Postingan

Spin-off novel, Percakapan Malam Terakhir

“Putri kita sudah tidur, sayang?” Seorang pria dewasa dengan janggut tipis di dagu duduk lebih tegak tatkala menyadari kedatangan istrinya. Ia menepuk tempat di sampingnya pelan, mempersilahkan wanita kesayangannya itu ikut duduk beralaskan tikar bersamanya.  “Iya, akhirnya ketiduran. Tapi masih sambil sesenggukan sedikit di dalam mimpi tuh,” ucap sang istri tertawa miris. Kepalanya ia letakkan di bahu sang suami yang kokoh, bahu yang selama ini sudah menanggung begitu banyak tanggung jawab.  “Kasihan…” “Aku sebenarnya mau ngeluh… Bahkan mau ngelarang Abi buat pergi. Tapi gak boleh kan ya?” Wanita itu kembali terkekeh pelan. Temaram lampu ruang keluarga dan udara malam yang berhembus dingin menggerakkan tangannya, mendekap tubuh hangat pria di sampingnya.  “Ummi sedih juga, ya?” tanya pria itu tersenyum. Dielusnya rambut sang istri perlahan.  “Sedih itu fitrah manusia kan? Apalagi ditinggal sama orang paling ganteng sedunia, wajar dong kalau aku sedih.” Wanita itu te...

Terima kasih, Om!

  “Jadi, aku memanggilmu apa? Kak, bang atau om?”  “Kok om sih, emang aku setua itu?” Seruan protesmu, membuatku tertawa hari ini.  Kukira, kita hanya akan terus bersapa melalui tulisan di media. Paling banter, pertemuan layar muka dalam webinar daring. Itu pun dalam keadaan yang kebanyakan offcam, membuka izin kamera ketika sesi foto di akhir acara saja. Namun, pertemuan pertama kita Sabtu pagi ini ternyata benar-benar terjadi. Kebetulan yang tak direncanakan. Rasanya ingin bersembunyi saja.  “Memang tua kan, beda berapa tahun tuh sama dia?” Istrimu menyeletuk, sambil ikut tertawa bersamaku. Ah, dua pasangan idolaku benar-benar nyata di hadapan! “Umurnya seusia omku yang paling muda sebenarnya. Tapi juga, seusia kakak iparku yang paling tua,” jawabku akhirnya.  “Nah, pilih tuh. Mau jadi om-om muda atau kakak tua?” Tawaku meledak lagi mendengar ledekan dari wanita di sampingmu. Kalian bercanda secair ini, ternyata memang seperti yang ada dalam tulisan-tulisanmu ...

Salah Memaknai Wacana

Dapat tema wacana, paling gampang ya curhat sebenarnya. Tentang bagaimana diri ini sering sekali berwacana, tapi realisasinya lambat kayak siput. Bagaimana otak bagian sinisku selalu memandang rendah wacana-wacana yang kubuat secara brutal, terutama di jam-jam overthinking tengah malam. Menuangkan gundah ke dalam tulisan selalu menyenangkan, bisa membantu merapikan kembali pikiran. Terutama tentang wacana dalam kehidupan. Dalam hal ini, wacana adalah rencana yang tidak terlaksana. Tapi setelah mencari tahu, ternyata wacana tidak sama maknanya dengan rencana, seperti yang selama ini kupahami. Wacana adalah suatu bentuk komunkasi yang berlangsung antara dua pihak atau lebih, dengan tujuan untuk menyampaikan gagasan atau informasi. Bukan bermakna seperti rencana, yang merupakan ide yang terorganisiri dalam tindakan konkret. Atau bahkan bukan bermakna ajakan atau ide gagasan yang sekadar omongan belaka dan kebanyakan tidak direalisasikan. Wacana bisa berupa percakapan spontan, presentasi,...

