Bab 20, Ahlan wa Sahlan

Bus yang kami tumpangi masih berjalan kencang, mengikuti jalan meliuk-liuk. Meski lampu yang dinyalakan sudah terang maksimal, jalanan di hadapan masih terlihat remang-remang. Sebelah kiri kami, terlihat jurang menganga dengan dasar yang tak terlihat. Bulu kudukku sedikit meremang, membayangkan kegelapan itu menanti jika sopir sedikit oleng dari jalan. Sedangkan sebelah kanan, rimbunan pohon yang tumbuh rapat-rapat memenuhi hingga batas jalan. Tak ada tanda-tanda rumah berpenghuni. Seakan kami, orang-orang yang ada di bus ini adalah kelompok manusia satu-satunya yang iseng menjelajah dunia lain di sini. 

"Masih jauh ya, ini?" Ummi yang duduk di sampingku bertanya. Jaket yang sedari tadi sudah terkancing rapat, kini ia periksa lagi. Mungkin ada celah yang membuatnya masih merasa dingin. 

"Udah dekat kok, dua kelokan lagi kalau gak salah." Aisyah menyahut dengan suara rendah. Khawatir membangunkan penumpang lain yang sebagian besar masih di alam mimpi. 

Seperti kata Aisyah, pigura besar berwarna kuning terlihat begitu bus melewati kelokan kedua. Sopir yang sudah tahu tujuan kami berhenti, begitu badan bus tiba sempurna di depan gerbang. Kami segera membenahi barang bawaan dan lompat keluar dari bus setelah mengucapkan terima kasih pada sang sopir. 

Suara jangkrik menyambut kedatangan kami begitu kaki menapak keluar dari bus. Hembusan angin semakin dingin terasa, Ummi sampai harus menggosok tangannya mencari kehangatan. Selain kami, ada satu keluarga lagi yang ikut turun di tujuan yang sama. Sepertinya mengantar anak baru juga, terlihat dari gerakan celingak-celinguk mereka setibanya di sini. 

"Mau ke Al-Alam juga?" Kudengar, Ummi bertanya. 

"Iya, ini anak kami baru keterima. Kereta dari kota kami ke sini nyampenya malam, jadi kecepatan nih sampainya. Semoga mereka udah bisa nerima." Seorang ibu sepantaran mama menjawab, tangannya ikut ia gosokkan satu sama lain. Ummi segera mengajak mereka masuk. 

"Oalah, kami juga dapat penerbangan sore. Akhirnya sampai di sini malam banget. Tapi kemarin anak saya udah hubungin panita penerimaan, katanya tidak apa-apa datang lebih cepat. Disediakan kamar buat nginap, terutama untuk para pengantar." 

"Syukurlah. Rencana kami mau nginap di hotel dulu, tapi sekitar sini sepertinya gak ada, ya." Ibu tersebut kembali menoleh ke kiri dan ke kanan. 

"Iya, sepertinya gak ada. Kamu tahu gak, Aisyah?" Ummi menarik tangan Aisyah mendekat. 

"Iya tante, kalau cari hotel harusnya sebelum naik bus tadi. Kalau udah masuk daerah sini memang belum ada penginapan. Masih pohon semua, hehe," jawab Aisyah sambil terkekeh. Sambil menyeret koper masing-masing, kami pun berjalan mendekati pintu gerbang yang tertutup setengah, dengan portal penghalang mobil yang melintang di setengah lainnya. Melihat kedatangan kami, salah satu satpam tergopoh-gopoh keluar dari posnya. 

Penerangan di dalam gerbang cukup baik, aku bisa melihat jalan yang cukup lebar melintang dan terbagi menjadi tiga. Di bagian timur, samar-samar terlihat tanaman merambat yang disusun teratur. Potongan kayu panjang ditancap di beberapa bagian, menjadi tempat merambat tumbuhan-tumbuhan yang belum kuketahui jenisnya itu. Yang pasti bukan anggur, daunnya tak begitu. Bersebelahan dengan petak kebun rambat, bangunan dua lantai berdiri berjejer hingga ujung jalan. Di bagian barat, jalanan aspal memanjang hingga tak bisa kulihat ujungnya. Tak ada bangunan, sebagai gantinya hamparan rumput jepang memenuhi bagian kosong kanan dan kiri. Sedangkan jalanan ke depan adalah tanjakan, sepertinya dibangun mengikuti bentuk lahan. Sayup-sayup kudengar suara seseorang mengaji dari sana. Suara jangkrik dan serangga lainnya masih terdengar jelas dari sini, memberi asupan imajinasiku yang mulai ke mana-mana. 

