Bab 3, Di Balik Pintu Rumah
POV Eliza
Mobil sudah terparkir sempurna, tapi aku belum berhasil mencari alasan agar tak harus pulang ke rumah hari ini. Tersisa harapan sekian persen, semoga mamaku yang super cerewet itu lagi sakit perut di toilet. Atau lagi kecapean dan tertidur di kamar.
Kakiku mengendap-endap, berusaha tak menimbulkan suara sedikit pun.
"Neng, kok jalannya gitu?" Duh, dasar sopir nyebelin gak tahu situasi. Kulirik ke dalam, ternyata mama malah duduk santai di ruang tamu, seakan-akan memang menunggu kedatangan anak cewek satu-satunya ini.
"Eli, kamu sudah pulang. Salam du... Astagfirullah, seragam kamu kekecilan gitu kok masih dipake? Uang kamu kurang buat beli seragam baru?" Aku memutar bola mata malas mendengar kalimat Mama. Ya, sudah kuduga. Protes pertama pasti pada seragamku. Padahal baru saja kupermak bulan lalu. "Pak Jude, cepet beliin Eli seragam baru. Kasian ih penampilannya, kayak gak punya uang saja." Aku segera menoleh pada Pak Jude, memberi isyarat yang langsung ia pahami.
"Menurut saya, baiknya Neng Eli aja yang beli. Nanti saya temani. Takutnya malah kekecilan lagi. Kalau Neng Eli langsung, bisa dicoba dulu."
"Ya sudah, besok sepulang sekolah langsung singgah beli ya." Mata mama kembali menatapku. Polesan make up tipis terlihat menempel, belum dibersihkan. Mama beneran nungguin aku pulang? "Kamu itu nggak usah hemat-hemat gitu sampai gak sadar seragamnya udah kekecilan dong, El.
"Tambahin duit jajannya kalau gitu Ma, supaya El gak takut kehabisan duit," jawabku cepat. Mengambil kesempatan di situasi gini, hitung-hitung bisa ngilangin kekesalan. Iya gak sih?
"Ya ampun, kamu tuh gak perlu takut kehabisan uang. Rezeki udah ditakar, lima puluh ribu tahun sebelum kamu lahir. Gak bakalan tertukar. Malah harusnya kamu lebih perhatian sama pakaian kamu. Pastiin bisa menutup aurat sempurna. Rambut kamu juga tuh, pakaiin jilbab lagi kayak waktu kecil dulu. Bla bla bla." Ayo tahan, tahan, jangan tutup kuping. Jangan gerakin kaki. Ntar radio rusaknya ikut ke kamar loh, Lo gak bisa nonton drakor. "Sini, kamu duduk sini. Dengerin Mama dulu."
Entah berapa lama mulutnya menyerocos, aku akhirnya mendengar tanda-tanda pembicaraan akan diakhiri. "...Oiya, kan malah lupa tadi mau nyampein. Abah pulang malam ini, Mama kemarin ditelpon. Ikut makan malam bareng di sini. Kamu siap-siap ya." Oalah, pantesan Mama ada di rumah hari ini.
Tapi... Tunggu. Abah pulang? Apa piring kita bakalan ganti motif baru lagi malam ini?
***
Meski selalu kesal dengan cerewetnya mulut Mama, aku tetap mengikuti perintahnya. Bersiap-siap. Artinya, menggunakan pakaian sopan, juga menyetel diri agar terlihat lebih anggun. Kata Mama, kita makan di rumah. Untunglah, jilbab yang sangat jarang keluar dari lemariku itu tak perlu keluar malam ini.
Setiap kali akan berhadapan dengan Abah, aku selalu berharap ada gembok mulut tak terlihat yang bisa kubeli di toko online langganan. Mungkin bakalan terpakai dua sampai tiga kali saja setahun, tapi dampaknya bisa sampai sepanjang tahun. Mulut, kamu jangan nyeplos sembarangan dulu ya.
Deru mobil terdengar dari garasi. Kuintip dari lantai dua, siluet pria dewasa berjalan masuk ke kamar utama. Gamis hitam dengan bordiran kaligrafi berwarna silver masih dipakainya, tanda baru saja menyelesaikan kerjaan. Mungkin ada kerjaan dekat sini ya, tour dakwah keliling Indonesia mungkin?
Nggak usah dipikirin. Yang penting, sekitar sejam lagi, aku harus turun. Anggun, jaga mulut, jangan nyerocos, kalau bisa diam aja. Mantra yang kuulang beberapa kali lagi, hingga tak terasa waktu makan malam tiba.
Ketukan halus terdengar dari pintu. “Neng, dipanggil Ibu buat turun makan malam. Bapak juga datang.” Baru begitu saja, mulutku sudah gatal ingin langsung teriak IYA TAHU. Tapi sadar hal itu bisa jadi masalah besar, kuputuskan membuka pintu, membalas ucapan Mbak Yani sebaik mungkin, lalu mengatur degup jantung yang mulai bertalu-talu. Apaan sih jantung, masa baru segini aja udah konser di dalam.
