Persangkaan yang Diuji

"Abi belum dapat tempat tinggal yang cocok sampai sekarang...," ucap suamiku suatu pagi. Tanggal hari itu memberitahu bahwa keberangkatanku kurang dari sepuluh hari lagi.

Kabar yang datang tiba-tiba itu cukup mengejutkan, kukira penginapan yang tersedia di sana bisa mudah diakses. Suami sendiri tinggal bersama teman-temannya di sebuah flat apartemen sederhana yang berlokasi di Ajyad, sebuah tempat yang bisa dijangkau dari Masjidil Harom dengan berjalan kaki. Pada kesempatan tertentu, beliau mengajakku room tour melalui videocall. Meski harus berbagi tempat dan ruang pribadi, fasilitas yang disediakan cukup lengkap. Karena patungan, beliau membayar tak sampai sejuta rupiah untuk tinggal selama sebulan.

Kukira kami akan menempati flat itu, sesuai rencana awal yang kadang dibicarakan melalui telepon. Namun, informasi yang diberikan pagi itu membuatku terhenyak. "Penginapan di sini naik berkali lipat. Bisa tiga sampai lima kali lipat. Flat di sini juga sudah naik, kalau mau maksa di sini harus punya budget puluhan juta untuk satu bulan. Padahal hanya flat tanpa lift loh, gimana hotel-hotel lain, ya."

Karena mengejar promo, tiket yang kami beli memang sudah berupa tiket pulang pergi. Total perjalanan 38 hari, dari penghujung bulan Sya'ban hingga tanggal tujuh Syawal. Ekspektasiku bisa menghabiskan satu bulan Ramadhan full di sana. Namun, mendengar kabar kenaikan harga yang drastis membuat semangatku menciut kembali.

"Barang kebutuhan juga pada naik. Taksi semakin susah ditawar menjelang Ramadhan tiba." Aku mengingat kembali dana yang ada saat ini. Meski telah dihemat sedemikian rupa, meski suami berusaha untuk mencari tambahan nafkah di sana, nilai puluhan juta untuk sebulan penginapan tetap terasa sangat mahal. Akomodasi yang dibutuhkan di sana juga kemungkinan tak bisa ditekan terlalu banyak, kami punya anak yang harus dipenuhi haknya, terutama makan dan tempat tinggal.

"Mungkin kalau Abi sendiri di sini masih bisa diakali, tidur di kamar teman yang mahasiswa di sini. Atau cari penginapan dan tinggal sampai puluhan orang. Kalau sama Ummi dan Nusaibah, gak mungkin gitu..,"

"Apa kita harus re-schedule tiket? Atau aku udah gak punya kesempatan untuk umroh Ramadhan tahun ini?" potongku cepat. Air mata mengalir deras, yang kali itu tak terlihat karena kami memilih menelpon tanpa video. 

Persangkaanku pada Allah dan keyakinanku pada takdir-Nya benar-benar diuji di sini, apa seluruh rencana yang telah kami canangkan akan terpatahkan di sini? 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Salah?

Persiapan Keberangkatan (2)

Kail Pemancinh