"Ahlan wa sahlan, selamat datang bapak, ibu dan eneng-eneng semua. Mahasiswa baru, ya?" Dengan logat Sunda yang kental, satpam tersebut menyambut ramah. Ia segera membuka jalan kecil di samping portal, tempat pejalan kaki bisa lewat. 

Serempak, kami mengangguk. Satpam itu terlihat menghubungi seseorang, lalu meminta temannya untuk ikut mengantar kami. "Lewat sini, Bapak, Ibu dan eneng. Hari penerimaan sebenarnya besok, tapi karena mahasiswa kami datangnya dari berbagai daerah, kami siapkan kamar di guest house untuk istirahat. Mari, silakan ikut teman saya, Asep," ucap satpam bernama Pak Didin tersebut, yang kuketahui dari name tagnya. "Kopernya simpan di sini saja dulu, sebentar kami bawakan insyaa Allah." 

"Wah, koper kami berat-berat loh, Pak. Ini gak apa-apa dibawain?" sahut ibu yang tadi menyapa kami. Ia memperhatikan koper keluarganya--yang memang terlihat cukup besar. 

"Tidak apa-apa, Bu. Sudah menjadi tugas kami, dengan senang hati membantu. Jalan ke dalam lumayan jauh, kasihan kalau harus sambil gerek-gerek koper," jawab Pak Didin, masih dengan keramahannya yang luar biasa. 

Setelah berterima kasih dan mengucapkan beberapa kalimat lagi, Pak Asep mulai berjalan mengarahkan kami. Kukira ia akan membawa kami ke arah timur, ternyata kakinya melangkah ke arah barat. "Sebelah sana tempatnya banin. Tempat cowok." Begitu kata Pak Asep, ketika melihat mataku terus melirik ke arah bangunan dua lantai itu. Aku menjawab oh pendek sambil menutupi rasa malu karena tertangkap basah. 

Menelusuri jalan yang kukira sangat panjang itu, Pak Asep membawa kami belok kanan. Gedung lima lantai berdiri megah di sana, seakan menyambut kedatangan kami. Aku tak bisa melihat pintu masuknya dengan jelas, sebab tembok tinggi mengelilingi kawasan tersebut. Sebuah gerbang hitam tinggi terletak di antaranya, mungkin ini pintu masuk untuk ke kawasan gedung tersebut. Pak Asep membawa kami ke sebuah bangunan kecil tepat di depan gerbang hitam, yang ternyata juga pos satpam. 

"Ini bagian banat, kompleks khusus mahasiswa perempuan. Asrama mahasiswa ada di dalam, tapi untuk sekarang bisa istirahat dulu di pondokan sebelah sana." Pak Asep mengarahkan jempolnya pada jejeran rumah kecil di seberang gerbang, sekitar dua ratus meter dari tempat kami berdiri. Ia kemudian berbicara sebentar pada penjaga yang ada di dalam pos. Ketat juga penjagaannya, sampai dua pos dibangun untuk para cewek, gumamku dalam hati. 

"Saya pamit dulu ya, Bu, Pak, dan Neng sekalian, kembali ke pos depan. Nanti urusan selanjutkan akan diatur oleh Abu Yusuf dan istrinya, insyaa Allah," pamit Pak Asep. Di sampingnya telah berdiri seorang pria tinggi bersama wanita yang menutupi sebagian wajahnya. 

"Mari, Pak. Mari, Bu. Kita ke pondokan di sebelah sana." Pak Yusuf melangkahkan kaki. Kami mendapat rumah ketiga, sedangkan keluarga yang datang bersama kami kebagian rumah keempat. Sepetak ruangan dengan sebuah kamar, kamar kecil dan ruang depan untuk duduk santai jadi tempat istirahat kami malam ini. Sebenarnya, aku sangat penasaran dengan kawasan khusus perempuan yang ada di balik gerbang hitam. Namun, aku harus bersabar. Semalam saja. Besok, hari baru bagi kami akan berkutat di dalam sana. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Salah?

Persiapan Keberangkatan (2)

Kail Pemancinh