Control F
Control F
Sabtu lalu, saya kembali mendapat kesempatan mengisi webinar seminar kepenulisan. Selama materi dipersiapkan, cukup banyak refrensi yang perlu dibuka dan diperhatikan. Salah satu pembahasan yang saya bawakan adalah tentang KBBI atau Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Mencari referensi tentang KBBI membuat saya menyadari beberapa hal. Salah satunya, betapa kemajuan teknologi mengubah kebiasaan manusia masa kini. Di zaman sekolah dulu, KBBI terkadang menjadi buku yang butuh dihadirkan atas arahan guru bahasa Indonesia. Para siswa sering menaruhnya di loker atau laci kecil meja, agar tak perlu berat-berat membawanya pulang ke rumah untuk kemudian dibutuhkan lagi di sekolah.
Teknologi makin maju, tak ada lagi yang membawa kamus tebal ke mana-mana. Bahkan di kelas kuliah, semakin sulit menemukan mahasiswa dengan buku catatan konvensional. Semua telah digantikan oleh digital, mudah dan ringan dibawa. Apalagi banyak sekali fitur yang tersedia dalam penggunaan buku digital. Pencarian kata dalam kamus, tinggal mengetikkan huruf tanpa perlu dicari satu persatu berdasarkan abjad. Membuka refrensi di buku-buku digital pun, semakin mudah. Bisa gunakan fitur 'control F' untuk menemukan kata yang diinginkan dengan cepat.
Teringat zaman mondok dulu, di mana penggunaan HP benar-benar dibatasi. Tugas makalah ilmiah dibuat di perpustakaan, buku refrensi harus dicari sedemikian rupa. Kadang, tumpukan buku tebal jadi peneman setia dari pagi hingga malam. Kami pun harus rajin mencatat, sebab tak ada perekam suara yang bisa digunakan.
Namun, di situlah kenikmatan belajar itu benar-benar dirasakan. Berteman bersama tumpukan buku dan pena ternyata bisa sangat menyenangkan. Keterbatasan yang harus dihadapi membuat hasil dari kerja keras itu terasa lebih manis.
Seorang senior mengatakan, aturan mengenai pembatasan HP menjadi keistimewaan yang dirindukan ketika keluar dari pondok. Aturan tersebut membuat kami sempat mengecap bagaimana cara para ulama dahulu mengumpulkan ilmu dalam dada-dada mereka. Keterbatasan dan kesederhanaan yang terus mendorong, meminimalisir hal-hal yang melenakan.
Nyatanya, kualitas ilmu pada zaman ketika lembaran kertas masih lumrah digunakan, tak lebih buruk dibanding zaman digital sekarang. Bahkan, jika dibanding dengan kualitas ilmu ulama atau ilmuwan yang hidup pada zaman goresan pena harus ditulis di lembaran kulit hewan, kualitas ilmu kita di zaman ini tak ada apa-apanya. Karena keterbatasan, mereka memaksimalkan potensi dirinya, mengumpulkan informasi dengan menghafal, misalnya.
Mungkin mereka tidak hidup dalam keterbatasan. Kita yang dilenakan oleh kemudahan. Kita yang terbatasi oleh kebebasan yang digaung-gaungkan.
Memanfaatkan semaksimal mungkin kemudahan yang ada, dengan melecutkan semangat setinggi-tingginya pada ilmu, sebenarnya adalah hal yang patut kita lakukan hari ini.
Komentar
Posting Komentar