Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2023

Spin-off novel, Percakapan Malam Terakhir

“Putri kita sudah tidur, sayang?” Seorang pria dewasa dengan janggut tipis di dagu duduk lebih tegak tatkala menyadari kedatangan istrinya. Ia menepuk tempat di sampingnya pelan, mempersilahkan wanita kesayangannya itu ikut duduk beralaskan tikar bersamanya.  “Iya, akhirnya ketiduran. Tapi masih sambil sesenggukan sedikit di dalam mimpi tuh,” ucap sang istri tertawa miris. Kepalanya ia letakkan di bahu sang suami yang kokoh, bahu yang selama ini sudah menanggung begitu banyak tanggung jawab.  “Kasihan…” “Aku sebenarnya mau ngeluh… Bahkan mau ngelarang Abi buat pergi. Tapi gak boleh kan ya?” Wanita itu kembali terkekeh pelan. Temaram lampu ruang keluarga dan udara malam yang berhembus dingin menggerakkan tangannya, mendekap tubuh hangat pria di sampingnya.  “Ummi sedih juga, ya?” tanya pria itu tersenyum. Dielusnya rambut sang istri perlahan.  “Sedih itu fitrah manusia kan? Apalagi ditinggal sama orang paling ganteng sedunia, wajar dong kalau aku sedih.” Wanita itu te...

Terima kasih, Om!

  “Jadi, aku memanggilmu apa? Kak, bang atau om?”  “Kok om sih, emang aku setua itu?” Seruan protesmu, membuatku tertawa hari ini.  Kukira, kita hanya akan terus bersapa melalui tulisan di media. Paling banter, pertemuan layar muka dalam webinar daring. Itu pun dalam keadaan yang kebanyakan offcam, membuka izin kamera ketika sesi foto di akhir acara saja. Namun, pertemuan pertama kita Sabtu pagi ini ternyata benar-benar terjadi. Kebetulan yang tak direncanakan. Rasanya ingin bersembunyi saja.  “Memang tua kan, beda berapa tahun tuh sama dia?” Istrimu menyeletuk, sambil ikut tertawa bersamaku. Ah, dua pasangan idolaku benar-benar nyata di hadapan! “Umurnya seusia omku yang paling muda sebenarnya. Tapi juga, seusia kakak iparku yang paling tua,” jawabku akhirnya.  “Nah, pilih tuh. Mau jadi om-om muda atau kakak tua?” Tawaku meledak lagi mendengar ledekan dari wanita di sampingmu. Kalian bercanda secair ini, ternyata memang seperti yang ada dalam tulisan-tulisanmu ...

Salah Memaknai Wacana

Dapat tema wacana, paling gampang ya curhat sebenarnya. Tentang bagaimana diri ini sering sekali berwacana, tapi realisasinya lambat kayak siput. Bagaimana otak bagian sinisku selalu memandang rendah wacana-wacana yang kubuat secara brutal, terutama di jam-jam overthinking tengah malam. Menuangkan gundah ke dalam tulisan selalu menyenangkan, bisa membantu merapikan kembali pikiran. Terutama tentang wacana dalam kehidupan. Dalam hal ini, wacana adalah rencana yang tidak terlaksana. Tapi setelah mencari tahu, ternyata wacana tidak sama maknanya dengan rencana, seperti yang selama ini kupahami. Wacana adalah suatu bentuk komunkasi yang berlangsung antara dua pihak atau lebih, dengan tujuan untuk menyampaikan gagasan atau informasi. Bukan bermakna seperti rencana, yang merupakan ide yang terorganisiri dalam tindakan konkret. Atau bahkan bukan bermakna ajakan atau ide gagasan yang sekadar omongan belaka dan kebanyakan tidak direalisasikan. Wacana bisa berupa percakapan spontan, presentasi,...

