Bab 15, Aneh Lo!
Lapangan basket sekolah hari itu cukup lengang, hanya ada segelintir anggota yang tergabung dalam tim basket inti sedang berlatih untuk turnamen terdekat. Bola yang dilempar Adyan kembali memasuki ring lawan. Keringat membasahi seluruh baju, Adyan sekuat tenaga menggiring bola melewati mereka yang mencoba menghadang. Teman se-timnya pun terabaikan. Detik berikutnya, ia berhasil menembak bola kembali, mencetak poin tambahan bagi timnya.
Berita tentang dirinya kembali terngiang. Kiprah tim basket SMA 11 menurun drastis. Tulisan tersebut ditempel besar-besar di buletin jurnal sekolah, menjadi judul pembuka berita pekan ini. Semakin dipikirkan, gerakan tangannya juga semakin cepat. Ia berhasil menyumbang poin terakhir sebelum peluit babak berakhir berbunyi.
“Garang banget Lo, hari ini.” Rendi, sahabat Adyan yang hari itu jadi tim lawan menepuk pundaknya santai. “Gara-gara berita itu, ya?” ucapnya nyengir.
“Gak juga, sih. Gue gak peduli sama berita,” kata Adyan ringan. Rendi melihatnya mengambil sapu tangan dari tas, lalu melap dahi yang penuh keringat.
“Panas banget ya, hari ini? Terik bener tuh matahari, atap lapangan kita juga tetap ditembus,” gerutu Rendi, ia pun mulai mengibaskan tangan. Rambut keritingnya ikut bergoyang. Adyan mengiyakan. Hari ini memang panas, tak ada angin yang masuk dari sela-sela jaring pembatas lapangan semi outdoor mereka.
“Guyur pakai air nih, Ren!” seru teman bertubuh tinggi yang ikut beristirahat dekat mereka. Ia menunjuk kepala, sambil melemparkan sebotol air mineral pada Rendi.
“Ok, thanks!” Dengan sigap, Rendi menangkap lemparan itu. Setelah mengguyur kepala hingga air tersisa setengah, ia kembali melihat Adyan. “Btw, aneh banget loh. Seorang Adyan, yang sehari-hari selalu tampil klimis. Setiap mau gerak, diperhitungkan dengan hati-hati..” Rendi mengarahkan telunjuk dan jempolnya membentuk kotak, seakan sedang mengambil potret Adyan dengan tangannya. “Kok sekarang jadi urak-urakan gini. Ada masalah, Lo?”
“Ah, nggak. Capek aja kali, gue.” Adyan berdiri dan melakukan beberapa gerakan peregangan otot.
“Lo juga gak bawa aer ya, hari ini?” Rendi membuka-buka tas milik Adyan. “Nih, minum punya gue. Guyur juga kepala. Ntar dehidrasi panas-panas gini.” Ia menyerahkan botol di tangannya, embun menetes menandakan betapa segarnya air di dalamnya.
“Gue puasa,” ungkap Adyan singkat. Ia kembalikan botol itu pada empunya.
“Lah, makin aneh! Udah tahu ada jadwal latihan gini malah puasa!”
“Gak aneh, kemarin-kemarin gue emang lagi puasa juga kok.”
“Kenapa tumben banget?”
“Gak papa, lagi butuh aja,” ucap Adyan sambil tersenyum. “Udah ya, gue cabut dulu!” Adyan pun berpamitan pada teman-teman lain, lalu berlari meninggalkan Rendi yang bengong keheranan.
Sepanjang perjalanan ke kosan, Adyan kembali memikirkan Eliza. Bagaimana keadaan gadisnya itu kini? Kenapa dia bisa tiba-tiba di rumah Aisyah? Apa dia betah dan aman berada di sana?
Mendengar pertanyaan terakhir mencuat dari kepalanya, Adyan menyeringai miris. Memangnya siapa kamu, berani-beraninya mempertanyakan keamanan Eliza? Kamu yang merasa bisa memberi keamanan, malah hampir terjerumus!
Adyan kembali mengingat hari di mana ia memutuskan untuk menembak Eliza. Gadis yang telah menarik hatinya sejak perjumpaan pertama lima tahun silam, ternyata berada di sekolah yang sama dengannya. Awalnya ia berusaha mengelak, tapi semakin hari, hatinya semakin terpaut. Ia terus memerhatikan apa yang diperbuat gadis itu, dengan siapa ia berteman, hingga makanan favoritnya di kantin.
