Bab 4, Keinginan di Hari Ultah
Cahaya mentari pagi menelisik masuk dari sela gorden, membangunkan Eliza dan menyadarkannya agar segera bersiap ke sekolah. Mbak Yani terlihat sibuk bolak-balik dapur dan ruang makan, menyajikan beberapa sarapan sederhana dengan porsi yang cukup banyak. Cukup banyak, mengingat jumlah yang duduk di meja makan hanya satu orang. Seperti biasa.
Ya, pagi setelah kejadian itu, seluruh aktivitas berjalan kembali normal. Mama Eliza sudah menghilang di pagi buta, apalagi Sang Abah. Setelah puas memecahkan piring semalaman, ia langsung pergi tanpa ganti baju. Tidak perlu ditanya, Eliza sudah tahu jadwal padatnya pasti memanggil. Meskipun Eliza sama sekali tidak peduli keberadaan abahnya itu.
Sisa ‘pertempuran’ sudah tak terlihat bekasnya. Tim Mbak Yani memang gercep. Terbiasa melihat keributan seperti itu, sepertinya ia punya siasat tersendiri agar pekerjaan bisa selesai dalam semalam.
ُSetelah rapi, Eliza menyantap sarapannya sambil melamun. Ah, tetap harus ke sekolah. Kembali ke rutinitas awal. Hari ini gue ngapain yak?
***
"Kok diam aja dari tadi?” kata Ryan tiba-tiba, menyentak lamunan Eliza.
“Ah, nggak kok. Cuma mikirin sesuatu,” jawab Eliza. Bakso pesanan datang, menyela obrolan mereka.
Sambil menuangkan kecap, Ryan bertanya hati-hati, “Abahmu semalam datang, ya?”
“Kok tahu?” Eliza menghentikan kegiatannya sejenak.
“Berita-berita lokal di Instagram hari ini penuh sama muka Abah kamu.” Ryan meneguk es tehnya. “Jadi ya, nebak aja. Tapi bener kan?”
Tak ada tanggapan, Ryan kembali melanjutkan makan. Melihat Eliza ber-hah kepedasan, ia dengan cekatan membuka kaleng soda di hadapannya. “Kalau mau makan pedes-pedes, pesan minumnya jangan soda dong. Aku beliin air putih aja ya?” Eliza hanya mengangguk, lidahnya masih terasa terbakar kendati sudah meneguk sodanya.
“Nih,” kata Ryan sambil menyerahkan botol air putih yang sudah terbuka. Ia tersenyum melihat gadis di hadapannya menghabiskan hampir setengah botol dalam sekali teguk. “Udah?” Eliza megangguk.
“By the way, ultah kamu semingguan lagi ya?” Sadar bahwa pertanyaannya tidak akan dijawab, Ryan memutuskan membahas hal lain.
“Oiya, gak sadar gue,” jawab Eliza singkat, tidak seperti biasanya.
“Kamu mau hadiah apa?”
Mata Eliza melirik, “Kok ngasih hadiah ultah ke pacar malah nanya?”
“Loh, harus dong. Ntar aku beliin baju hello kitty, kamu malah gak suka.” Gadis di hadapannya tertawa, Ryan kembali tersenyum.
“Yah, nggak baju hello kitty juga kali.”
“Pokoknya, kamu kira-kira lagi butuh apa di hari ulang tahunmu?”
“Hmm…, apa ya?” Eliza menyuap baksonya, memberinya jeda untuk berpikir. “Ada sih, satu. Bener-bener aku pengenin di hari ultahku.”
“Apa tuh?” sela Ryan cepat.
“Tapi kamu nggak mungkin kasih aku, sih. Hehe.”
“Bilang aja. Aku bakal berusaha buat penuhin itu,” ucap Ryan dengan ekspresi penuh keyakinan.
“Gak mau, tebak aja sendiri.” Eliza menyuapkan bakso terakhirnya, lalu ia beranjak sambil dengan senyum tertahan.
“Yah, main pergi aja. Baksoku belum habis nih. Hei!” Setelah menyuap cepat, Ryan segera berlari mengejar Eliza. Yang telah melangkah jauh sambil tersenyum sendu.
***
Eliza masih dalam pertengahan menonton film pintu ketika deru mobil itu kembali terdengar. Setelah memastikan pintu kamarnya terkunci rapat, ia kembali memfokuskan diri menatap layar laptop. Suara pintu rumah yang dibuka keras selanjutnya masih terdengar oleh telinga Eliza, kendati earphone yang mengeluarkan suara penuh dari putaran film masih tercantol. Seiringan dengan itu, bentakan makian dan sumpah serapah menggema hingga langit-langit kamar tidurnya. Tak lama kemudian, bantingan pintu tertutup terdengar sekali lagi lalu hening. Tanpa membuka earphonenya, gadis itu tahu ada isakan tangis di luar sana. Apa lagi ya, kesalahan Mama?
