Bab 2 : Si ganteng itu milikku
"Yan, hari ini kamu pulang jam berapa?" Sambil melipat bungkus es krim yang baru saja dihabiskan, Eliza bertanya. Belum mendengar jawaban, gadis itu kembali mengulang pertanyaannya. Jam istirahat membuat area sekitar sangat ramai, terutama di pinggir lapangan tempat mereka pacaran siang ini. Ia harus sedikit mengeraskan suara agar dapat didengarkan oleh lelaki yang duduk di sampingnya.
"Hah? Ooh, langsung keknya. Kalau dah selesai pelajaran."
"Pelajaran?" tanya Eliza memastikan.
"Iya, kalau udah selesai kelas maksudnya."
"Seriusan?" Pertanyaan yang hampir setiap hari ditanyakan oleh gadis itu, mendapat jawaban yang berbeda hari ini. Belum juga menjawab, seorang siswi berkacamata menghampiri Ryan.
“Bang Ry, ini contoh soal yang Pak Irsyad siapin. Katanya pelajarin semua, tipenya disesuaiin dengan yang keluar di olimpiade tahun lalu.” Di bawah tatapan sinis Eliza, sang siswi berkacamata menyerahkan sebundel kertas yang cukup tebal.
“Apa lagi? Cepatan ngomongnya.” Eliza berkata galak.
“Ah, ehm.. Kata kak Put.., kak Putri, rapatnya diundur saja sampai kita…, eh Bang Ry selesai olimpiade.” Eliza tersenyum sinis mendengar betapa tersendatnya sang adik kelas berbicara. Takut yang berusaha ia tekan tetap memengaruhi caranya berbicara.
“Ok Salsa, terima kasih ya.” Senyuman Ryan mencairkan ketegangan di hati. Gpp deh sampai tersendat gini ngomongya, yang penting dapat kesempatan lihat senyumnya Bang Ry. Begitu pikirnya. Ia bergegas mengambil langkah seribu, sebelum tatapan Eliza berubah jadi serangan mematikan.
“Bang Ry, Bang Ry…” Eliza menirukan intonasi yang baru saja didengarnya dengan ekspresi mengejek. “Kalau bukan karena jaga reputasi Lo, udah gue jambak setiap cewek yang deket-deket sini.” Ryan hanya tertawa mendengarnya.
Sebagai ketua OSIS yang aktif di banyak kegiatan, Ryan jarang langsung pulang ke rumah. Kepribadiannya yang senang bersosialisasi, juga punya banyak bakat yang terasah, membuat pemuda itu bergabung dengan banyak eskul di sekolah. Ditambah paras yang tampan dan otak yang encer, tak jarang ia dijadikan sebagai anggota inti dalam setiap eskul. Alih-alih menolak, Ryan sangat menikmati peran yang ia emban. Apalagi tempat tinggalnya kini sejenis kos-kosan yang terpisah dari orang tua, bisa bebas pulang kapan pun ia mau.
“Btw, Aldi liatin kamu terus tuh, dari tadi.” Mencoba mengalihkan perhatian, Ryan menunjuk dengan dagu salah seorang siswa yang berdiri di koridor dekat lapangan. Eliza ikut menoleh, lalu dengan cepat mengalihkan pandangannya.
“Mantan juga?”
“Ya kalau udah tahu, gak usah nanya sih.” Ryan hanya menghela napas mendengar jawaban itu. Lagi.
“Rasanya pengen pindahan sekolah sama kamu deh, mantan kamu di sini banyak banget.”
“Yaaa, Lo kan juga calon mantan gue,” kata Eliza enteng.
“Nggak dong. Gue bakalan jadi yang terakhir.”
“Geer banget.” Ryan hanya tersenyum tipis mendengar ucapan sang pacar. Dalam hatinya, ia terus bertekad untuk bertahan. Alasan yang ia punya cukup kuat untuk memberinya energi, menghadapi mulut cewek yang hampir-hampir tak pernah ada remnya itu.
“Eh, seriusan nih, Lo langsung balik selesai kelas?” tanya Eliza setengah merajuk.
“Iya sayaang. Bundelan ini harus segera kuselesaiin. Lombanya tinggal beberapa hari lagi.” Ucapan pria di samping membuat Eliza merengut dalam. Dalam hati, ia mulai mengabsen tempat yang mungkin bisa ia datangi sepulang sekolah.
