Bus Putih Penyelamat
Seperti yang telah diceritakan sebelumnya, aku sekeluarga ditakdirkan tinggal di sebuah hotel bintang satu selama sebulan penuh di Mekkah. Meskipun jarak antara tempat tinggal dan Masjidil Harom jika ditarik lurus tak sampai enam kilometer, kami tetap selalu membutuhkan kendaraan setiap akan pergi ke sana. Memaksakan jalan kaki, kami harus melalui jalan yang berputar dan arus lalu lintas yang cukup padat.
Sebelum Ramadhan tiba, harga taksi yang ditawarkan dari daerahku tinggal, Aziziyah, ke Masjidil Harom hanya lima riyal. Setara 20 ribu rupiah. Namun, padatnya pendatang di bulan Ramadhan membuat taksi menaikkan upah tarifnya berkali-kali lipat. Mendapat taksi harga sepuluh riyal per orang sudah untung, itu pun masih mengambil penumpang lain di pertengahan jalan. Taksi rasa angkot, begitu candaku pada suami setiap melihat sopir yang terus menaikkan penumpang hingga penuh.
Harus mengeluarkan anggaran sebesar dua puluh riyal untuk dua orang, atau setara delapan puluh ribu rupiah setiap hari rasanya bisa membuat dompet lebih cepat kosong. Maka pilihan moda transportasi lain yang bisa dilirik adalah bus. Untungnya, di dekat hotel kami, terdapat halte bus yang langsung ke arah Masjidil Harom. Bus yang datang setiap sepuluh menit sekali itu disediakan oleh pihak kerajaan untuk mengantar pendatang ke tempat-tempat tertentu. Kabar baik berikutnya, bus putih ini disediakan gratis.
Kata teman yang telah berdomisili cukup lama di sana, bus ini jadi andalan masyarakat Saudi yang belum memiliki mobil untuk berpergian. Bagian dalamnya luas, tersedia tempat untuk menaruh kursi roda atau stroller dalam keadaan terbuka. Aku merasa lebih leluasa bepergian menggunakan bus ini sambil membawa Nusaibah, tidurnya di stroller tidak akan terganggu karena harus naik turun kendaraan.
Sayangnya, karena gratis, bus ini bisa sangat penuh di jam-jam tertentu. Semua orang mendesak masuk, tak peduli imbauan sopir yang menahan karena pintu tak bisa tertutup. Di halte bus Masjidil Harom, jubelan manusia yang menunggu menjadi pemandangan sehari-hari, khususnya setelah sholat Subuh. Tak jarang terjadi pertengkaran antar penumpang, karena berebut ingin cepat masuk.
Selain itu, jalanan umum terdekat yang bisa dijangkau dari Masjidil Harom ditutup selama Ramadhan. Sehingga kami harus berjalan cukup jauh setiap akan datang dan pulang dari sana. Karena itu kadang aku memilih berlama-lama saja di masjid, kadang malah merasa malas pulang membayangkan jarak yang harus ditempuh dan desakan penumpang. Waktu pagi, sekitar pukul 7-9 menjadi waktu yang kami pilih untuk pulang. Jalanan cukup sepi, dan penumpang sudah tak banyak.
Meski harus melalui tantangan yang beragam, aku cukup mensyukuri keberadaan bus putih ini. Ia menjadi penyelamat anggaran akomodasi, juga jadi pilihan terbaik untuk mengelilingi kota Mekkah ini. Semoga bus ini terus tersedia dengan pengingkatan layanan, dan penyelenggaranya--entah itu melalui wakaf atau dana kerajaan-- diberi balasan kebaikan yang banyak.
Komentar
Posting Komentar