Pasrah

Hari demi hari berlalu, waktu keberangkatanku semakin dekat. Suami terus memberitahu kondisi terbaru yang ia dapatkan. Setelah beberapa hari pencarian, sebuah hostel berkapasitas lima orang akhirnya menjadi pilihan yang paling memungkinkan. Jaraknya mungkin cukup jauh dari Masjidil Harom, tapi masih bisa dijangkau. Harga yang ditawarkan juga masih masuk anggaran, meski tetap terasa mahal. 

Namun, pertimbangan selanjutnya adalah kamar mandi yang disediakan adalah kamar mandi bersama di luar. Dari berbagai tipe kamar yang ada, kami tetap harus berbagi kamar--dan dapur dengan kamar lainnya. 

"Kira-kira ada teman akhwat lain gak, yang mau ke sini lagi?" tanya suami setelah melaporkan hasil terkini. 

"Sebenarnya ada beberapa yang punya rencana, tapi masih baina-baina. Masih ragu."

"Sebaiknya kalau mau sewa di sini, yang nempatin kamar samping juga perempuan. Minimal suami istri jugalah."

"Iya, aku juga mikir gitu. Tapi mereka masih nunggu pertimbangan suami-suami juga, belum bisa kasih kepastian."

Rasa galau menghantui selama berhari-hari. Selama masa penungguan tersebut, kami baru disadarkan oleh masalah lain. Aku dan Nusaibah belum punya teman yang berangkat bersama nanti di pesawat. Membayangkan melakukan perjalanan hanya berdua dengan anak dan membawa seabrek koper bersamaku menambah kalut pikiran. 

Pikiranku jadi terbang ke seribu satu kemungkinan. Aku jadi sering bengong, terutama jika pikiran terburuk terlintas : tak jadi berangkat, lalu visa serta tiket kami hangus begitu saja karena terkendala akomodasi. 

Selama masa penantian itu, aku merasa dilatih kembali tentang keyakinan dan prasangkaan baik kepada Allah. Bahwa rencana ini harus benar-benar kusandarkan pada Allah, bahwa tempat pintaku hanya pada-Nya. Meski tiket dan visa telah digenggam, kemungkinan untuk tak berangkat tahun ini masih ada. Aku harus memasrahkan kepada seluruh kuasa dan kehendak-Nya. 

Maka pada malam-malam berikutnya, aku bersimpuh pada Allah. Mengadukan seluruh gundah, merengek seperti anak kecil yang memohon pada ibunya. Meminta ampun pada secuil keraguan, juga secuil rasa mengandalkan diri sendiri--atau pun suami. Bagaimanapun, seluruh upaya takkan berarti tanpa kehendak-Nya. 

Hingga pada suatu hari, aku dihubungi oleh seorang teman...

Bersambung. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Salah?

Persiapan Keberangkatan (2)

Kail Pemancinh