Semacam Motivasi

Kursor di halaman kosong masih berkedip, menanti kata yang harus ia tulis. Namun, otakku tetap menolak untuk menumpahkan kata-kata, meski sudah dibujuk sejak pagi. Berbagai kalimat tentang komitmen dan pencapaian pun tak digubris. Terpaksa, hari ini kita istirahat menulis fiksi (lagi). Karena rasanya sayang untuk tidak melanjutkan sama sekali novel tersebut, mari kita tulis hal yang berhubungan dengannya. Mengingat-ingat motivasi yang mendorong pembuatan novel itu di awal-awal, mungkin bisa jadi pembahasan hari ini. Novel, atau bacaan fiksi adalah kegemaranku sejak kecil. Awalnya, Ummi senang membacakanku buku tipis 'non-fiksi' seri aku bisa. Aku bisa mengikat tali sepatu sendiri, aku bisa tidur sendiri, aku bisa makan sendiri, dan judul-judul sejenis rutin jadi kudapan malam sebelum tidur. Namun, suatu hari Ummi membelikanku sebuah buku yang lebih tebal dari biasanya. Katanya, buku tersebut adalah karangan dari anak seorang da'i, yang ketika dewasa baru kuketahui bahwa d...

Bab 16, Kepo Lo!

Aisyah nyaris berdiri menghampiri, begitu melihat Eliza masuk kelas pagi itu. Namun, isyarat samar yang dilempar gadis berambut pendek itu tertangkap jelas, ia tak mau membahas tentang dirinya sekarang. Selama pelajaran, jam berjalan lebih lambat bagi Aisyah.  “Kok kamu lirik jam terus dari tadi?” Meyda berbisik ketika guru matematika mereka sedang asyik menulis di papan.  “Eh, ketahuan ya? Hehe.” Aisyah segera menarik pandangannya dari jam dinding depan kelas.  “Gimana gak ketahuan. Dari tadi kamu gelisah, sambil gumam-gumam gak jelas gitu,” seru Meyda pelan.  “Ada yang pengen aku pastiin pas jam istirahat nanti,” balas Aisyah. Ia kembali memfokuskan kembali dirinya, mencatat apa yang tertulis di papan tulis. Rasa penasaran Meyda muncul, tapi Pak Nusa sudah selesai menulis dan mulai melotot padanya.  Bel istirahat berbunyi, Aisyah segera mengikuti Eliza yang langsung keluar kelas. Meyda yang ingin menuntaskan rasa penasarannya semakin bertanya-tanya, kotak beka...

Bab 15, Aneh Lo!

  Lapangan basket sekolah hari itu cukup lengang, hanya ada segelintir anggota yang tergabung dalam tim basket inti sedang berlatih untuk turnamen terdekat. Bola yang dilempar Adyan kembali memasuki ring lawan. Keringat membasahi seluruh baju, Adyan sekuat tenaga menggiring bola melewati mereka yang mencoba menghadang. Teman se-timnya pun terabaikan. Detik berikutnya, ia berhasil menembak bola kembali, mencetak poin tambahan bagi timnya.  Berita tentang dirinya kembali terngiang. Kiprah tim basket SMA 11 menurun drastis. Tulisan tersebut ditempel besar-besar di buletin jurnal sekolah, menjadi judul pembuka berita pekan ini. Semakin dipikirkan, gerakan tangannya juga semakin cepat. Ia berhasil menyumbang poin terakhir sebelum peluit babak berakhir berbunyi.   “Garang banget Lo, hari ini.” Rendi, sahabat Adyan yang hari itu jadi tim lawan menepuk pundaknya santai. “Gara-gara berita itu, ya?” ucapnya nyengir.  “Gak juga, sih. Gue gak peduli sama berita,” kata Adyan...

Apa yang Harus Disyukuri Hari Ini?

Apa yang harus disyukuri hari ini?  Itu pertanyaan yang Mama tuliskan besar-besar di bagian atas kertas. Usiaku dan kakak saat itu belum sepuluh, rasanya berat harus memenuhi selembar kertas A5 hanya untuk menjawab satu pertanyaan. Namun tetap saja, tangan kecil kami bergerak. Bekerja sama dengan otak memproduksi tulisan cakar ayam yang hampir tak bisa dibaca.  Lelah menulis, aku akhirnya mengeluh, "Tidak bisa penuh, tidak ada lagi yang bisa dituliskan." Kuangsurkan kertas di tangan, lecek karena berkali-kali harus tergesek dengan penghapus karet. Kakak mengangguk setuju, ia pun menyerahkan hasil tugasnya yang sedikit lebih banyak dibanding punyaku.  Mama tersenyum, dan mulai membaca tulisanku. "Aku bersyukur karena makan sereal tadi pagi. Aku bersyukur karena dibelikan puzzle baru sama papa. Aku bersyukur karena hari ini tidak hujan, jadi bisa main sepeda sama Ayu." Mama berhenti membaca, memang hanya itu yang berhasil kutulis. "Kalau kakak nulis..." Mama...