Bab 7 : Bye, Rumah
POV Eliza
Aku kembali memastikan pendingin di hadapan kursi penumpang berada di posisi mati. Tapi kenapa badanku tetap menggigil?
Ah, iya. Mungkin karena pria berbadan kekar yang duduk di depan.
Mungkin karena aku tahu, masalah sangat besar akan menimpanya, akan meledak seperti bom waktu. Dan timernya terus berhitung mundur, seiring mobil yang terus melaju semakin mendekati rumah.
Layar HP yang sedari tadi kugenggam menyala. Pesan dari Ryan, “Kamu oke?”
Ketika akan kugerakkan jemariku, aku baru sadar bahwa tanganku gemetar. Kenapa kamu takut? Bukannya udah biasa, dasar cemen. Sisi hatiku meledek. Iya sih, udah biasa. Tapi ini kejadian luar biasa. Ketahuan jalan malam-malam, sama cowok, nggak pakai jilbab. Wuah, kombo sekali kesalahan malam ini.
Mobil yang dikendarai Pak Jude perlahan memasuki kawasan tempat tinggalku. Pesan dari Ryan, akhirnya kubiarkan begitu saja. Besok, aku jelasin besok ya, Yan. Kalau aku masih hidup.
“Turun, masuk ke rumah.”ٍ Suara dingin Abah menyentakku, kurasakan bulu kuduk yang berdiri dan keringat dingin terproduksi dari tubuhku. Oke, mari kita hadapi. Apapun yang terjadi.
PLAK. Tamparan pertama kudapatkan begitu pintu utama rumah tertutup. Cukup kencang, seperti biasa. Suara yang sepertinya bisa mengagetkan Mama di kamar, kalau dia ada sih hari ini.
“Ada apa ini?” Kulihat Mama terpogoh-pogoh keluar dari kamar. “Bukannya Abah udah terbang ke ibukota?” Itu juga pertanyaanku sejak tadi, Ma. Tapi bedanya, aku nggak cari penyakit dengan menanyakan langsung.
“Kalian ini mau Abah cepat pergi, ya, supaya bisa bebas melakukan apa saja? Iya!?” bentak Abah. Tangannya bergerak menjambak rambut Mama. “Kamu diam saja, lihat kelakuan anakmu ini. Kedapatan jalan larut malam sama cowok di luar sana, auratnya dipamer ke mana-mana. Kalau saya gak lihat, mungkin sudah ke hotel dia sama cowok itu,” desis Abah mengerikan.
Mata Mama memandangiku, pertanyaan yang terbersit langsung kupahami. Apa lagi yang kamu lakukan, El? Yang kujawab dengan senyum sinis, lalu kupalingkan muka.
Abah menyentak Mama ke kursi. Ia lalu kembali melayangkan tamparan kedua ke pipiku. Pipi yang sama, sepertinya darah mulai keluar di ujung bibirku. “Apa kata masyarakat, lihat anak seorang Abah begini modelnya!” Sebuah vas pecah di dekat kakiku.
“Bodo,” ucapku. Pelan, tapi ternyata tetap sampai di telinga Abah.
“Ngomong apa kamu?” PLAK. Tamparan ketiga. “Bukannya intropeksi, malah bicara sembarangan.” PRANG. Vas kedua.
Mulut, ayo dong. Kerja sama dulu. Jangan memperparah situasi, meskipun gatal sekali rasanya ingin membalas perkataan-perkataan itu.
“Anak gak tahu diuntung!” Makian demi makian terucap dari pria di hadapanku. Entah apa lagi yang pecah di sana, aku sudah tak peduli. Mama hanya duduk di salah satu sofa, dan menyaksikan tanpa suara. Melihat abah mengamuk tak terkendali.
Apa yang kamu harapkan, Abah? Membuatku menangis meraung-raung, memohon ampun dan berjanji tidak mengulangi? Jangan harap, sampai mati pun takkan kulakukan lagi.
Melihatku yang tetap bergeming, Abah kemudian menyeretku ke dapur. “Sini kamu, lebih baik Abah bakar saja kamu dengan api dunia daripada harus terbakar di api neraka!” Kalimat Abah terakhir membangkitkan kesadaranku, kini tak boleh diam begitu saja.
Ketika tangan Abah bergerak menyalakan kompor, tanganku juga bergerak tak kalah cepat. Kuraih garpu yang ada di atas meja dan kutusuk sekali, membuatnya melolong. Cengkaraman di tanganku lepas, segera kuambil langkah panjang. Berlari, sebelum seorang pun sadar.
