Bab 10, Kosan Baru
"Eliza..."
Diam-diam sang pemilik nama, Eliza, menghela napas lega melihat kedua kaki manusia yang datang itu menapak tanah. Meski pojok sekolah itu ia pilih sendiri untuk menyendiri, berbagai bayang yang biasa tampil sebagai tokoh horor berkali-kali datang dalam benaknya. Bau menyengat dari toilet rusak memperparah suasana, untung hidungnya mulai lelah bekerja setelah sejam terus-terusan dipaksa menghirup bebauan busuk.
Ia sangat risih berada di tempat ini. Tapi tak ada tempat lain yang bisa memberikan ruang baginya, terutama setelah kejadian tadi pagi.
"Ngapain Lo ke sini?" Eliza berseru marah, "Anak rohis juga ternyata bisa kepo, ya, sama pertengkaran pasangan fenomenal ini." Mata sembab dan rambut awut-awutan tak mengurangi sikap sombong dan kasar gadis ini pada orang lain.
Aisyah menurunkan tas berat yang digendongnya. "Gak juga sih, cuma mau balikin ini."
Cepat-cepat, Eliza menyambar tas itu dan memeluknya seakan ia tak bisa hidup tanpanya. "Lo periksa barang gue di sini?"
"Ah, tidak. Aku sama sekali gak buka tas kamu." Eliza ikut duduk beberapa meter di samping Aisyah. "Oiya, udah dapat kosan baru?"
"Lo ikut campur urusan orang banget sih! Gak lucu tahu!"
"Loh, siapa yang bilang lucu? Aku cuma mau..."
"Mau apa? Ngeledekin? Atau informasi terupdate tentang Eliza yang mendadak miskin karena kabur dari rumah?" Walau mata mendelik galak, ada nada sedih dalam suara gadis tersebut.
"Aku cuma mau nawarin rumahku buat dijadiin tempat tinggal. Lumayan jauh sih, tapi aku bisa kasih penawaran harga termurah dibanding kosan yang lain. Nanti ke sekolah bisa bareng aja pakai motor aku."
Eliza terdiam sejenak. "Lo butuh uang banget, ya, sampai ngejar-ngejar gue ke sini dan nawarin rumah ke gue?"
"Iyaaa, aku butuh uang banget. Jadi plis ya, terima aja," bujuk Aisyah sembari menangkupkan kedua tangan. Senyuman yang ia berikan berusaha dibuat semanis mungkin. "Include makan deh, Ummi bakalan senang masakannya dimakan banyak orang.
"Emang berapa per bulan?"
Eliza menyebutkan sebuah harga. "Udah termasuk bayar listrik, air, dan makan." Jantung Eliza berdegup mendengar harga yang diberikan. Murah banget, hampir setengah harga dibanding kosan termurah yang ia dapat. "Tapi rumahku mungkin sedikit tua dan kecil bagimu, bukan seperti rumahmu yang estetik," lanjut Aisyah.
"Ya udah, kayaknya lo emang butuh duit banget. Terpaksa deh, gue tinggal di sana. Tapi sementara aja ya, SE-MEN-TA-RA. Sampai gue dapat kosan yang gue mau." Aisyah hampir terlonjak senang mendengar persetujuan Eliza. Mereka pun janjian bertemu sepulang sekolah.
***
Beberapa hari sebelumnya...
Aisyah sedang mengelap meja di rumahnya, tatkala Ummi datang dan mengucapkan salam. "Assalamu 'alaikum, Nak."
"Wa'alaikumussalam, Ummii." Bergegas, ia membukakan pintu dan membantu membawa seluruh barang bawaan di tangan Ummi. Sebagian besar merupakan bahan kue. "Wah, Ummi ada orderan lagi?"
"Iya, Bu Siska pesan lagi. Katanya ada keluarga jauh mau datang. Dia suka sama pesanan kemaren dan pengen suguhin kue-kue itu ke tamunya nanti." Binar mata Ummi bersinar menceritakan.
"Alhamdulillah, Ummi. Semoga semakin banyak yang kenal dan suka sama kue Ummi."
"Iya, Aaamiiin."