Semacam Motivasi

Kursor di halaman kosong masih berkedip, menanti kata yang harus ia tulis. Namun, otakku tetap menolak untuk menumpahkan kata-kata, meski sudah dibujuk sejak pagi. Berbagai kalimat tentang komitmen dan pencapaian pun tak digubris. Terpaksa, hari ini kita istirahat menulis fiksi (lagi). Karena rasanya sayang untuk tidak melanjutkan sama sekali novel tersebut, mari kita tulis hal yang berhubungan dengannya. Mengingat-ingat motivasi yang mendorong pembuatan novel itu di awal-awal, mungkin bisa jadi pembahasan hari ini. Novel, atau bacaan fiksi adalah kegemaranku sejak kecil. Awalnya, Ummi senang membacakanku buku tipis 'non-fiksi' seri aku bisa. Aku bisa mengikat tali sepatu sendiri, aku bisa tidur sendiri, aku bisa makan sendiri, dan judul-judul sejenis rutin jadi kudapan malam sebelum tidur. Namun, suatu hari Ummi membelikanku sebuah buku yang lebih tebal dari biasanya. Katanya, buku tersebut adalah karangan dari anak seorang da'i, yang ketika dewasa baru kuketahui bahwa d...

Bab 16, Kepo Lo!

Aisyah nyaris berdiri menghampiri, begitu melihat Eliza masuk kelas pagi itu. Namun, isyarat samar yang dilempar gadis berambut pendek itu tertangkap jelas, ia tak mau membahas tentang dirinya sekarang. Selama pelajaran, jam berjalan lebih lambat bagi Aisyah.  “Kok kamu lirik jam terus dari tadi?” Meyda berbisik ketika guru matematika mereka sedang asyik menulis di papan.  “Eh, ketahuan ya? Hehe.” Aisyah segera menarik pandangannya dari jam dinding depan kelas.  “Gimana gak ketahuan. Dari tadi kamu gelisah, sambil gumam-gumam gak jelas gitu,” seru Meyda pelan.  “Ada yang pengen aku pastiin pas jam istirahat nanti,” balas Aisyah. Ia kembali memfokuskan kembali dirinya, mencatat apa yang tertulis di papan tulis. Rasa penasaran Meyda muncul, tapi Pak Nusa sudah selesai menulis dan mulai melotot padanya.  Bel istirahat berbunyi, Aisyah segera mengikuti Eliza yang langsung keluar kelas. Meyda yang ingin menuntaskan rasa penasarannya semakin bertanya-tanya, kotak beka...

Bab 15, Aneh Lo!

  Lapangan basket sekolah hari itu cukup lengang, hanya ada segelintir anggota yang tergabung dalam tim basket inti sedang berlatih untuk turnamen terdekat. Bola yang dilempar Adyan kembali memasuki ring lawan. Keringat membasahi seluruh baju, Adyan sekuat tenaga menggiring bola melewati mereka yang mencoba menghadang. Teman se-timnya pun terabaikan. Detik berikutnya, ia berhasil menembak bola kembali, mencetak poin tambahan bagi timnya.  Berita tentang dirinya kembali terngiang. Kiprah tim basket SMA 11 menurun drastis. Tulisan tersebut ditempel besar-besar di buletin jurnal sekolah, menjadi judul pembuka berita pekan ini. Semakin dipikirkan, gerakan tangannya juga semakin cepat. Ia berhasil menyumbang poin terakhir sebelum peluit babak berakhir berbunyi.   “Garang banget Lo, hari ini.” Rendi, sahabat Adyan yang hari itu jadi tim lawan menepuk pundaknya santai. “Gara-gara berita itu, ya?” ucapnya nyengir.  “Gak juga, sih. Gue gak peduli sama berita,” kata Adyan...

Apa yang Harus Disyukuri Hari Ini?

Apa yang harus disyukuri hari ini?  Itu pertanyaan yang Mama tuliskan besar-besar di bagian atas kertas. Usiaku dan kakak saat itu belum sepuluh, rasanya berat harus memenuhi selembar kertas A5 hanya untuk menjawab satu pertanyaan. Namun tetap saja, tangan kecil kami bergerak. Bekerja sama dengan otak memproduksi tulisan cakar ayam yang hampir tak bisa dibaca.  Lelah menulis, aku akhirnya mengeluh, "Tidak bisa penuh, tidak ada lagi yang bisa dituliskan." Kuangsurkan kertas di tangan, lecek karena berkali-kali harus tergesek dengan penghapus karet. Kakak mengangguk setuju, ia pun menyerahkan hasil tugasnya yang sedikit lebih banyak dibanding punyaku.  Mama tersenyum, dan mulai membaca tulisanku. "Aku bersyukur karena makan sereal tadi pagi. Aku bersyukur karena dibelikan puzzle baru sama papa. Aku bersyukur karena hari ini tidak hujan, jadi bisa main sepeda sama Ayu." Mama berhenti membaca, memang hanya itu yang berhasil kutulis. "Kalau kakak nulis..." Mama...