Tarik napas, buang. Kuikuti langkah Mbak Yani menuruni tangga. Ketika dia belok kanan ke arah dapur, rasanya kakiku juga mengajak tetap mengekor.
“Eh, ini dia anak cantik kita sudah turun. Kasih salam ke Abah, El.” Sapaan Mama yang riang membuatku beku sedetik. Gak bisa banget ya, gak ikut. Terpaksa, kulangkahkan kaki pada sosok pria tinggi kekar yang sudah lebih dulu duduk di meja makan. Abahku.
“Assalamu ‘alaikum Bah.” Kuulurkan tangan untuk menyalaminya. “Sehat, Bah?”
“Ya, kamu lihat sendiri. Masih sehat, belum ada tanda-tanda warisan akan dibagikan.” Tahan El, tahaaan. Jangan ubah ekspresimu.
“Ah, Abah bisa aja bercandanya.” Semoga getaran suaraku gak terlalu terdengar. Susah juga bersikap ramah ketika hati sedang kesal. Mungkin sesekali aku harus belajar mengelola emosi ke pelayan resto dekat sekolah.
“Ayo duduk, El. Kita makan. Tadi Mama udah masak tongseng kesukaan Abah,” seru Mama yang masih terlihat riang. Kupandangi meja yang telah tertata rapi. Masakan Mama atau Mbak Yani nih? Hampir saja, mulutku menyeletuk sembarangan.
Kuraih kursi terdekat yang bisa kujangkau. Kuperhatikan Mama yang kini menuangkan nasi ke piring kami satu per satu. “Rangking berapa kamu di semester terakhir ini, El?” Suara bariton Abah membuyarkan pengamatanku.
“Eh, oh..”
“Rangking sepuluh, Bah. Seperti semester lalu.” Mama tersenyum, mengambil alih pembicaraan.
“Kenapa masih sepuluh?ً Walaupun tetap di sepuluh besar seperti yang Abah tetapkan, masa gak ada kenaikan selama satu semester,” kata Abah, rahangnya sedikit mengeras.
Itu aja udah jungkir balik aku diajarin Ryan. Batinku teriak-teriak, tapi tetap alarm di otakku menahan mulut berbicara sembarangan.
Setelah meneguk air putih, akhirnya kujawab singkat, “Iya Bah. Teman-teman El pada pintar-pintar.”
Kuturunkan pandangan ke arah piring yang sudah terisi penuh. Semoga gak ngamuk. Semoga gak ngamuk. Tak ada yang bisa menebak suasana hati Abah hari ini.
“Kalau gitu, belajar lebih rajin. Butuh les tambahan?” Mendengar intonasi Abah, kuhembuskan napas yang baru kusadari tertahan. Situasi masih aman.
“Gak perlu, Bah. El bakalan berusaha lebih keras lagi,” ucapku cepat. Abah menganggukkan kepala.
Sejenak, hanya dentingan sendok dan piring yang terdengar. Tongseng, entah itu buatan Mama atau Mbak Yani, makanan ini adalah makanan favorit Abah. Dan aku. Maka menikmati sepiring tongseng buatan rumah jadi hiburan tersendiri bagiku. Apalagi kalau semuanya diam seperti ini.
“Anak kita tambah besar lagi loh, Bah. Kemarin Mama lihat seragamnya udah kekecilan.” Duh, merusak keheningan saja Mama. Tapi, tunggu. Apa?
“Seragamnya kekecilan? Kok bisa?” seru Abah, sendoknya dia letakkan. Haduh, mampus. Sepertinya biang kerok masalah malam ini adalah sang seragam kesayanganku. Mama bisa diam aja gak, sih, kayak aku. “Abah pesenin seragam ke sekolah itu baru tahun lalu, size-nya harusnya satu ukuran lebih besar dari badan El hari ini. Kenapa bisa kekecilan?”
Ayo dong Ma, jawabnya sambil dipikir dong. “Tapi emang kekecilan kok, Bah. Berarti El cepat pertumbuhannya.” Duh, Mama memperburuk kondisii.
“Yani! Sini kamu!” Gelegar suara Abah membuat Mbak Yani datang terbirit-birit. “Ambil seragam Eli yang katanya sudah kekecilan itu. Saya yakin seragam itu masih di keranjang cuci, atau jemuran,” perintah Abah tegas. “Sekarang!”
Seperti dugaanku, motif piring rumah bakal berganti malam ini. Pecahan berbahan keramik itu berhamburan di lantai sejenak setelah Abah melihat bentuk seragamku.
“Sudah dibelikan yang longgar, malah sengaja dikecilin. Mau kelihatan seksi kamu? Mau goda cowok?” Piring yang kesekian terlempar kembali ke lantai. Seragam yang baru saja diambil tergeletak begitu saja. Untung aku tak jadi memotong lengannya. Paling tidak, Abah masih mengira aku pakai jilbab ke sekolah.
Suara pecahan piring kembali terdengar. “Sekalian jadi pelacur saja sana!”
Ah, kasihan Mbak Yani harus lembur malam ini.
Komentar
Posting Komentar