Bab 13, Kembali?

Mari bergabung bersama komunitas kampus kami. Belajar bahasa Arab dan ilmu syariah yang sejalan dengan wahyu. Membingkai ilmu dengan akhlak karimah, bersama lingkungan yang kondusif dan dosen berpengalaman. Pembelajaran full beasiswa 100%, syarat dan ketentuan berlaku.  


Setelah membaca kalimat terakhir ke sekian kalinya, Eliza menutup halaman website yang sudah terbuka sejam yang lalu. Ia kemudian memosisikan badan baring telentang, memandangi langit-langit yang penuh tempelan stiker di hadapannya. Pikirannya terbang entah ke mana, hingga desakan di bawah perut membuatnya bangkit dan memutuskan keluar kamar untuk membuang hajat. 


Hajat selesai, tangannya akan membuka pintu ketika panggilan lembut memanggil. “Eliza…” Panggilan itu menghentikan gerakan Eliza masuk kembali ke kamarnya.


“Iya Ummi?”


“Hmm.. Kamu udah mau tidur?”


“Nggak juga sih, Mi. Mungkin sejam-an lagi. Kenapa, Mi?” 


“Sini yuk, duduk dulu temanin Ummi. Aisyah molor duluan, Ummi malah gak bisa tidur.” Ajakan yang tidak bisa ditolak, Eliza pun segera menghampiri Ummi dan duduk di sampingnya. Segelas coklat panas diseduhkan untuknya.


“Ini punya Ummi bukan?” 


“Gpp, mending buat Eliza aja. Kalau udah tua gini, harus kurangin gula,” kekeh Ummi. “Ini Ummi seduh air madu aja, lebih sehat.” Ummi menunjukkan gelas lain yang sepertiganya sudah terisi air madu. Air panas yang sudah mulai dingin pun dituangkan perlahan. “Kalau madu, airnya gak boleh terlalu panas,” jelas Ummi tanpa diminta. Eliza mengangguk saja, dan menerima segelas coklat itu sungkan. 


“Eliza berapa bersaudara?” tanya Ummi setelah meneguk isi gelasnya.  


“Aku anak tunggal, Ummi.”


“Hmm.. Anak tunggal, anak satu-satunya. Seperti Aisyah, ya.” Melihat Eliza mengangguk, Ummi melanjutkan, “Tapi mama kamu gak keberatan, anak tunggalnya gak tinggal di rumah. Malah nyari kos-kosan gitu?”


Diam sejenak, Eliza memikirkan jawaban yang mungkin bisa diutarakan. “Mama sibuk, Mi. Jarang di rumah juga kok.” 


“Tapi dapat izin kan, dari mama?” tanya Ummi menyelidik. Eliza kembali diam mendengar pertanyaan Ummi. Ia tak mungkin berseloroh atau menjawab sekenanya seperti ketika berbicara dengan Aisyah. Akhirnya Eliza memutuskan untuk mengangguk pelan. “Tapi kenapa kamu nyari kosannya yang murah?”


“Gak cukup uangnya, Mi…” 


“Eliza…” Ummi menghela napas perlahan. “Kamu kabur dari rumah, ya?” 


Eliza merasa kegugupan yang luar biasa, terutama karena kini Ummi memandanginya dengan tatapan yang sulit didefinisikan. Lidah berusaha keras untuk menyusun kebohongan berikutnya, tapi hati merasa tak mampu membohongi wanita yang mulai ia hormati itu. Akhirnya setetes air mata menjadi wakil bisu dari jawaban pertanyaan. 


Ummi kembali menghela napas. Tentu ia tahu arti ekspresi dan air mata gadis muda di depannya. Ia merasa bertanggung jawab, sebab kehadiran Eliza di rumahnya sedikit banyak karena usulan dirinya. Namun, air mata yang kemudian berubah jadi isakan membuat hati Ummi luluh. Apa yang membuat anak ini terisak begitu dalam, hingga bahunya bergetar atas pertanyaan yang seharusnya sederhana saja jawabannya? 


Pelukan, itu yang akhirnya dirasakan Eliza pada detik berikutnya. Ummi merengkuh Eliza erat, memberikan kehangatan yang nyaman. Entah kenapa, Eliza merasa aman dalam dekapan itu. Dekapan yang amat ia rindukan. Rasanya sangat cemburu, pada Aisyah yang bisa merasakan dekapan itu setiap hari, tanpa pamrih. Kapan, ya, mama memelukku seperti ini? Anaknya gak pulang dua minggu aja, gak dicariin. Batinnya mendesah, di tengah derasan air mata yang keluar seakan tak ada ujungnya.