“Ini hari terakhir Abah di kota kita. Katanya kalau pekerjaannya sudah selesai, mau pulang sebentar buat ngambil barang.” Teringat kembali perkataan Mama sepulang sekolah tadi. Suara piring pecah masih menggema di kepalanya. Ia memutuskan untuk bersikap apatis sekali lagi. Mengunci kamar rapat-rapat, menyalakan laptop dan tenggelam dalam berjam-jam film untuk mengalihkan perhatiannya.
Seperti dugaannya, Abah akan pulang kembali membawa keributan besar. “Saya sudah capek cari nafkah, terus bepergian jauh untuk kalian. Mana hormat kalian pada saya?” Kalimat itu terus diulang setiap pekerjaannya selesai. Jika dalam keadaan yang sedikit baik, ia kadang beralasan bahwa rasa capek membuat temperamennya bisa meninggi dengan cepat. Rumah, katanya adalah tempat pelampiasan penat untuk para ayah bekerja di luar sana.
Ah, kalau cuma jadi tempat pelampiasan, mending sekalian gak usah pulang selamanya! Muak sekali mendengar sumpah serapah yang keluar dari mulut laki-laki itu, terutama kemarahannya atas hal-hal kecil yang sebenarnya masih bisa ditolerir. Namun ia lebih benci pada Mama yang terus menerima kedatangannya, mengikuti segala keinginannya, lalu menangis sendirian. Seakan ia adalah orang yang paling menderita.
Memorinya terputar pada masa sebelum Abah keluar dari pekerjaan lamanya. Abah, yang dulu ia panggil Papa adalah sosok Ayah yang menyenangkan, senang mengajak bermain sepulang kerja. Walau gampang tersulut emosi karena hal sepele, ia juga bisa cepat kembali baik dan meminta maaf. Semua berubah sejak permintaan sulit pertama dari Abahnya terucap.
“El, mulai hari ini panggilnya nggak usah Papa lagi ya. Panggil Abah saja, biar sama kayak yang lain.” Kalimat yang keluar dari bibir cinta pertamanya itu sangat mengejutkan. Bagaimana ia yang sudah belasan tahun terbiasa memanggil ‘Papa’ harus bisa semudah itu menggantinya jadi ‘Abah’?
“Boleh nggak, El manggilnya tetap Papa? Nggak papa, yang lain mau manggil Abah. Karena El gak mau kehilangan Papa,” rengeknya seminggu setelah permintaan itu terucap. Ia kira, mudah saja mengubah panggilan. Ternyata sulit juga.
“Jangan dong, El. Abah harus tetap jadi ‘Abah’, meskipun di rumah. Supaya Abah gak lupa sama peran Abah sekarang. Apalagi kalau Abah udah dikenal di luar, kan gak lucu kalau anaknya malah manggil beda. Lagi pula, El gak harus kehilangan Abah kok. Meskipun mungkin akan lebih sibuk, El tetap anak Abah.” Begitu jawaban ‘Papa’ eh, ‘Abah’nya kala itu. Eliza mengangguk saja, berusaha untuk beradaptasi lagi dan lagi.
Bagi El muda, mengubah panggilan terasa seperti memanggil orang lain. Seakan, Papa yang sejak kecil menjadi orang yang paling menyenangkan untuknya, telah menjelma orang yang tidak ia kenal.
Benar saja. Papa yang ia kenal perlahan terasa menghilang. Seluruh masyarakat mulai mengenalnya, mengelu-elukan sosoknya. Bahkan, seluruh masyarakat juga memanggilnya Abah. Abah yang sangat berwibawa. Abah berbadan kekar, tapi hati selembut kapas. Abah, yang kemudian tidak ia kenali lagi.
Lama melamun, tak terasa film yang ia tonton selesai. Menyadari keheningan di luar kamar, El melirik jam di sudut laptopnya. Sudah malam aja. Pandangannya kemudian tertumbuk pada kalender yang tertera tepat di atasnya.
Percakapannya bersama Ryan siang tadi terngiang. Keinginan di hari ulang tahunku? Kamu nggak bakalan bisa menuhin itu, Yan. Gak akan pernah bisa.
Komentar
Posting Komentar