Memperhatikannya setiap hari, ia merasakan perubahan yang sangat jelas pada diri Eliza, terutama dibanding pertemuan pertamanya dulu. Mulutnya kasar dan tidak punya rem. Sikapnya cuek. Teman-teman pun selalu bergosip di belakang.
Hal yang paling menyebalkan bagi Adyan, Eliza selalu menggandeng pria yang berbeda-beda dalam periode waktu singkat. Ingin rasanya, ia mengurung gadis itu dalam istana. Melarangnya bertemu lelaki mana pun di dunia ini. Apalagi, melihat bagaimana Eliza membiarkan dirinya dinikmati, dijamah oleh pria-pria yang jadi pacarnya.
Akhirnya, Adyan memutuskan untuk merebut hati sang gadis. Janji pada dirinya untuk tidak berpacaran terpaksa dilanggar. Ia tak sanggup melihat sang pujaan hati disentuh sembarangan, oleh mereka yang berniat hanya bermain-main.
Namun kini, ia tersadar. Dirinya pun sempat merasakan gejolak itu. Tak mudah untuk menahan, apalagi jika ia dihadapkan pada kesempatan itu kedua kalinya. Pacaran untuk menjaga, untuk memberi rasa aman, ternyata hanya alasan yang ia buat-buat untuk membenarkan perbuatannya.
Mungkin waktu yang pas baginya untuk mengambil jeda, terutama Eliza juga masih terlihat marah atas kesalahpahaman yang terjadi antara mereka. Sambil mengendarai motornya pelan, ia menimbang keputusan yang harus diambil.
***
“Ya ampun, Neng Geulis!” Mbak Yani tak bisa menahan diri memeluk, melihat sosok anak majikannya berdiri di depan pintu rumah. Sedetik kemudian, ia tersadar dan patah-patah melepaskan pelukannya, terutama setelah melihat ekspresi datar Eliza. “Ayo, Neng. Istirahat dulu. Kamar Neng mbak rapikan terus, bisa langsung ditiduri.”
Pak Jude yang melihat dari belakang nyengir, tadi dia juga hampir lepas kendali. Kalau tak ingat usia sang gadis yang sudah bukan bayi lagi seperti ketika pertama kali mereka bertemu, pria itu mungkin sudah menggendongnya tinggi ke langit.
Hati Eliza menghangat mendapat sambutan di rumah, melebihi ekspektasinya. Meski bukan mama atau abah yang memeluknya sedemikian erat, ia tetap merasa setidaknya rumah ini adalah rumahnya. Ada yang menyambut.
Mbak Yanti segera mengambil alih tas bawaan yang ternyata cukup ringan. Eliza sengaja membawa sedikit bajunya saja, bahkan seragam barunya pun tetap berada di lemari kecil Aisyah. Kembali ke rumah kecil nan hangat di sana menjadi kemungkinan yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Terutama jika abah memberi tanda akan melakukan kekerasan fisik, Ummi terus menekankan untuk menyingkir sejenak, lagi, kembali ke rumah itu. Hingga ia mampu berdiri di atas kaki sendiri.
Rumah masih terasa lengang. Vas pajangan yang terakhir pecah, kini sudah ada penggantinya. Sepanjang jalan menaiki tangga, matanya mengawasi kamar Mama yang tertutup rapat. “Ibu belum pulang, udah seminggu.” Begitu kata Mbak Yanii sambil ikut melihat pintu tersebut. Eliza ber-oh pendek, lalu kembali memfokuskan pandangan pada tangga berputar di hadapannya.
Eliza menghempaskan diri di kamarnya yang rapi–seperti kata Mbak Yanti tadi. Berbaring telentang, langit-langit kamar yang polos menjadi pemandangan di hadapannya. Tidak ada stiker, polos amat, batin Eliza. Akhir pekannya ini mungkin akan terasa sangat panjang. Ia memiringkan badan, tanpa menyadari air mata mulai menetes membasahi bantal. Ah, perasaan rindu ini datang lagi. Tapi yang kali ini, entah pada apa.
***
Komentar
Posting Komentar