Insyaa Allah, Ada Jalan

"Sama di tiga hari!" 

Kabar dari suami sore itu sontak membuatku merasa lemas. Kegundahan karena harus menghadapi ujian terakhir kali ini tidak cukup, aku dan suami ternyata memiliki jadwal yang bertabrakan di tiga dari tujuh hari ujian tulis yang diadakan dalam waktu dekat ini. Pikiran langsung traveling ke mana-mana. 

Sebagai informasi bagi yang belum tahu, sistem penilaian di fakultas keagaman di Al-Azhar sejauh ini hanya fokus di satu aspek : ujian akhir. Mahasiswa di Al-Azhar mungkin bisa tak masuk di setiap kelas perkuliahan, kami juga tak dibebankan tugas yang menumpuk atau esai yang harus dikumpul dalam periode tertentu. Bahkan tak ada skripsi dalam penentuan kelulusan.

Namun, jangan harap bisa lepas dari ujian akhir. Ujian akhir merupakan satu-satunya penentu kenaikan tingkat bagi seorang mahasiswa. Kegiatan rutin ini wajib dihadiri bagaimanapun keadaannya. Tak bisa hadir? Ulang tahun depan! Karena itu, ujian tulis dan lisan yang diadakan di setiap pergantian semester ini menjadi momok yang selalu sukses membuat jantung para mahasiswa berdetak lebih kencang dari biasanya. 

Keadaan kami sebagai pasutri dengan satu anak tetap tak memiliki keringanan untuk mengubah aturan tersebut. Toh, kegiatan perkuliahan bisa dihadiri sesukanya, maka jangan harap ujian juga bisa demikian. 

Karena itu, agenda keluarnya jadwal ujian menjadi hal yang kutunggu dengan hati cemas. Apa kali ini kami bisa pergi bergantian, atau harus mencari orang yang mau dititipkan anak ketika ujian kami bertabrakan. 

Tahun lalu--Alhamdulillah, tak ada sehari pun yang bertabrakan. Aku bisa leluasa ujian tanpa dibayangi tangisan Nusaibah. Yaa, kadang tetap rewel sih cari umminya. Namun, keadaannya yang di rumah bersama abinya tak perlu membuatku terlalu khawatir. Toh, dia bersama orang yang paling familiar dan paling tahu tentangnya--nomor dua. 

Namun, ujian terakhirku kali ini ternyata harus ditutup dengan tabrakannya jadwal kami. Aku mulai mendaftar kemungkinan orang yang bisa menjaga Nusaibah. Dia tak boleh mahasiswa yang seangkatan denganku, jarak rumahnya harus cukup dekat sehingga kami bisa lebih mudah mengantar dan menjemputnya, bukan ibu yang punya bayi kecil--karena akan repot sekali mengasuh bayi kecil bersama Nusaibah yang aktif, dan lebih baik jika ia tahu cara mengondisikan Nusaibah yang rewel karena mencari orang tuanya--minimal bisa tahan kalau dia mulai menangis meraung-raung. 

Jadwal masih dua pekan lagi, aku mungkin tak harus terburu-buru mencari orang tersebut. Ketika aku masih cukup santai memilih para 'kandidat', kabar berikutnya datang secara tiba-tiba. 

Jadwal ujian lisan keluar, dan aku hanya punya waktu tak kurang dari seminggu untuk mempersiapkan diri. Dan kabar yang lebih mengejutkan lagi, jadwal tersebut bertabrakan dengan jadwal ujian pertama suami! 

Jika aku punya jenggot, istilah kebakaran jenggot mungkin bisa lebih kupahami di kondisi ini. Bagaimana ini, siapa yang bisa kutitipi? Kandidat terkuat sejauh ini masih berada di Indonesia, ia akan kembali dari liburannya setelah beberapa hari kemudian.Teman-teman yang di sini kebanyakan adalah teman angkatanku, yang tentunya harus ujian juga. 

Setelah melalui diskusi yang panjang nan alot, kami memutuskan membawa Nusaibah ke ruang ujian. Bukan kami sih, lebih tepatnya aku akan membawanya ikut ujian lisan kali ini. Karena diadakan secara lisan dan dilakukan secara bergantian, aku kemungkinan akan lebih leluasa menjaga Nusaibah dibanding suami dan ujian tulisnya yang harus dijalankan secara serentak. 

Hari pertama yang mendebarkan tiba. Baru saja memejamkan mata selama kurang dari tiga jam, pagi-pagi aku tersentak dengan permintaan makan dari Nusaibah.

"Ummiiiii, mau makan!" 

Benar-benar berat rasanya bangun dari kesempatan tidur yang amat sebentar ini. Semalam aku habis begadang mengulang kembali hafalan yang harus diujikan. Sebab berhari-hari sebelumnya, setiap kali mushaf dibuka, Nusaibah akan datang dan ingin ikut membaca Al-Quran. Meminta untuk ditalqinkan surah-surah pendek yang familiar di telinganya, dan menolak mendengar umminya mengulang hafalan yang akan diujikan. Begitu terus yang terjadi selama berhari-hari, hingga hari ujian tiba dan aku dibuat kalang kabut karenanya. Karena panik, aku tak mampu memejamkan mata hingga fajar tiba. 

