Pisah?

"Bagaimana jika kita pisah aja?" celetuk suami. Sontak, aku memandangnya lama. 

Pisah dulu, alias LDM dulu. Pilihan ini juga mulai kupikirkan. Suami terlebih dahulu terbang ke Saudi, nanti aku dan Nusaibah menyusul kemudian. Namun, mengapa harus duluan?

Bagi mahasiswa dari Timur Tengah, khususnya laki-laki, mencari dana tambahan di Saudi menjadi hal yang cukup lumrah. Berbekal ilmu agama yang dipelajari di kampus dan kemampuan berbahasa Arab--khususnya bahasa Arab 'Ammiyah yang digunakan sehari-hari, mahasiswa Timur Tengah (dan alumninya) bisa mendapat pekerjaan freelance di Saudi. 

Travel sering kali mencari mahasiswa yang memang sudah berada di Saudi untuk menekan biaya akomodasi. Entah menjadi muthawwif atau tour guide, menjadi asisten di travel, atau sekadar bantu penjemputan di bandara. Gaji yang ditawarkan bisa menjadi pemasukan tambahan. Tantangannya, saingan yang cukup banyak di sana membutuhkan koneksi dan kecakapan yang mumpuni. Hasil yang didapatkan sama sekali tak mampu diprediksi, terutama jika belum punya kenalan travel sebelumnya. 

Pekerjaan di sana juga menuntut fisik dan waktu yang tidak sedikit. Bagi seorang suami yang memilih membawa anak dan istri yang masih kecil, pekerjaan yang menyita hampir seluruh waktu seperti ini akan kurang maksimal. Pikiran dan fokus bisa terbagi ke tuntutan jamaah travel dan keluarganya. Maka jalan terbaik, ya pisah dulu. Berusaha mencari tawaran pekerjaan di sana, lalu kami ikut ketika dana telah tercukupi. 

"Sebenarnya lumayan berat kalau harus LDM, meskipun hanya beberapa waktu," kataku pelan. "Tapi, apa dicoba dulu?" 

"Iya, aku pun berat kalau harus pergi duluan." Suami menghela napas. 

Diskusi kami hari itu berakhir tanpa kesimpulan. Aku lalu membayangkan kehidupanku di Mesir tanpa suami. Bagaimana mengasuh Nusaibah, membeli kebutuhan, dan mengurus rumah sendirian. Teman-teman yang lain ada sih, cuma kebanyakan dari mereka juga sudah menikah dan punya keluarga yang harus diurus. 

"Bagaimana kalau panggil kawan untuk temanin kamu selama aku pergi? Kalau perlu, kita kasih biaya akomdasi gitu," kata suami ketika kami kembali membahas umroh Ramadhan ini. 

"Aku sungkan banget. Dia kemungkinan akan kurang nyaman di sini, aku juga rasanya masih bisa sendiri." Aku memberi jeda sebentar, "Kamu..., pergi saja dulu. Sepertinya aku gak apa-apa," kataku akhirnya. Setelah memikirkan ulang, aku memang merasa mungkin LDM ini bisa dijalani. Pikiran yang terlalu sering berlebihan bisa dilatih lagi dengan melihat hal-hal positif. Terutama jika pada selanjutnya, kami benar-benar bisa melaksanakan umroh Ramadhan. 

Suami kembali memastikan kesiapanku. Ia juga membeberkan beberapa kemungkinan yang bisa terjadi, termasuk jika dana yang dibutuhkan ternyata tidak mencukupi nanti. 

"Bismillah. Mari kita berjuang." Kami akhirnya bersepakat untuk mengambil jalan ini. 

Permasalahan yang tersisa adalah dana yang masih kurang sedikit untuk keberangkatan satu orang. Permasalahan yang ternyata selesai dalam beberapa hari kemudian. 

"Abi, ini ada visa promo. Lumayan banget selisihnya!" Aku menunjukkan layar HPku. Tanpa berpikir lama, suami memutuskan membeli visa tersebut. 

Beberapa hari selanjutnya, ia menceritakan tentang seorang teman yang juga menjual tiket. Katanya, ia diinfokan sebuah tiket murah ke Saudi yang sesuai dengan tanggal perencanaan kami. Tiket pulang pergi Kairo ke Saudi hanya berkisar empat juta. 

"Tapi kalau kita beli tiket ini, uang yang bisa ditinggalin buat kebutuhan di sini mungkin gak akan banyak." Suami kembali menghitung dana yang tersisa. "Untuk beli bahan makanan sehari-hari dan sewa rumah masih tertutupi. Tapi cuma sebatas itu, harus rajin masak tiap hari dan nggak bisa jajan yang lain-lain. Bagaimana?" 

Aku kemudian mengangguk menyetujui. Tantangan yang cukup berat, ditinggal suami LDM dan harus menahan diri agar tidak jajan. Hanya doa yang bisa terus dipanjatkan agar aku dimampukan. 

"Semoga secepatnya ada hasil dari sana ya, nanti aku ngirim-ngirim tambahan juga insyaa Allah," kata suami, sebelum ia kemudian benar-benar membeli tiket tersebut. 

Bismillaah, hari-hari selanjutnya mungkin tidak akan mudah. Namun, semoga Allah melihat perjuangan kami dan benar-benar memanggil kami ke sana... 

Komentar

  1. Masya Allah, tabarakallah, perjuangan yang menggetarkan hati. O y, kak Dina sama suami, masih sama² kuliah kah di Mesir?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Kak. Kami sama-sama kuliah di Mesir

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Salah?

Persiapan Keberangkatan (2)

Kail Pemancinh