"Oiya, Ummi duduk istirahat di sini aja dulu. Nanti Aisyah yang masukin ini ke dapur." Tanpa menunggu jawaban, ia segera melesat bersama berkilo-kilo tepung, telur dan gula dalam kantongan besar. Ummi hanya geleng-geleng kepala melihat putrinya membawa beban tersebut sekaligus tanpa menyicil satu per satu.
Ia lalu melihat kertas yang mencuat dari tas sekolah anaknya. Bermaksud memasukkannya kembali, wanita itu tanpa sengaja malha menjatuhkannya. Tulisan besar yang tertera membuatnya penasaran.
"Aisyah, ini ada brosur kosan. Buat apa?" tanya Ummi menyambut kedatangan Aisyah dari dapur. Tangannya membawa dua gelas yang terlihat mengembun. "Wah, sirup dingin. Terima kasih, Nak."
Setelah menaruh gelas di meja, Aisyah kemudian menjawab. "Oh, itu punya teman Aisyah."
"Ya Allah, Ummi gak sengaja rusakin. Tadi keluar dari tas Aisyah nih, Ummi mau masukin kembali malah sobek dikit," kata wanita separuh baya itu tak mampu menyembunyikan rasa bersalahnya.
"Ohh, gak papa Ummi. Lagi pula dia sepertinya sudah tidak butuh."
"Kok Aisyah bisa simpulin gitu?"
"Soalnya selain kertas ini, dia juga kayak ngeliatin banyak iklan kosan gitu di hpnya, Ummi. Terus dia bergumam terus pas mandangin, 'mahal, mahal, mahal. Yang ini juga mahal banget.' Yang ini malah dianggurin gitu aja," kata Aisyah sambil mencoba memperagakan.
Wanita itu terdiam sejenak. "Gimana kalau Aisyah ngajakin dia tinggal di sini aja?"
"Loh?"
"Iya, tuh kamar di depan kan masih kosong satu."
"Tapi teman Aisyah ini mulutnya sedikit kasar. Gampang marah kalau disentil sedikit, Aisyah juga sering kena." Ummi tertawa melihat muka cemberut putri semata wayangnya.
"Kira-kira, kenapa dia jadi kasar? Sejak kapan dia begitu?"
"Aisyah juga tidak tahu. Tapi... Seingat Aisyah, dulu dia ramah banget. Pas masuk kelas baru, dia yang ngajakin Aisyah duduk sebangku sama-sama."
"Loh, teman sebangku tapi gak tahu sejak kapan berubahnya?"
"Iya Ummi. Soalnya dua bulan setelah itu, kelas kita dirolling. Habis itu dia lama-lama jadi kasar, suka bikin ribut. Aisyah gak sekelas lagi sampai kenaikan kelas tiga ini."
"Hmm... Orang berubah drastis, terutama dari yang baik jadi lebih buruk itu biasa ada pemicunya. Bisa karena lingkungan, atau ada kejadian atau masalah yang membuat dia mengubah perilaku." Aisyah terdiam mendengar Ummi berbicara. "Begini saja. Kalau dari Ummi, Ummi izinin kalau Aisyah mau ajak teman itu ke rumah sini. Siapa tahu kita bisa jadi sebab kebaikan bagi dia. Tapi kalau Aisyah memang benar-benar tidak mau, ya sudah. Tidak mungkin juga Ummi memaksa anak Ummi tinggal serumah sama teman yang buat tidak nyaman."
"Iya, Ummi." Dalam benaknya, ia melihat Eliza pada pertemuan pertama di masa lalunya. Eliza yang kalem tapi ramah. Juga sangat cantik dengan kerudung di kepala. Kini rambutnya selalu tampak, dan sikap angkuh serta kecantikannya sangat populer seantero sekolah. Setelah dua tahun berlalu, ia tak lagi mengenal sosok yang mengajaknya duduk sebangku kala itu.
***
"Barang kamu sudah semua?" tanya Aisyah sembari membuka gembok pagar rumah.
"Iya," jawab Eliza singkat. Ia memandangi rumah yang akan jadi tempat tinggal barunya. Kesan pertama yang ia dapatkan cukup baik. Halaman yang cukup luas ditanami berbagai tanaman buah dan sayur. Ia bisa melihat si cabe merah dan terong yang masih kecil mengintip di balik rimbunan daun. Tumbuhan liar terpangkas rapi, menunjukkan pemilik yang telaten merawat taman kecilnya.