***

“Rumahmu di sini?” tanya Aisyah sedikit terkejut tatkala motornya diarahkan memasuki kawasan elite yang dijaga oleh dua satpam. Eliza diam saja, rasanya Aisyah tak butuh jawaban jelas dari mulutnya. 


“Gue turun di sini aja,” Di perempatan jalan pertama dari palang kompleks, Eliza memberi isyarat pada sang pengemudi. “Terima kasih ya.” Suara yang terdengar sedikit sendu, Aisyah mencoba menahan diri untuk tak bertanya lebih lanjut. 


Ya, setelah pembicaraan panjang malam itu, Eliza memutuskan kembali ke rumahnya tiga hari kemudian. Obrolan yang terjadi antara ia dan Ummi Aisyah sangat membekas. Rasanya, baru kali ini bisa mengeluarkan unek-unek yang terus ia tekan dalam-dalam. 


“Ini salah satu bekas yang cukup parah. Disiram bensin, lalu disulut api. Langsung dipadamin sama mama sih, tapi lumayan lama baru bisa beneran padam.” Itu yang Eliza ungkapkan setelah bercerita panjang lebar malam itu, sambil memperlihatkan kulit betisnya yang telah berubah warna. 


“Apa… abahmu selalu melakukan ini? Setiap hari?” 


“Nggak juga, Mi. Abah marah kalau ada pemicu, besoknya biasa udah lupa. Lagi pula, dia sibuk dengan jadwalnya. Mungkin balik ke rumah dua kali setahun gitu. Kecuali kalau kebetulan ada jadwal kerja di kota kita. Ummi kenal kan sama Abah Asep yang muncul di TV?” Eliza menutup kembali betisnya yang tadi ia singkap. “Aku anaknya Abah Asep.” Ummi sedikit terperangah mendengarnya. Abah Asep, Ummi sendiri sesekali mendengar ceramah da’i kondang itu. Tak disangka, anaknya selama ini tinggal bersamanya dan telah mengalami hal berat yang mungkin ia sendiri tak mampu pikul.


“Mamamu tak pernah mencari?” tanya Ummi pelan. Eliza menggeleng. 


“Mama udah hampir gak peduli. Pak Jude, sopir aku selalu bilang, mama jagain aku melalui dia yang harus selalu menjemput. Padahal aku tahu, Pak Jude yang sebenarnya melakukan itu. Atas inisiatif dia sendiri. Dia udah ada sejak aku lahir.” Eliza mengusap air matanya. “Orang yang Aisyah lihat kemarin, kemungkinan juga Pak Jude yang terus berusaha cari aku,” lanjutnya. 


Ummi menatap wajah sendu anak gadis di hadapannya. Pertanyaan atas sifat yang berubah menurut penuturan anaknya kala itu, terjawab malam ini. Bagaimanapun, ia tetap merasa tinggalnya Eliza di rumah ini adalah sesuatu yang salah. 


“Eliza, apa kamu senang tinggal di rumah ini?” 


“Iya, Ummi.” 


“Kenapa?” 


“Di sini, aku merasa bisa bebas dari kekangan rumah. Dari setiap protes mama, atau ancaman dipukuli abah lagi.” Tangan Eliza bergerak memilin ujung bajunya. “Lagi pula, di sini ada Ummi yang perhatian,” ucapnya pelan. 


“Apa mama Eliza memang beneran tidak peduli?” Ummi menghela nafas untuk ke sekian kalinya. “Apa kamu tidak mau, setidaknya, melihat keadaan mama di rumah?”

“Eliza, jika abah kamu melakukan hal yang menyakiti, kamu sebenarnya bisa menyingkir sebentar. Tapi bisa jadi, abah kamu juga menyimpan luka yang butuh diobati.” Ummi terdiam sebentar. “Ingat, bahwa orang tua selalu punya hak untuk dihormati dan ditaati oleh anaknya. Meskipun nasihat ini rasanya ingin dibantah, coba tetap renungkan baik-baik kalimat ini. Orang tua pasti selalu menyayangi anaknya, itu fitrah. Mungkin ada masa lalu yang membuatnya sulit memperlihatkan itu.” Ummi mengambil jeda sejenak. “Ummi senang sekali Eliza tinggal di sini. Tapi, cobalah untuk pulang dan lihat kembali. Jika Eliza kembali butuh tempat untuk menepi sejenak, pintu rumah selalu terbuka lebar.” 


Maka di sinilah ia sekarang. Memandang rumahnya lamat-lamat, kembali menimbang apa kakinya harus ia gerakkan untuk kembali masuk ke sana. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Salah?

Persiapan Keberangkatan (2)

Kail Pemancinh