Salah Memaknai Wacana
Dapat tema wacana, paling gampang ya curhat sebenarnya. Tentang bagaimana diri ini sering sekali berwacana, tapi realisasinya lambat kayak siput. Bagaimana otak bagian sinisku selalu memandang rendah wacana-wacana yang kubuat secara brutal, terutama di jam-jam overthinking tengah malam. Menuangkan gundah ke dalam tulisan selalu menyenangkan, bisa membantu merapikan kembali pikiran. Terutama tentang wacana dalam kehidupan. Dalam hal ini, wacana adalah rencana yang tidak terlaksana.
Tapi setelah mencari tahu, ternyata wacana tidak sama maknanya dengan rencana, seperti yang selama ini kupahami. Wacana adalah suatu bentuk komunkasi yang berlangsung antara dua pihak atau lebih, dengan tujuan untuk menyampaikan gagasan atau informasi. Bukan bermakna seperti rencana, yang merupakan ide yang terorganisiri dalam tindakan konkret. Atau bahkan bukan bermakna ajakan atau ide gagasan yang sekadar omongan belaka dan kebanyakan tidak direalisasikan. Wacana bisa berupa percakapan spontan, presentasi, atau tulisan yang mengandalkan keterampilan berbahasa dan kemampuan menyampaikan pesan kepada pendengar atau pembaca.
Sehingga, wacana diimplementasikan melalui komunikasi yang dilakukan antara pembicara dengan pendengar, atau penulis dan pembaca. Sama sekali jauh dari apa yang aku maknai selama ini, mungkin bacaanku kurang jauh.
Dalam bidang bahasa dan sastra, wacana malah punya makna lain. Ia merupakan satuan bahasa yang paling lengkap dalam hierarki gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana juga dapat diartikan sebagai unsur bahasa terlengkap dan menjadi satuan tertinggi dalam herarki gramatikal, direalisasikan dalam karangan utuh dengna kelengkapan amanat, karena ada hubungan isi (koherensi) dan hubungan bahasa (kohesi) yang erat dan serasi. (sumber : kompas.com). Atau lebih jelasnya, wacana merupakan satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh, seperti novel, buku, artikel, pidato, atau khotbah (KBBI). Bahkan dalam Tesaurus, buku yang memuat bentuk-bentuk sinonim suatu kata, wacana bersinonim dengan kata artikel, bacaan, ceramah, dialog, diskusi, khotbah, komunikasi, lektur, percakapan, pidato, pustaka, surat, teks. Jelas sangat jauh dari makna yang selama ini dipahami.
Mungkin karena diksi wacana sangat sering dipakai di media massa cetak maupun elektronik, terutama di masa-masa pemberitaan politik yang massif seperti sekarang ini, otakku langsung mengartikannya sebagai rencana tanpa realisasi yang jelas. Bukan sekadar wacana, atau hanya wacana menjadi topik yang sering diangkat dalam maklumat rekam jejak seorang politikus yang berencana terjun mengambil tampuk kepemimpinan. Begitu pula dalam buku-buku pengembangan diri, atau motivasi yang sering digaungkan di media sosial, paradigma yang menuturkan kata 'wacana' lebih sering digunakan dalam pengertian rencana tanpa realisasi yang jelas.
Mengetahui hal ini, aku mulai berpikir tentang berbagai diksi dan kata yang sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Bukan tidak mungkin, ada banyak diksi lain seperti kata wacana ini, yang lebih populer dimaknai tidak semestinya. Makna ini berkembang dan meluas, sehingga lebih melekat dan lebih diterima oleh pembaca dan pendengar.
Apa kata-kata seperti ini akan terubah maknanya--terutama di Kamus Besar Bahasa Indonesia di kemudian hari? Seperti kata lebai dalam KBBI, yang dulu merupakan kata formal dengan makna pegawai masjid atau orang yang mengurus suatu pekerjaan yang bertalian dengan agama Islam di dusun (kampung), kini memiliki makna lain sebagai jenis ragam kata cakap.
Bahasa itu unik ya, terus berubah seiring perkembangan zaman. Bahkan satu kata bisa dimaknai beda satu sama lain, tergantung bacaan dan lingkungan yang bersangkutan. Semakin menyelami karakter dan kebudayan manusia, mungkin kemampuan literasi dan bahasa kita akan semakin kaya.
Komentar
Posting Komentar