantong, letaknya jauh dari sekolah dan tidak strategis.


Ia baru membalas pesan Ryan setelah matahari terbenam. 


Eliza Zuyyina Z. 

[Belum nih. Kemahalan, gak cocok sama budget aku] 


Ryan Renaldo

[Aku juga udah bantu nyariin, sekitaran sekolah jarang yang nyediain kosan cewek. Gimana ya?] 


Kecepatan Ryan membalas pesan tanpa sadar menerbitkan senyuman di wajah sang gadis. 


Eliza Zuyyina Z. 

[Gak usah repot-repot!] 


Setelah memijit tombol send, Eliza membalikkan layar HPnya. Kepala dibenamkan pada bantal empuk, isinya berkecamuk atas keputusan yang telah ia ambil. 


Lima menit kemudian, rasa penasaran menggerakkan tangannya meraih HP itu. Ternyata, belum ada balasan. Kandung kemih yang penuh memaksanya pergi ke kamar mandi sejenak. Mungkin bakalan dibalas setelah itu. Namun hingga fajar menyingsing, notifikasi handphonenya tak juga bertambah. Apa Ryan marah? Eliza kemudian memutuskan berangkat sekolah, meski sinar mentari belum sepenuhnya terbit. 


Tiba di sekolah kepagian, suasana terasa sangat hening. Ia siswa pertama yang sampai di sekolah. Pintu kelas masih dikunci, Pak Cecep sang pemegang kunci rupanya belum datang. 


Sambil mengucek matanya yang mengantuk, ia memutuskan menunggu di bawah pohon mangga bagian depan sekolah. Kedatangannya di pagi buta punya maksud tersendiri. Ia tahu kebiasaan Ryan yang datang pagi-pagi agar punya senggang lebih untuk duduk di perpustakaan. Dirinya berharap bisa mendapat penjelasan akan pesan yang digantung semalaman. Maka menunggu di tempat ini merupakan pilihan yang cukup baik.  


Salah seorang gadis yang juga baru datang ikut duduk di bawah pohon. Kedatangan yang tak disadari oleh Eliza, rupanya ia ketiduran. Lama merogoh tas yang ia bawa, gadis itu tak mendapati kertas yang dicarinya. 


Belum juga mengatakan sepatah kata pun, Eliza tiba-tiba bangkit mendengar deruman motor yang memasuki gerbang. Ia hafal bunyi itu, orang yang dinanti-nanti pasti sudah datang. Ia segera beranjak menuju parkiran sekolah di sisi timur gerbang. 


Baru tiga motor yang berada di sana. Satu di antaranya masih memposisikan parkiran. Seorang perempuan melepaskan pelukan pada sang pengemudi dan segera turun dari boncengan begitu motor berhenti sempurna. Sosok yang seketika menghilangkan kantuk dari mata Eliza, ketika menyadari bahwa sang pengemudi adalah pacarnya yang telah ia tunggu-tunggu sejak tadi. 


"Woi! Itu siapa!?" teriak Eliza kalap.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Salah?

Persiapan Keberangkatan (2)

Kail Pemancinh