Nol Ekspektasi
Sebagaimana pengambilan keputusanku untuk menikah ketika masih kuliah, aku tahu bahwa ada hal-hal yang harus dikorbankan ketika menjalankan umroh sambil membawa anak. Ekspektasi harus dibuat serendah mungkin, bahkan jika bisa harus nol. Apa saja bisa terjadi, hak-hak anak harus diutamakan. Sebab, bukan keinginannya untuk melakukan perjalanan yang menuntut ketahanan fisik, terutama pada bulan Ramadhan.
Sebelum berangkat, aku terlanjur berekspektasi tentang satu hal, yang kusesali di kemudian hari. Membayangkan akan i'tikaf di masjid, berdiam selama mungkin di Masjidil Harom dan mengulang hafalan hingga lancar selama periodeku berada di tanah suci. Kukatakan pada diriku, tak apa walau tak di depan Ka'bah langsung. Yang penting, masih di dalam masjid dan sholat yang didirikan masih dilipatgandakan seratus ribu kali.
Ternyata, meskipun telah berusaha berekspetasi lebih rendah dari keinginan utama, aku tetep menelan kekecewaan. Keadaan masjid yang membludak, penuh oleh lautan manusia di setiap sudutnya, membuatku tak bisa leluasa mencari tempat yang nyaman bagi kami berdua. Apalagi keadaanku membawa stroller yang cukup menyita tempat, kami lebih sering kehabisan tempat. Alhasil, hanya sholat-sholat wajib yang bisa dilaksanakan. Selepas itu, para askar akan bertugas mengusir-ngusir kami yang masih ingin duduk di pelataran, yang merupakan jalanan umum bagi orang untuk berlalu lalang.
Pada hari-hari berikutnya, aku mulai bisa menemukan celah dan tempat yang pas. Rooftop tempat sa'i menjadi pilihan yang kurasa cukup baik. Askar tak lagi datang mengusir, sebab tempat tersebut merupakan lantai teratas yang tidak dilalui banyak orang. Meski tak ada mesin pendingin seperti di dalam masjid, aku merasa cukup di sana. Bisa beribadah lebih tenang, dan membiarkan Nusaibah berlarian di pelatarannya yang luas.
Sayangnya, untuk mencapai tempat ini, kami harus menaiki elevator hingga sembilan kali. Lift yang disediakan lebih sering digunakan untuk mengangkut jamaah dengan kursi roda, dan juga peralatan kebersihan yang biasanya besar-besar. Jika beruntung, stroller yang kubawa bisa jadi alasan kami menggunakan lift itu. Namun, ketika sedang ramai, jangan berharap bisa menaikinya.
Kendala berikutnya adalah, Nusaibah sempat sakit setelah kami pergi ke Masjidil Harom berturut-turut. Pikirku, ia takkan kecapaian. Karena selama di masjid, ia duduk bahkan bisa berbaring di strollernya. Hal yang tak kuperhitungkan, Masjidil Harom di bulan Ramadhan benar-benar sangat ramai. Diperkirakan jumlah jamaah dua kali lipat dibanding haji tahun sebelumnya. Berbagai suku dan ras berkumpul di satu tempat, dengan kondisi dan keadaan yang berbeda-beda. Nusaibah sering rewel tatkala harus menghadapi kepadatan manusia, apalagi ketika kami sedang mengejar waktu sholat.
Sakit yang dialami sebenarnya tak begitu parah, hanya batuk dan badannya sedikit hangat. Namun, suami memutuskan agar intensitasku ke masjid dikurangi. Tidak setiap hari, tetapi selang-seling atau tiga kali seminggu saja. Mendengar itu pertama kali, rasanya sedih sekali. Ekspektasi yang berusaha kurendahkan sedemikian rupa ternyata masih cukup tinggi. Keadaan ramai nan padat di masjid tidak kuperhitungkan.
Sekali lagi, hak-hak anak harus jadi prioritas. Maka, meskipun terasa menyedihkan, aku mematuhi keputusan suami. Nusaibah juga bisa mendapat kesempatan bermain leluasa di kamar hotel, yang mungkin susah ia lakukan di dalam masjid yang padat.
Semoga perjalanan umroh Ramadhan tahun ini memberikan pengalaman baru bagi Nusaibah dan menumbuhkan kecintaan dalam dadanya pada tanah suci yang Allah pilih. Semoga suatu hari nanti, Nusaibah telah cukup mengerti, dan kami bisa beribadah bersama semaksimal mungkin...
Komentar
Posting Komentar