"Ummi dulu setiap pagi ngurusin tanaman ini. Sekarang disempet-sempetin, semakin sibuk sama pesanan kuenya. Tapi kalau senggang pasti beliau sibuk di sini. Katanya, buat healing," kata Aisyah tanpa diminta. "Sekarang pun Ummi belum ada di rumah. Insyaa Allah sebentar sore pulang, gpp kan?"
Eliza mengangguk. Pikirnya, ibu kos baru yang Aisyah panggil dengan Ummi itu tak harus menyambut dirinya langsung. Toh, perwakilan anak juga sudah cukup.
Ketika kunci diputar dan pintu rumah terbuka, pemandangan ruang tamu yang bersih dan sederhana terlihat. Tak ada sofa untuk duduk, sebagai gantinya sehelai tikar cukup tebal mengisi setengah ruangan. Beberapa buku berbagai genre tersusun di lemari buatan tangan, melengket di dinding sisi dalam. Kain bermotif sederhana tergantung, dijadikan sekat antar ruangan. Meja oshin kayu di sudut menjadi perabotan yang paling mewah di tempat itu. Tiga toples kue berjejer, Eliza tak bisa melihat apa saja yang ada di dalamnya.
"Ayo, langsung aja kita ke kamar kamu." Tangan Aisyah menyibak gorden hijau lembut itu. Nada semangat dalam suaranya tak berusaha ia sembunyikan.
Pandangan Eliza langsung melihat pintu transparan dan jendela besar yang mengarah ke halaman samping rumah, tak kalah rimbunnya dengan bagian depan. Selain itu, dua pintu lain tertutup. Sebuah meja pendek diposisikan menghadap jendela, sepertinya tempat Aisyah dan ibunya makan bersama. Di tempatnya berdiri, alat-alat kue, bungkusan tepung dan gula memenuhi lantai.
"Ummi lagi kejar deadline, banyak kue yang harus dibuat. Maaf ya kalau sedikit berantakan, belum sempat dibereskan semua." Aisyah membuka salah satu pintu yang penuh tempelan stiker. "Nah, ini kamar barumu. Sudah aku bersihkan dan ganti spreinya. Ada laci yang bisa digunakan, juga kipas angin kecil. Jendelanya dibiarin terbuka aja, gak ada yang ngalahin segarnya oksigen dari pohon siang-siang."
Kesan pertama yang Eliza dapatkan melebihi ekspektasi yang terbangun. Harga yang begitu miring tak sebanding fasilitas lengkap yang ia dapat. Ranjang kayu yang lengkap dengan bantal dan gulingnya, kipas angin, sirkulasi udara yang sangat baik, toilet pribadi hingga makan gratis! Walau usia bangunan yang sudah cukup tua tak mampu ditutupi, bisa jadi ia akan betah berlama-lama tinggal di rumah itu. Namun ada satu hal yang membuatnya bertanya-tanya.
"Bokap Lo mana? Kerja?"
"Ah, bisa jadi iya. Bisa jadi enggak. Tergantung perspektif kamu melihatnya,"
"Maksudnya?"
"Abi... Jatuh dalam kecelakaan pesawat setahun yang lalu. Hilang di sekitar Kepulauan Seribu, sampai sekarang belum ditemukan. Sekarang kami selalu nganggap Abi masih kerja, jadi belum bisa pulang ke rumah. Kalau pun bukan di dunia ini, semoga kami akan bertemu kembali di hari akhir nanti." Kata-kata yang keluar meluncur enteng dari mulutnya, seperti tak ada beban.
Eliza terdiam, ia merasa sedikit tidak enak.
"Oiya, kamu istirahat aja dulu. Aku ada di kamar sana. Kalau butuh sesuatu, jangan sungkan-sungkan ya," ucap Aisyah cepat.
"Eh, ini duit sewanya?"
"Ah, gampang. Pegang dulu, bayarnya di akhir bulan aja," kata Aisyah. Setelah mengucap beberapa kata tambahan, ia pamit dan meninggalkan Eliza sendirian.
***
Komentar
Posting Komentar