Bab 6, Kembang Api Tepi Pantai

Hari demi hari berlalu. Tak terasa, hari ultahnya tinggal sehari lagi. Ryan kembali menanyakan hadiah yang diinginkannya. 


“Temenin aku di pantai sebentar malam, kamu bisa nggak Yan?” Setelah diam sejenak, akhirnya Eliza menjawab. 


“Hmm.. bisa aja sih. Pantai mana?” tanya Ryan, sembari mencoba menyembunyikan rasa penasarannya. Sejak resmi pacaran, untuk pertama kalinya mereka punya kegiatan di luar sekolah. Ryan telah mengajak, bahkan membujuk agar sekali-kali mereka menghabiskan hari libur di suatu tempat, tapi penolakan yang selalu didapatnya. 


“Pantai Lisara aja,” jawab Eliza. Lagi-lagi singkat. 


***


Eliza menarik napas cukup dalam. Sebuah tas kecil berisi HP, dompet dan topi ia ambil pelan-pelan. Hoodie oversize yang dikenakannya dirasa cukup untuk menyamarkan diri. Di jendelanya, telah terikat tali yang akan membawanya keluar dari kamar tanpa ketahuan siapa pun. Meski bukan pertama kalinya, entah kenapa kali ini Eliza merasa sangat gugup. 


Dengan cekatan, ia meluncur turun dan berhasil menapakkan kaki tanpa suara. Tali yang sudah disimpul sedemikian rupa, dengan mudah ia lepaskan kembali. Halamannya yang luas terasa lengang, penghuni rumah sepertinya sudah tidur semua. Kemungkinan dirinya ketahuan sangat kecil. 


Setelah berlari-lari kecil selama lima menit, ia berhenti di depan kios kecil. Sambil mengenakan topi, ia memeriksa HP. Aplikasi yang ia buka mengabari bahwa ojek daring pesanannya hampir tiba di tujuan. Ia memutuskan membeli beberapa cemilan dan minuman, sebelum akhirnya melaju ke tempat penuh kenangan. 

“Eh, udah sampai,” sapa Ryan, begitu menyadari seorang cewek telah duduk di sisi kanannya. 


“Dari tadi?”


“Nggak juga. Pas kan ini, jam sebelas?” Eliza mengangguk. Tangannya bergerak menghambur isi kresek yang tadi dibelinya. Ia lalu mengambil cemilan kemasan merah, dan menikmatinya perlahan. 


“Ambil aja,” kata Eliza pada Ryan yang tak berhenti memandanginya. 


“Ah, aku lagi nggak mau ngemil. Minum aja ya,” ucap Ryan, sembari mengambil salah satu kaleng minuman. Eliza mengangguk. Ryan memandanginya, ia tak pernah melihat secara langsung pacarnya dalam balutan busana selain seragam sekolah. Sekalinya punya kesempatan, ia malah melihatnya dalam hoodie kebesaran dan topi yang menutup sebagian wajahnya. 


Ryan lalu mengedarkan pandangan. Mereka saat ini sedang duduk di sebuah kursi panjang pinggir pantai. Sepanjang pandangannya, ia melihat gerobak makanan olahan pisang berjejeran. Menyempil di antaranya penjual jagung bakar dan nasi goreng. Anak-anak berlarian pinggir pantai yang sudah dibeton, penjual mainan menjajakan jualannya, berusaha menarik perhatian. 


Tidak hanya mereka, ada banyak pasangan muda-mudi yang ikut menikmati suasana pantai. Meski sudah hampir larut malam dan angin yang berhembus semakin dingin, pantai yang mereka datangi masih ramai oleh pengunjung. Besok libur, sepertinya tempat ini memang selalu dijadikan destinasi menghabiskan malam. 


“Aku selalu ke sini setiap hari ulang tahunku,” kata Eliza tiba-tiba, setelah hening yang cukup lama. Ryan kembali menatap wajah cewek yang sangat ia cintai. 


“Sama…, pacar-pacarmu dulu?” tanya Ryan. Bayang wajah para mantan terbenak dalam pikirannya. 


“Nggak, sendiri.” Perkataan Eliza cukup mengejutkan. 


“Aku pacar pertamamu yang diajak ke sini?” tanya Ryan. Eliza mengangguk. “Berarti aku satu-satunya yang diakui dong sama kamu?” tanya Ryan sambil cengengesan. 


Eliza tergelak, “Terserah Lo dah.” 


“Selamat ulang tahun, Eliza yang cantik.” Ryan mengangsurkan kotak biru kecil dari kantongnya.


Eliza melihat jamnya, “Belum jam dua belas, Yan.” 