Update Bab 8

[Temui aku di pantai, tempat kita duduk tadi] Ryan menerima pesan itu ketika fajar sebentar lagi menyingsing. Pikiran yang terus mengkhawatirkan sang pacar membuatnya tak bisa memejamkan mata. Wajah panik Eliza dan ekspresi resah sopirnya membuat ia berpikir negatif. Ia berkali-kali menenangkan diri, Eliza pulang bareng abahnya kok. Namun, pesan terakhir yang ia kirim hanya dibaca tanpa ada balasan, membuat pikiran negatif itu terus bermunculan.  Maka begitu balasan itu ia baca empat jam kemudian, ia segera menyambar jaket dan kunci motornya. Memacu kendaraan itu dengan kecepatan maksimal dalam kegelapan malam, ia mengabaikan angin dingin yang berusaha menembus jaket dan mengelus tulang-tulangnya.  Matanya menangkap sosok Eliza duduk di kursi panjang seberang warung bakso, masih dengan hoodie yang sama. Suasana sepanjang pantai kini sangat sepi, sebagian besar warung di gedung ruko pun tertutup rapat. Tersisa segelintir penjual yang sedang bersiap menghidangkan sarapan pagi, w...

Bab 20, Ahlan wa Sahlan

Bus yang kami tumpangi masih berjalan kencang, mengikuti jalan meliuk-liuk. Meski lampu yang dinyalakan sudah terang maksimal, jalanan di hadapan masih terlihat remang-remang. Sebelah kiri kami, terlihat jurang menganga dengan dasar yang tak terlihat. Bulu kudukku sedikit meremang, membayangkan kegelapan itu menanti jika sopir sedikit oleng dari jalan. Sedangkan sebelah kanan, rimbunan pohon yang tumbuh rapat-rapat memenuhi hingga batas jalan. Tak ada tanda-tanda rumah berpenghuni. Seakan kami, orang-orang yang ada di bus ini adalah kelompok manusia satu-satunya yang iseng menjelajah dunia lain di sini.  "Masih jauh ya, ini?" Ummi yang duduk di sampingku bertanya. Jaket yang sedari tadi sudah terkancing rapat, kini ia periksa lagi. Mungkin ada celah yang membuatnya masih merasa dingin.  "Udah dekat kok, dua kelokan lagi kalau gak salah." Aisyah menyahut dengan suara rendah. Khawatir membangunkan penumpang lain yang sebagian besar masih di alam mimpi.  Seperti kata A...

Sakit, Berdoa Dulu?

Gambar
12°C. Begitulah pemberitahuan di HPku mengabarkan suhu pagi ini di Mesir. Suhu musim dingin menurun dan akan terus menurun hingga mencapai puncak dinginnya di bulan Februari. Kondisi yang tak kusangka lima tahun lalu, ketika Mesir masih kukira sekadar gurun pasir tandus nan panas.  Di masa-masa begini, sangat lumrah mendapat berita teman-teman yang sakit. Tubuh tropis yang terbiasa mendapat curahan matahari sepanjang tahun, harus menghadapi musim menggigil yang kering. Terutama, cuaca Mesir pada akhir tahun selalu labil. Pagi bisa sangat dingin, lalu panas menyengat di siang hari yang kemudian kembali dingin ketika senja datang.  Awal-awal kedatangan, tubuh selalu KO. Namun, setelah lima tahun berjalan, rupanya tubuh bisa sedikit beradaptasi. Yang tadinya bisa meler sebulan bahkan lebih, kini bisa lebih singkat. Tapi tetap saja, selalu ada momen demam meriang datang. Dan fase ini, jadi lebih berat lagi sejak bayi kami hadir dalam kehidupan.  Sakit sekeluarga, artinya kami...

Control F

  Control F Sabtu lalu, saya kembali mendapat kesempatan mengisi webinar seminar kepenulisan. Selama materi dipersiapkan, cukup banyak refrensi yang perlu dibuka dan diperhatikan. Salah satu pembahasan yang saya bawakan adalah tentang KBBI atau Kamus Besar Bahasa Indonesia. Mencari referensi tentang KBBI membuat saya menyadari beberapa hal. Salah satunya, betapa kemajuan teknologi mengubah kebiasaan manusia masa kini. Di zaman sekolah dulu, KBBI terkadang menjadi buku yang butuh dihadirkan atas arahan guru bahasa Indonesia. Para siswa sering menaruhnya di loker atau laci kecil meja, agar tak perlu berat-berat membawanya pulang ke rumah untuk kemudian dibutuhkan lagi di sekolah. Teknologi makin maju, tak ada lagi yang membawa kamus tebal ke mana-mana. Bahkan di kelas kuliah, semakin sulit menemukan mahasiswa dengan buku catatan konvensional. Semua telah digantikan oleh digital, mudah dan ringan dibawa. Apalagi banyak sekali fitur yang tersedia dalam penggunaan buku digital. Pencar...

