Bab 9, Kok Gitu?
Mengambil langkah bersama napas yang menggebu, Eliza segera tiba di sisi motor tersebut. "Woi, Lo siapa! Peluk-peluk pacar orang, gak tau diri banget!"
Mata gadis itu membelalak kaget. Walau tak lentik, bulu mata yang panjang sangat cocok membingkai mata kelerengnya. Warna kulit yang sedikit gelap itu bersih terawat. Bentuk wajah yang sedikit lonjong selintas terlihat familiar, tapi bara cemburu telah membakar habis akal sehatnya.
Tangannya hendak menjambak rambut sang gadis ketika sebuah genggaman menahan. "Jangan, Za!"
Setahu Ryan, Eliza tak pernah datang kurang dari jam tujuh. Bahkan beberapa kali ia mendapati pacarnya dihukum berdiri oleh para anggota OSIS karena terlambat. Walau demikian, untuk jaga-jaga, ia datang jauh lebih awal dibanding hari biasa. Menyembunyikan keberadaan gadis yang diboncengnya terutama dari sang pacar, menjadi tujuan yang ia yakini keberhasilannya. Ia betul-betul tak menyangka akan kedatangan pasangan cantiknya sepagi ini.
Mata Eliza memandang genggaman itu tidak percaya. Telapak yang cukup kuat, menahan tangannya untuk bergerak walau sesenti. Sebelum sempat bertindak lebih jauh, gadis misterius itu segera berkelit, berlari dan menghilang di balik gedung seiringan teriakan Eliza. "Woooi, lo siapa!? Berani-beraninya kabur ya, dasar pengecut!"
"Za..."
"Jahat Lo!"
PLAK!!! Bunyi tamparan itu segera menarik perhatian sekitar. Eliza sudah tidak peduli. Kecewa dan marah menjadi amunisi terkuat menumpahkan sumpah serapah yang biasa ia dengar dari mulut Ayahnya.
"Si*lan banget, dasar cowok br*ngk! An**ng lo! T*i! Pantes aja pesan dari kemarin gak dibalas, ternyata sekarang main di belakang!?" sembur Eliza sambil menyentakkan tangan. Teriakan yang ia keluarkan membuat napas tersengal-sengal.
"Za... Tenang dulu."
"Tenang gimana!? Mau tenang gimana pas lihat pacar selingkuh depan mata kepala? Gimana caranya tenang kalau baru saja ditusuk dari belakang gini, hah br*ngs*k!?" Walau tahu sepak terjang mulut sang pacar terutama jika marah, Ryan cukup tertohok mendengar kata-kata kasar yang keluar. Selama berpacaran, telinganya tak pernah mendengar langsung kalimat makian. Apalagi kini ditujukan untuknya.
"ELIZA!" Ryan mencoba meninggikan suara, berharap gadis di hadapannya bisa berhenti bicara dan mau mendengarkan sekali saja. Hasilnya nihil. Eliza tetap merepet, mengabsen semua penderitaan yang harus ditanggungnya selama ini. Mengumumkan pada mereka yang datang kepagian, keadaannya kini.
"Berani lo ninggiin suara di depan gue, dasar Buaya?! Lo tahu gak, penderitaan yang selama ini gue alamin? Lo ngerti gak sih, luka yang harus gue tanggung? Gue masih gpp, pas bokap seakan udah lupa kalau gue anaknya. Gue tetap bisa nahan dengar bokap nyokap bertengkar setiap ketemu. Gue coba sabar Yan, pas bokap s*alan itu mau nyeret gue, pas mereka mau ngebunuh gue dan akhirnya sekarang jadi gelandangan yang gak jelas harus tinggal di mana! Tapi kalau lo udah kayak gini…” Tersengal-sengal, Eliza terus mengeluarkan seluruh unek-uneknya. Ia sendiri juga tidak mengerti kenapa bisa semarah ini. Padahal seharusnya, Ryan seperti pacar sebelum-sebelumnya. Harusnya mudah saja mencampakkan cowok semacam dia.
“Capek banget, Yan! Kalau udah gini, mending gue mati aja Yan! Bunuh aja sekalian!" Teriakan kalimat panjang itu terdengar serak. Rambut yang acak-acakan, dan seragam yang kotor menambah rasa sedih dalam tatapan Ryan. Gadis di hadapannya terus meracau seperti orang gila.
"Za..., dengerin dulu." Tangan kokoh pemuda itu berusaha menyentuh gadisnya, menenangkan suasana hati, yang langsung ditampik dengan keras.
