Bab 5, Tulisan Menye-Menye Tentang Cinta?
Kriiing!
Bel sekolah terdengar nyaring, mengalahkan suara gaduh para siswa yang berlarian menuju kelas masing-masing. Aisyah yang menetap di bangkunya selama jam istirahat hanya memasukkan kotak bekal yang telah kosong dan memperbaiki posisi duduk. Guru matematika kesukaannya sebentar lagi tiba.
"Ay, Bu Tantri manggil tuh, ke ruangannya. Udah diizinin ke Pak Nusa katanya." Ketua kelas yang baru saja duduk di sampingnya segera mencolek bahu Aisyah, "kayaknya lomba lagi."
Aisyah menghela napas. Ia kemudian beranjak dari kursinya setelah berkata pelan, "Ok, Mey. Makasih ya."
Lorong kelas yang hening meriuhkan pikirannya. Lomba, ya? Kalau Bu Tantri yang manggil, kemungkinan lomba nulis lagi. Kalau karya ilmiah, enaknya buat apa?
Tapi... hari ini Bu Tantri bakalan ngomentarin apa ya?
Lamunannya terhenti ketika kakinya mulai melangkah masuk ruang guru. Suasana cukup sepi, sepertinya para guru sudah berangkat ke kelas masing-masing. Bagian TU menyapa dari jauh. Ia segera melangkah ke ruang Bu Tantri yang masih menjadi bagian dari ruang guru. Wakil Kepala Sekolah, begitu bunyi tulisan yang tergantung di depan pintu. Digerakkan tangannya, menimbulkan suara ketukan halus di pintu.
"Masuk!" Aisyah memutar gagang pintu pelan dan aroma segar mint segera tercium oleh hidungnya. Beberapa tanaman hias langka tertata apik di setiap sudut. Bu Tantri hari ini mengenakan pakaian pink soft--yang sebagaimana penampilannya sehari-hari-- selalu senada dari atas hingga bawah.
"Ay, udah sampai ya?"
Pertanyaan basa-basi yang basi. Jawaban Aisyah keluar di kepalanya.
"Ya ampun, Aisyaaaah. Sampai kapan sih Ibu harus bilang. Kalau pakai jilbab yang sewajarnya aja, ga usah pakai kepanjangan gitu. Tuh seragam kamu sampai ga kelihatan." Lirikan mata Bu Tantri selalu berhenti pada jilbab yang Aisyah kenakan. Hanya dengan jeda nafas singkat, Bu Tantri lanjut mengomentari berbagai sisi pakaian Aisyah yang menurutnya merusak pemandangan. Untungnya, telinga gadis itu sudah kebal mendengar ocehan Bu Tantri. Ia hanya akan serius ketika Bu Tantri mulai membahas lomba yang harus diikutinya kali ini.
"Nah, ini Aisyah. Informasi lomba yang kamu tunggu. Bukan karya ilmiah, tapi puisi. Sanggup ga?"
Akhirnya bahas lomba. Batin Aisyah. Tapi tunggu. Puisi? Kalimat menye-menye yang selalu ngomongin cinta? Mendadak, sebuah kerutan halus terbentuk di dahi Aisyah.
"Mau mundur? Masa belum dicoba sudah mundur duluan?" Melihat ekspresi murid di hadapannya, Bu Tantri berkomentar.
Tok tok tok. Suara ketukan pintu menginterupsi percakapan mereka. Setelah diizinkan masuk, muncul kepala pria berkumis berusia 30 tahun-an.
"Ah, Pak Nusa. Ada apa Pak?"
"Begini Bu..., "
"Begini Bu, Pak Nusa mau ngingetin saya tentang lomba matematika bulan depan! Saya harus bersiap, jadi nggak bisa ikutan lomba nulis ini." Aisyah segera memotong pembicaraan. Ingatan tentang informasi ajang matematika ini seketika hadir di benaknya melihat wajah Pak Nusa. Tata krama atau apalah namanya itu absen dari otaknya akibat rasa enggan atas perlombaan puisi yang disodorkan padanya. "Iya kan, Pak?"
"Oalah, kamu jadi ikut kompetisi matematika itu? Katanya nggak mau karena cuma tingkat kecamatan?" Pak Nusa mengelus kumisnya heran.
"Ja... jadi kok, Pak. Jadi! Daftarkan saya secepatnya ya!" Kegugupan suara Aisyah tak dapat ditutup-tutupi lagi. Bagaimanapun, ia harus mencari alasan untuk menolak Bu Tantri. Mending ikut lomba matematika tingkat kecamatan daripada harus buat puisi!
Bu Tantri memandang raut muka Aisyah. Sangat tergambar jelas di wajah, keengganannya mengikuti lomba puisi. Meski demikian, ia tahu persis bakat anak didiknya itu–terlepas dari ketidaksukaannya pada selera pakaian yang digunakannya sehari-hari.
Hanya Aisyah, gadis di hadapannya yang bisa begitu apik memilih kata yang tepat dan mengolahnya hingga menarik. Kekuatan logika yang dimiliki tak menjadi halangan, justru keunikan tulisannya ia yakini lahir dari sana. Jika Aisyah serius terjun dalam dunia kepenulisan, Bu Tantri yakin, kesuksesan akan tiba baginya.