Seharusnya, Eliza ikut tinggal di sekolah hingga sore. Menunggu sang pacar menyelesaikan kegiatan eskulnya menjadi rutinitas yang hampir dilakukan setiap hari. Sebab ia benar-benar malas pulang awal ke rumah. Sayang, satu-satunya tempat yang bisa ia habiskan waktu lebih banyak hanya sekolah.
Meski populer, gadis itu bergabung dengan satu eskul saja. Ia tak suka berteman, orang - orang yang tahu sikap kasarnya pun malas mengajaknya dalam pembicaraan. Terutama para cewek.
Gadis itu sebenarnya cukup heran, mengapa pria di depannya begitu gigih ingin berpacaran dengan cewek jutek dan ansos seperti dirinya. Padahal seluruh mantan yang ia putuskan secara sepihak, adalah orang-orang yang ia tembak. Hatinya tak pernah serius menjalani hubungan dengan pria mana pun, baginya mereka hanya mainan.
Sebelumnya, ia kira karena paras wajah. Setiap kali bertanya, Ryan selalu tersenyum dan berkata, "Kamu punya pesona dan kelebihan yang orang lain tak punya. Bukan pada fisik, tapi jauh lebih dalam dibanding itu. Coba deh, temukan itu, supaya kamu bisa lebih berterima kasih pada diri sendiri."
"Yah, aku gak punya alasan buat telat pulang, dong." Raut wajah cantiknya tertekuk, membuat Ryan tertawa.
"Mau ke rumahku aja ga, temenin aku belajar?" kata Ryan merendahkan suaranya, membuyarkan lamunan sang pacar yang sedang mengingat-ingat judul novel yang belum ia baca di KBM App. "Tempatku selalu kosong, kamarku pasti senang kalau punya tamu secantik kamu," tambahnya, disertai kerlingan nakal.
"Hah?" Saking kagetnya, mulut perempuan itu membentuk bulat sempurna. Seingatnya, Ryan adalah pacarnya yang paling jarang melakukan sentuhan fisik. Sejak resmi jadi pacar, pegangan tangan saja bisa dihitung jari. Ajakan yang tak ia duga ini langsung mengarahkan imajinasinya pada adegan yang sering ia tonton di film. Sang pacar mengajak ke rumahnya yang kosong, apa artinya selain...
"Eh, mikirnya ke mana ini sampai menganga gitu mulutnya? Gak jadi ah, pasti kamu mikir jorok." Dirasakan hangatnya tangan laki-laki itu mendorong dagu Eliza agar tertutup. Empunya dagu mencebik, menyelipkan rambut di telinganya, lalu menapakkan kakinya ke tanah.
Ryan ikut berdiri, menepuk-nepuk pantatnya, lalu mengecek jam tangan yang tak pernah lepas dari pergelangannya. "Udah jam segini, bentar lagi bel. Yuk, masuk kelas?"
Mau tak mau, Eliza mengangguk.
***
“Mampir dulu ke mall, atau ke mana kek,” cetus Eliza begitu menghempaskan diri di jok mobilnya.
“Saya tanya…,” Belum selesai sang sopir menjawab, Eliza segera menyela.
“Mama? Bisa gak sih, kita senang-senang bentar gitu. Tanpa harus Mama tahu.”
“Neng mau beli sesuatu di mall? Ntar saya singgah beliin.”
“Udah ah, gak usah! Dasar Mama nyebelin, pilih sopir juga gak guna!” Pak Jude--nama sopir tersebut, tersenyum tipis mendengar umpatan majikannya.
“Jangan gitu Neng. Nyonya gitu kan buat jagain Neng juga.” Untuk ke sekian kalinya, sopir yang sudah mengabdi belasan tahun itu mencoba menasehati.
“Jagain tapi gak pernah nongol di rumah, buat apa juga,” gumam Eliza
“Eh, nyonya hari ini ada di rumah. Tadi baru saya jemput dari bandara," ucap Pak Jude, matanya melirik Eliza melalui kaca spion tengah.
“Hah, Mama di rumah?” Melihat anggukan sopirnya, raut wajah Eliza mendadak berubah. Harus hari ini banget ya. Hari terburuk!
Komentar
Posting Komentar