Bab 11, Nggak Ada yang Salah Paham!
“Turun di sini aja!” seru Eliza pagi itu.
“Ini udah dua minggu, dan kamu masih gak mau turun bareng aku di sekolah?” omel Aisyah. Meski begitu, ia tetap meminggirkan motornya di salah satu minimarket dekat sekolah.
“Gak lucu kalau orang-orang pada lihat Eliza si judes jalan bareng ustadzah Aisyah. Ntar luntur wibawa Lo,” kata Eliza sambil menyerahkan helmnya.
“Wibawa apaan.” Aisyah melotot. Tanpa peduli, Eliza segera masuk ke minimarket dan memberi isyarat mengusir dengan tangannya. “Dasar penumpang gak tahu diri!” Setelah berkata demikian, ia segera melajukan motornya.
Sepanjang perjalanan–yang sebenarnya singkat aja, senyum Aisyah terkulum. Butuh waktu yang lumayan lama, tapi kini ia bisa lebih bebas berbicara depan Eliza. Mulut tanpa rem Eliza ternyata bisa menular, ia pun mulai bisa ceplas-ceplos jika berbicara dengannya.
Sementara di minimarket, Eliza mengelilingi rak toko dari ujung ke ujung–seperti yang telah ia lakukan selama dua minggu berturut-turut. Penjaganya pun sudah hafal, setiap pagi akan ada siswi yang keliling lumayan lama hanya untuk membayar sebungkus permen murah atau sebotol air mineral berukuran paling kecil.
Setelah tiga putaran rak–pagi itu Eliza memutuskan keliling sebanyak itu, Eliza pun membayar dua bungkus wafer vanilla. Sambil menerima lembaran uang sepuluh ribuan, penjaga kasir bertanya, “Tumben wafer. Lagi banyak duit ya?”
“Kepo, Lo!” Jawaban yang diterima membuat sang penjaga kasir salah tingkah. Ia segera menyelesaikan pembayaran dan menyerahkan belanjaan pada gadis cantik yang mulai memenuhi hatinya.
Sambil bersenandung, Eliza keluar dari minimarket. Malam kemarin, ia memang baru saja mendapat kabar gembira. Cerpen yang iseng-iseng ia buat berhasil dimuat di salah satu platform menulis, dan dijanjikan bisa mendapatkan uang dari sana. Ia memutuskan merayakan keberhasilannya, setelah penghematan ketat yang dilakukannya beberapa hari terakhir.
“Eliza?” Suara familiar itu terdengar di telinga Eliza beberapa saat setelah ia memasuki gerbang sekolah. Eliza mempercepat langkah, berharap agar sang pemilik suara tidak mengejarnya.
“Eliza, tunggu!” Harapan tinggallah harapan. Eliza terus meneguhkan diri–seperti hari-hari sebelumnya, meskipun hatinya terasa sangat rindu. Aneh juga, baru kali ini ia bisa gagal move on sampai selama itu.
“Eliza, bayar utangmu hari ini!” Seruan itu berhasil menghentikan langkah Eliza. Ia segera berbalik sambil mendengus kesal.
“Apaan sih, ganggu banget!” berang Eliza.
“Akhirnya kamu berhenti juga,” ringis Ryan, senyuman paling manis berusaha ia rajut di bibirnya.
“Lo mau duit Lo balik? Nih, ambil semuanya!” Eliza segera mengambil lembaran uang yang tersisa di tasnya, lalu menyerahkan pada Ryan kasar.
“Aku nggak…, ah.” Ryan mengambil lembaran uang itu, lalu menghitungnya cepat. “Kurang nih.”
“Besok gue kasih lebihnya, sisanya di rumah semua!” dengus Eliza.
“Kamu udah balik ke rumah?”
“Bukan urusan Lo!”
“Eh, tapi gue mau duit gue dibalikin sekarang.” Ryan memutuskan untuk memanfaatkan utangnya. Maaf ya, Za. Bukan maksudku kok.
“Udah gak ada sama sekali! Tau gini gue gak nerima duit Lo waktu itu,” sungut Eliza.
Ryan melirik bungkusan plastik yang dipegang Eliza. “Yang di plastik itu apa?” Eliza segera memperlihatkan isinya. Setelah memeriksa sebentar, Ryan kembali berucap, “Ini buat gue aja ya. Temanin gue habisin ini, terus utang Lo gue anggap lunas semua.” Eliza berdecak, tapi kakinya tetap mengikuti langkah lebar Ryan.
“Kamu udah balik ke rumah akhirnya?” Ryan mencoba kembali bertanya ketika mereka telah duduk di selasar ujung koridor. Eliza tetap membisu, wafer yang diberikan ia timang-timang tanpa dibuka sama sekali.