"Gak usah sok jelasin perkara yang udah jelas. Di sini kita clear kan dulu. Gue, yang putusin Lo. Kita putus!" Setelah berkata begitu, Eliza segera berlari menjauh. Tas yang tertinggal di bawah pohon mangga dilupakan olehnya. Pergi dari sana, hanya itu pikirannya saat ini.
***
Bel istirahat berbunyi nyaring. Seperti biasa, para murid mengisi waktu kosong ini dengan bersantai dan mengisi perut yang keroncongan. Kantin, kelas dan lorong-lorongnya akan penuh oleh obrolan anak remaja.
Kali ini, bahan obrolan sedikit berbeda dari hari-hari lain. Hampir seluruh siswa kasak-kusuk mencari dan menyebarkan gosip ke seantero sekolah tentang kejadian tadi pagi. Topik pembicaraan di kantin, kelas hingga perpustakaan tak lepas dari pasangan fenomenal ini. Saksi mata yang sedikit menjauhkan realita yang sebenarnya, membuat gosip ini semakin ramai digoreng berulang kali. Lagi pula siapa yang peduli dengan kebenaran? Selagi gosip lezat bisa dinikmati gratis, semua orang berebut mencicipi.
Meyda yang ikut penasaran segera bertanya pada sahabatnya yang ia yakini sebagai salah satu orang yang hadir.
"Syah, Aisyah!" Colekan tangannya ternyata dihiraukan. "Aisyaaah, gue mau nanyaa."
"Apa?" jawab Aisyah malas.
"Lo kan selalu datang pagi tuh, nah kira-ki..."
"Kalau mau nanya kejadian tadi pagi, gue gak tahu dan gak mau tahu, Mey."
"Lah, gak mungkin gak tahu. Sepagi itu, belum ada kelas atau perpustakaan yang buka. Pasti Lo juga ada di sekitaran mereka dan mendengar semuanya kan." Tak mau menyerah begitu saja, Meyda terus menghujani teman sebangkunya dengan pertanyaan.
"Gak tahu, Mey... Aku gak mau bergosip siang-siang gini." Gadis berkerudung panjang itu berharap, Meyda segera berhenti.
"Bukan gosip kok. Kan kalau lo emang denger beneran, bukan gosip namanya. Tapi kenyataan, kabar berita. Semua orang bicarain dia yang lagi menyendiri di belakang sana, ruangan kosong itu. Katanya sekarang masih nangis, ada juga kabar kalau dia jadi gila. Ayolah, supaya berita yang tersebar gak ngadi-ngadi banget, yang gak bener bisa dilurusin."
"Meyda, aku gak tahu dan itu bukan urusanku. Bahkan, kalau pun telinga ini memang sempat denger pembicaraan mereka yang jadi bahan gunjingan satu sekolah, aku berharap otak cepat ngelupain aja.
Mey, dalam Islam, ghibah atau gosip bukan cuma untuk perkara hoax. Ghibah itu membicarakan urusan orang lain yang jika yang bersangkutan tahu, ia akan marah. Sedangkan berita yang salah atau hoax bukan gibah lagi jatuhnya, tapi fitnah!
Mey, aku gak mau makan daging saudariku sendiri. Aku gak mau menambah kesedihannya, ketika aib yang ia tak sengaja ia sebar terus dibicarakan seperti ini. Mending mikirin gimana caranya bantu ringanin beban, bukan malah dibuat semakin parah. Jadi, sudah ya.. Tolong berhenti. Karena aku gak mau bicarain ini." Jawaban panjang lebar Aisyah memanyunkan bibir Bella.
Dia emang kesettingnya gitu ya, gak mempan dipengaruhi juga sekali-kali. Ujung bibir Meyda berkedut menahan senyum. Tapi ini yang bikin betah berteman sama dia. Semua rahasia pasti aman!
"Udah ya, aku mau pergi dulu. Hari ini juga gak ke kantin, bawa makanan sendiri." Sambil merogoh kotak bekalnya, ia juga menarik sebuah tas yang asing bagi Meyda.
"Loh, kamu tas baru? Tapi kok bawa dua?"
"Nggak, ini bukan punyaku. Tapi punya orang yang mungkin butuh bantuan, sesegera mungkin," ucapnya misterius, lalu melangkah meninggalkan tatapan bertanya-tanya.
***
Konyol sih, kayaknya mau dihapus aja bab ini..
Komentar
Posting Komentar