"Ah, masih sebulan lagi. Masih lama itu, apalagi cuma tingkat daerah gini. Begini saja, kamu coba dulu buat puisi sehalaman. Ga usah bayang-bayangin cinta monyet orang pacaran. Tuangkan saja perasaan sayangmu pada bapak, atau keresahan yang mungkin disebabkan oleh 'cinta'. Apa saja deh, yang berkaitan dengan ini. Jangan langsung berpikir ke dunia merah muda." Bu Tantri menyerahkan brosur berwarna dominan pink pada Aisyah. Setelah mengatakan beberapa kata lagi, ia menyuruh Aisyah kembali ke kelasnya.
Huaa, nulis apa, ya? Yang beginian bukan minatku, mending buat hasil penelitian seratus lembar.
***
"Eh, Ay. Lo kenapa? Kusut amat tuh muka. Diomelin Bu Tantri lagi tadi? Karena jilbab Lo kepanjangan apa ada noda lagi di baju Lo?" Meyda, sang ketua kelas yang juga teman sebangkunya bertanya setelah pelajaran Pak Nusa berakhir.
"Dua-duanya!" Jawaban jutek Aisyah membuat Meyda terpingkal.
"Lah, tumben amat ketekuknya awet bener. Biasanya juga biar kata diceramahin sampai mulutnya keriting, tetap ga Lo gubris omelannya,"
"Bukan karena itulah, wajahku ketekuk gini. Gara-gara ini nih!" Aisyah segera menyodorkan brosur yang terlipat tak beraturan.
{ Ikutilah, lomba menulis puisi! Total hadiah puluhan juta rupiah!
Tema : Hijrah Cinta. }
"Hahaha, sakit perut gue ketawa ga berhenti kayak gini. Pantesan muka Lo kusutnya bukan main. Disuruh berpuisi, tentang cinta lagi. Ah, Bu Tantri kalau nyuruh harusnya lihat-lihat dulu. Masa hati batu kayak gini disuruh bicara cinta. Suka sama orang aja kagak pernah!"
"Siapa bilang?" jawab Aisyah malas-malasan.
"Kapan Lo suka sama orang Aiii, kapan? Yang ada lo jitak aja terus kepala cowok. Lo normal ga sih?"
"Bodo ah!" Wajah Aisyah tambah murung mendengar celotehan teman sebangkunya itu.
"Ya elah, kalau emang lo berat bener ikutin lomba ini, ya lo tolak aja lah. Susah amat," kata Meyda santai.
Ya, persis dugaan teman sebangkunya, Aisyah benar-benar ingin menolak tawaran Bu Tantri. Namun yang Meyda tak ketahui, dia tak mungkin menolak. Lebih tepatnya, dia tak bisa menolak tanpa alasan yang pasti. Janjinya untuk terus menerima tawaran Bu Tantri sejak kelas satu bercokol dalam kepalanya dengan alasan yang hanya ia, Bu Tantri dan Tuhan yang tahu.
"Eh btw nih, Syah. Si Dio ngajakin gue ketemu entar sore habis latihan basket. Kira-kira ngapain ya, dia mau ngajak gue balikan walaupun tahu gue lagi PDKT ama si Asrul?" Seperti biasa, Meyda mulai bercerita kehidupan asmaranya.
"Si Dio yang latihan basket?"
"Ya iyalah, masa gue yang cebong gini main basket?"
"Tumben banget orang itu main basket. Terus kamu disuruh nungguin sampai dia selesai basketan gitu?"
"Iya mungkin. Gpp sih, gue juga mau nonton Asrul main basket. Keren deh, kayaknya." Menyebut nama pujaan hati, mata Meyda terlihat berbinar.
"Si Asrul juga main basket?"
"Iya, gue baru tahu juga kemarin. Ternyata dia anak basket udah sejak lama. Gue nggak ngira juga, pendek-pendek gitu olahraganya basket."
"Dio tuh pengen tebar pesona Bel... Mau ngeliatin kalau dia lebih jago dan keren dibanding Asrul. Kalau perlu, nandingin Asrul supaya kamu mau lihat dia lagi." Sambil berkata begitu, Aisyah merapikan penanya ke dalam tempat pensil. Buku matematikanya ia ganti dengan buku kimia, mata pelajaran selanjutnya.
"Ngapain pakai acara tebar pesona segala, dia yang putusin gue kok."
"Dia putusin juga karena kamu sering remehin dia. Makanya dia mau buktiin kalau kamu bakalan nyesel sering remehin dia."
"Lah, kok gitu?"
"Cowok tuh ga bisa diremehin Bel. Mereka memang tabiatnya pengen diandelin, dijadikan sandaran. Kalau kamu dikit-dikit ngerendahin, apalagi nunjukin kalau kamu kuat dan ga butuh bantuan, mereka bakalan malas lah."
"Kita sebagai cewek kan emang kudu strong. Jangan mau ditindas sama cowok!"
"Ya kalau ga mau ditindas, jangan pacaran! Pacaran itu bentuk penindasan perempuan oleh laki-laki yang paling terlihat, tapi tetap aja dilakuin sama pemuja emansipasi." Aisyah menepuk lengan Meyda pelan, lalu ia kembali sibuk merapikan mejanya.
Meyda bersiap mengeluarkan bahan debatnya, ketika engsel pintu kelas yang kekurangan minyak berderik. "Assalamu 'alaikum. Selamat siang semuanya." Suara guru kimia memutus pembicaraan dua gadis ini. Aisyah meletakkan telunjuk di bibirnya, mengisyaratkan agar pembicaraan dilanjut nanti.
Diam-diam, Eliza yang duduk tepat di belakang memutar kedua bola matanya mendengar percakapan mereka berdua. Ah, dasar anak rohis sok tahu! Gak pernah pacaran, tapi sok-sokan ngasih nasehat. Ngerusak mood banget sih!
Komentar
Posting Komentar