“B*ngsat!” Aku tersenyum sinis mendengar umpatannya. Lihatlah, wahai masyarakat. Inilah aslinya seorang abah. Sayang tidak ada kamera di sini. Lupakan, hanya ada satu tujuan yang harus kupikirkan kini.
Cukup sudah malam-malam panjang yang harus kuhadapi, meratapi perihnya kulit yang tak kunjung sembuh. Cukup sudah seluruh bekas luka yang ada di tubuhku. Tak boleh ada tambahan lagi, kini aku sudah cukup besar. Kuterobos pintu besar rumahku. Lalu kakiku tak berhenti lari. Berlari, bersama bulan yang sedang bersinar sempurna.
***
Rumah bernuansa putih itu lengang, suara decakan cicak di dinding pun terdengar sangat jelas. Sayup-sayup, cicitan burung Love Bird ikut berbunyi dari teras rumah. Aisyah membuka pintu kamarnya perlahan. Derit kayu bergesekan mengagetkan cicak-cicak yang berburu mangsa.
Langit subuh itu cerah, bulan yang tinggal bayang samar bersiap melambai meninggalkan hari. Mentari masih menggeliat ketika Aisyah menyadari ibunya sudah tak ada di rumah. Sisa aroma pandan dan coklat yang manis berpadu dengan lelehan butter yang gurih menggelitik indra penciumannya. Sambil mengingat-ingat hari, ia berjalan ke dapur di bagian belakang rumah.
Ah, ini tanggal 16. Berarti Ummi lagi di rumah Bu Siska ya... Aisyah membatin di depan kulkas. Pada pintunya, tertempel secarik kertas yang penuh coretan jadwal dan jenis-jenis kue pesanan. Dari sana, Aisyah tahu bahwa Ummi akan sangat sibuk sepanjang minggu ini. Bukan hanya banyak, kue-kue yang dipesan beberapa hari ke depan juga sangat beragam. Mungkin ia juga harus begadang sedikit nanti, meringankan beban Ummi.
Pandangannya lalu terpaku pada magnet menara kembar yang menahan kertas tersebut agar tak jatuh. Miniatur sepasang menara yang pernah jadi bangunan tertinggi tahun 1998 silam itu sedikit miring, Aisyah segera membetulkan letaknya. Ia teringat orang yang menghadiahkan magnet itu, diberikan bersama cerita yang tak putus-putus hingga dua hari.
Berita pesawat jatuh yang berulang kali tayang pada berita televisi berkelebat dalam benaknya. Abi, sosok yang sangat dirindukannya di sana, akan pulang setelah perjalanan bisnis yang cukup panjang. Badan pesawat yang tenggelam menyulitkan pencarian. Masih segar dalam ingatannya, ia dan Ummi terus berusaha mencari kabar ke mana-mana. Setelah pencarian sebulan oleh tim SAR, Abi dinyatakan meninggal dunia tanpa jasad yang ditemukan.
Setelah mengenakan kerudung, ia berjalan ke halaman samping. Dipandangi lamat-lamat burung peliharaan peninggalan Abi. Kicauan mereka yang bersahut-sahutan sering kali membuat diri gadis itu merasa bahwa Abi masih di situ. Masih tinggal di rumah itu, hanya pergi sejenak bersafar. Ia mungkin akan kembali.
Atau mungkin, kita akan bertemu di tempat yang lebih abadi. Aisyah segera menghapus air mata yang perlahan mengalir. Kalau Ummi melihat, ia pasti akan ikut sedih. Ia segera beranjak, dan mulai membersihkan rumah sebagaimana rutinitas paginya sekaligus mengalihkan kenangan tentang sang Abi yang ia cintai.
***
"Jadi kamu tinggal di MyRoom dekat sekolah itu?" Ryan menyimpulkan kembali cerita yang baru saja ia dengar. Sebagian besar siswa berjalan di sekitar mereka, menuju satu-satunya gerbang sekolah. Beberapa murid baru jalan menunduk-nunduk melewati pasangan itu, berharap tak kena semprot karena telah mendahului jalan. Motor ojek online terlihat datang silih berganti, mereka jadi pahlawan bagi orang tua yang tak sempat mengantarkan anak-anaknya.
bersambung.
Komentar
Posting Komentar