“Bicara sesuatu dong. Ini aku ditemenin patung rasanya,” keluh Ryan.
“Gue tinggal di rumah cewek itu tuh!” ketus Eliza akhirnya, sambil memberi isyarat pada Aisyah yang baru saja melangkah melewati mereka. Pandangan mereka tak sengaja saling bertemu, Eliza mengabaikan senyum tipis yang dilemparkan oleh Aisyah.
“Rumah Aisyah? Kok bisa?”
“Kepo!” Ryan kembali meringis mendengar ucapan ketus Eliza.
“Za, kamu masih marah banget ya?”
“Marah? Nggak tuh.”
“Za…” Ryan mencoba mengatur napasnya. “Sebelumnya aku coba untuk mendiamkan kamu, aku pikir kamu butuh waktu sebentar sebelum aku jelasin semuanya.”
“Mau ngomong apa sih?”
“Dua minggu itu waktu yang udah lama banget. Masa sekarang masih ketus gitu sih?” sungut Ryan. Habis juga kesabarannya lama-lama.
“Terus mau Lo apa? Gue menyapa Lo dengan riang gembira gitu?” Nada Eliza terdengar semakin tinggi.
“Cewek yang kamu lihat waktu itu, itu adek sepupuku..” Ryan berkata cepat, “Walaupun sepupu, dia masih sepersusuan sama aku. Dia mendadak dipindahin ke sekolah ini, karena ortunya juga dimutasi kerja gak bilang-bilang.”
Eliza merasa pipinya menghangat mendengar kabar itu. Jadi, Ryan nggak selingkuh? Ryan, pacarnya yang selalu menolak menyentuhnya itu gak boncengin cewek lain? Tapi…
“Terus, apa urusannya sama gue?” tanya Eliza tak acuh.
“Dua minggu ini, harusnya kamu udah tenangin hati dan bisa dengerin penjelasanku,” ucap Ryan pelan.
“Terus kalau gue udah dengar, kenapa? Gak penting juga.”
“Kamu kan… marah karena salah paham.”
“Siapa yang salah paham?” Eliza mendadak berdiri dari tempat duduknya. “Lo itu emang mau gue putusin dari dulu. Kan udah gue bilang, Lo itu calon mantan. Calon mantan. Sekarang resmi deh jadi mantannya Eliza,” ucap Eliza enteng. “Udah kan, makannya? Gue cabut ya, bel mau bunyi.” Eliza membersihkan roknya, kemudian ia berlalu. Meninggalkan Ryan yang memandanginya bingung. Dia marah apa kenapa sih?
***
“Za, kamu ikut kumpul kan hari ini? Ada alumni yang datang insyaa Allah,” sapa Aisyah riang ketika melihat Eliza masuk kelas. Eliza melengos, dan segera menduduki bangkunya paling belakang. Ia segera mengetik pesan di HPnya,
[Kan gue udah bilang, jangan sok kenal kalau di kelas]
“Ngapain sih, pura-pura. Kan kita emang saling kenal sejak kelas satu!” Seruan itu datang dari depan, bukan dari pesan yang Eliza harapkan. Eliza kembali mendengus.
“Iya iya! Gue ikut, jangan maksa mulu dong!”
“Nah, gitu dong.” Aisyah berseru senang. Meyda yang baru datang memandangnya heran.
“Lo kok ngajak Eliza sih? Mana ketus banget tuh nadanya.”
“Ya, gpp. Dia juga teman kita, Mey,” ucap Aisyah ringan. Meyda hanya menggelengkan kepala.
***
Seperti janjinya tadi pagi, Aisyah kini duduk melingkar bersama belasan orang di masjid bagian belakang. Rambutnya menjadi sangat mencolok di antara mereka yang berkerudung rapi. Tentu saja, Eliza tetap cuek. Ojek pribadinya hari ini tersangkut di sini, ia pun mau tak mau harus menunggu.
“Assalamu ‘alaikum,” sapa seseorang dengan wajah asing. Oh, ini alumninya, batin Eliza.
“Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarokatuh.” Eliza bersama orang di sekitarnya menjawab serempak.
Mereka pun terlibat pembicaraan hangat dan panjang. Tanpa sadar, Eliza ikut mendengar, dan mencatat dalam hati semua yang ia dapatkan sore itu. Pembahasan yang menarik perhatiannya, terutama satu hal terakhir yang ditawarkan sang alumni di menit-menit terakhir.
“Yang berminat, bisa save nomorku ya. Aku dengan senang hati bisa dihubungi kapan aja.” Eliza pun menyimpan baik-baik nomor yang telah disebutkannya.
Komentar
Posting Komentar