“Gpp, setelah ini kita pulang yuk. Gak baik cewek di luar sampai larut malam.” Eliza bengong sejenak mendengar kalimat Ryan. Ia lalu mengambil hadiah dari tangannya, lalu memasukkannya ke dalam tas. “Gak langsung dibuka hadiahnya?”


“Kamu udah bisa nebak Yan, keinginan di hari ulang tahunku?” Alih-alih menjawab, Eliza bertanya balik. 


“Main di pantai?” tebak Ryan. “Kalau itu sih, sekarang juga bisa nih bareng aku.”


“Lebih tepatnya, nyalain kembang api di pinggir pantai, Yan.” 


“Mau aku beliin kembang api?”


“Tapi yang nyalain kembang apinya harus Papa, Yan.” Eliza berucap pelan. Ryan bisa melihat sendu terbayang di matanya. 


“Papa…, maksud kamu Abah kamu?” 


“Nggak, Yan. Papa. Harus Papa.” Ucapan Eliza yang sedikit histeris membuat Ryan menebak-nebak. Papa? Apa Eliza punya ayah lain selain abah yang sering ia lihat di TV? Apa abahnya sekarang bukan ayah kandungnya?


Ryan kembali memandangi wajah Eliza. Ia tertegun, lalu perlahan membuka topinya. “Kamu…, nangis?” tanya Ryan, yang kemudian refleks menutup mulutnya. Aduh, bodoh. Kamu harusnya gak usah nanya, Ryan. Udah jelas juga. Rutuknya dalam hati. Ia kembali memakaikan topi ke kepala Eliza. 


Dorongan yang kuat untuk memeluk cewek di sampingnya berusaha ia tekan. Kamu sayang dia kan? Jangan sentuh, tetap bertahan seperti ini. Kamu beneran sayang kan? Kalimat itu ia ulang-ulang dalam hati. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing selama beberapa saat. 


“Dingin, kita ke warung bakso di ruko itu yuk,” ajak Ryan sambil menunjuk ke arah seberang jalan. Akhirnya, hanya kalimat itu yang bisa ia ucapkan. Eliza mengangguk, ia menghapus sisa-sisa air mata. Ryan lalu membereskan sisa-sisa kemasan cemilan di sekitarnya dengan cepat, mengumpulkannya dalam kresek lalu membuangnya ke tong sampah terdekat. Mereka lalu berjalan bersama menyeberangi jalan, tanpa sadar seseorang dari mobil sedan mengamatinya sejak tadi. 


“Tunggu, ya.” Begitu mendapat tempat duduk, Ryan langsung menghampiri penjual dan memesan dua mangkok bakso. “Review orang-orang, bakso di sini mantap!” seru Ryan sekembalinya ke tempat duduk. 


“Kuahnya direndam celana dalam kali,” seloroh Eliza asal, membuat Ryan terkekeh. Sikap pacarnya itu sudah kembali.


“Terus celana dalamnya udah bekas ompol.” Perkataan Ryan membuat Eliza melotot. Ryan pun tertawa terbahak. “Haha, nggak usah diseriusin. Aku kenal kok, sama pemilik warung ini. Orangnya amanah, baksonya dijamin aman dan higenis.” 


“Tapi Lo ilangin selera gue,” kata Eliza judes. 


“Kamu yang duluan.” Eliza melengos, pipinya ia gembungkan pertanda marah. 


Dua mangkok bakso diantar, Ryan langsung melahap mangkok di hadapannya. “Cobain, beneran enak loh. Ntar nyesel loh,” katanya sambil menyeruput kuah. “Gak usah pikirin perkataanku tadi, aku beneran bercanda.” 


Dengan ragu, Eliza mencoba mencicipi mangkok di hadapannya. “Enak,” ucapnya singkat. Ia kemudian membuka topinya, dan memosisikan diri menikmati semangkok bakso yang masih mengepul di hadapannya. 


Baru saja ia mulai menikmati, seseorang menepuk pundaknya keras. Eliza terlonjak, kuah di sendok terciprat ke hoodien-nya. “Apaan..,” 


“Neng, ditunggu Bapak di mobil.” Amarah Eliza surut seketika, berganti kengerian di wajah.


“Pak Jude kok di sini?” tanya Eliza panik. “Lalu, bukannya Abah udah balik ke ibukota?” Pak Jude menatap dengan ekspresi yang menggambarkan rasa bersalah di wajahnya.


"Bapak balik sebentar. Intinya, kamu cepat ikut saya. Sebelum Bapak ngamuk,” seru Pak Jude, ia kemudian keluar dengan cepat. Eliza menyambar tasnya panik, mengikuti langkah Pak Jude. Meninggalkan Ryan yang sangat kebingungan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Salah?

Persiapan Keberangkatan (2)

Kail Pemancinh