Setelah shalat subuh, aku berharap bisa istirahat beberapa jam sebelum ujian. Nyatanya, Nusaibah ternyata bangun pagi hari itu--yang biasanya tidak sepagi itu, dan terus merengek meminta makan. Padahal abinya telah melek di pojokan sana, tapi ia memilih membangunkanku sambil teriak. Kepekaan abi juga sepertinya tak berfungsi normal kali ini, materi yang akan diujikan hari itu cukup berat soalnya. 

Jadilah aku menggoreng telur ceplok dengan mata setengah terpejam. Setelah memotongnya menjadi bagian-bagian kecil, aku berbaring dan mencoba memejamkan mata kembali. Sayangnya, Nusaibah hari itu sepertinya belum mengizinkanku istirahat. Ada-ada saja keingiannnya yang membuatku dibangunkan kembali. Minta disuaplah, minta dicarikan mainan yang hilang, hingga minta digantikan popok. Pagi itu aku hanya bisa menjalankan mode auto pilot, dengan otak kosong dan jeda yang terisi dengan bengong. 

Harusnya kesempatan itu kugunakan kembali untuk mengulang hafalan, tapi otakku benar-benar butuh tidur. Jika diibaratkan komputer, ia sedang loading lamaa sekali. Bahkan ketika suami pamit pergi duluan, aku hanya meresponnya dengan kata, "Hah?" alih-alih mengantarnya ke pintu atau mengucap sepatah kata semangat. 

Otakku sedang memproses kemungkinan demi kemungkinan yang akan terjadi. Tidur hanya dua jam, dan aku harus bersiap-siap juga menyiapkan perlengkapan Nusaibah. Daftar cemilan dan minuman yang bisa membuatnya cukup tenang nanti juga ikut mengambil porsi pikiran. Lalu, aku harus mencari kendaraan di halte bersama Nusaibah, karena suami memilih berangkat lebih pagi. Bus biasanya akan menunggu hingga kursinya penuh, yang kemungkinan akan menimbulkan rasa bosan pada Nusaibah, sehingga aku harus menemaninya bermain atau sekadar ngobrol. 

Sesampainya di tempat ujian, aku harus berjalan cukup jauh mencari ruangan. Mengantri dan menunggu nama dipanggil ketika ujian lisan lumayan membosankan bagiku, apalagi bagi si kecil yang belum terlatih menunggu lama. Belum masalah teknis yang biasanya timbul di ruang ujian. 

Memikirkan berbagai kemungkinan tersebut menguras banyak sekali energiku pagi itu. Mau nangis, tapi bisa jadi malah memperkeruh suasana. Setelah bengong dan beraktivitas dengan mode auto pilot selama sejam, aku memutuskan untuk bersiap-siap. Yuhu, mari kita jalani saja. Yang terjadi, maka terjadi sajalah!

Satu hal pertama yang berjalan di luar ekspektasiku, Nusaibah begitu bersemangat ketika kukatakan padanya bahwa kita akan pergi menaiki bus. Sambil bersiap-siap, aku mencoba memahamkan bahwa akan ada waktu ketika Ummi harus ujian dan meninggalkan Nusaibah sebentar. Rencananya akan kutitip pada teman seangkatanku di sana yang mungkin telah selesai. 

Hal kedua yang tak sesuai ekspektasi, sistem ujian lisan hari itu berubah. Karenanya, aku tak harus datang tepat di waktu yang harusnya dijadwalkan. Bisa molor sejam hingga dua jam. Keadaan ini membuatku santai lebih banyak. Hal-hal kecil kulakukan untuk memperbaiki mood, seperti menyetrika ujung jilbab yang kusut, makan biskuit coklat sisa cemilan Nusaibah dan menjeda setiap aktivitas dengan rebahan beberapa detik. 

Persiapan menghabiskan waktu sejam lebih. Tadinya aku berencana menaiki tuktuk--sejenis bentor untuk mencapai halte. Namun, melihat semangat Nusaibah pagi itu, akhirnya aku memilih berjalan santai saja sambil sesekali berhenti menyapa kucing yang lewat atau keledai yang menarik gerobak jualan. 

Hal ketiga yang tidak masuk daftar kemungkinanku, suami selesai ujian lebih cepat. Karena kami juga memakan waktu yang cukup banyak untuk bersiap, suami lebih dahulu sampai di lokasi ujianku. Maka, alih-alih menitipkan Nusaibah ke teman seangkatan, ia ditemani oleh sang abi yang lebih menyenangkan. Aku merasa lebih tenang menjalani ujian. 

Hal terakhir yang benar-benar di luar perkiraanku, ujian kali ini berlangsung cukup cepat. Sistem diubah, kami bisa maju tanpa urutan. Ketika kupersilahkan teman-teman yang datang lebih awal untuk maju, mereka masih belum siap dan menyuruhku maju duluan. Alhasil, dalam waktu kurang dari setengah jam, aku telah menyelesaikan ujian lisan Al-Quran. Waktu yang sangat singkat, jika dibandingkan ujian-ujian lisan sebelumnya. 

Hari itu ditutup dengan semangkok mi ayam di salah satu warung makan Indonesia. Ditambah topping ceker, perutku terisi dengna cepat dan aku bahagia. Alhamdulillah, ternyata hari itu berjalan jauh dari apa yang dibayangkan. Pesan yang bisa kudapatkan hari itu, berdoa, lalu jalani saja. Seperti lagunya bang maher zain, insyaa Allah akan ada jalan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Salah?

Persiapan Keberangkatan (2)

Kail Pemancinh