Bab 14, part 1

 “Ya ampun, Neng Geulis!” Mbak Yanti tak bisa menahan diri memeluk, melihat sosok anak majikannya berdiri di depan pintu rumah. Sedetik kemudian, ia tersadar dan patah-patah melepaskan pelukannya, terutama setelah melihat ekspresi datar Eliza. “Ayo, Neng. Istirahat dulu. Kamar Neng sudah rapi, bisa langsung ditiduri.” Pak Jude yang melihat dari belakang nyengir, tadi dia juga hampir lepas kendali. Kalau tak ingat usia sang gadis yang sudah bukan bayi lagi seperti ketika pertama kali mereka bertemu, pria itu mungkin sudah menggendongnya tinggi ke langit.  Hati Eliza menghangat mendapat sambutan di rumah, melebihi ekspektasinya. Meski bukan mama atau abah yang memeluknya sedemikian erat, ia tetap merasa setidaknya rumah ini adalah rumahnya. Ada yang menyambut.  Mbak Yanti segera mengambil alih tas bawaan yang ternyata cukup ringan. Eliza sengaja membawa sedikit bajunya saja, bahkan seragam barunya pun tetap berada di lemari Aisyah. Kembali ke rumah kecil nan hangat di sana ...

Istirahat Boleh, Menyerah Jangan

  Ini bukan lanjutan cerita. Tapi review ulang kembali plot, terutama setelah mendengar pemaparan materi dari mentor tamu, Kak Puspa Kirana.  Materi dari Kak Puspa terasa sangat relate dengan keadaanku sekarang. Gabung di komunitas 30DWC untuk pertama kalinya di akhir tahun 2020, hobi menulisku terasa mendapatkan wadah. Awalnya aku terus menulis genre non-fiksi, tepatnya tulisan berbentuk memoar. Perjalanan merantau yang membedakanku dari pengalaman orang lain menjadi ide yang kutuangkan setiap hari.  Setelah tiga tahun berjalan, dan aku merasa terus berkutat di situ-situ saja, aku akhirnya memutuskan untuk terjun ke dunia fiksi lebih dalam. Mengingat buku bacaanku juga kebanyakan fiksi, dan rasanya kebaikan yang ingin aku tuangkan lebih nyaman dibagikan dalam bentuk cerita.  Novel yang kutulis ini sebenarnya bukan ide fiksi pertama, tapi menjadi naskah pertama yang kuazzamkan harus selesai. Sudah menduga akan menemui rintangan, tapi ternyata rintangan itu cukup bera...

Bab 13, Kembali?

Mari bergabung bersama komunitas kampus kami. Belajar bahasa Arab dan ilmu syariah yang sejalan dengan wahyu. Membingkai ilmu dengan akhlak karimah, bersama lingkungan yang kondusif dan dosen berpengalaman. Pembelajaran full beasiswa 100%, syarat dan ketentuan berlaku.   Setelah membaca kalimat terakhir ke sekian kalinya, Eliza menutup halaman website yang sudah terbuka sejam yang lalu. Ia kemudian memosisikan badan baring telentang, memandangi langit-langit yang penuh tempelan stiker di hadapannya. Pikirannya terbang entah ke mana, hingga desakan di bawah perut membuatnya bangkit dan memutuskan keluar kamar untuk membuang hajat.  Hajat selesai, tangannya akan membuka pintu ketika panggilan lembut memanggil. “Eliza…” Panggilan itu menghentikan gerakan Eliza masuk kembali ke kamarnya. “Iya Ummi?” “Hmm.. Kamu udah mau tidur?” “Nggak juga sih, Mi. Mungkin sejam-an lagi. Kenapa, Mi?”  “Sini yuk, duduk dulu temanin Ummi. Aisyah molor duluan, Ummi malah gak bisa tidur.” Ajakan ...