solusi bernama literasi
Merdeka!
76 tahun yang lalu, pejuang-pejuang bangsa berhasil membebaskan belenggu penjajahan dengan gagah berani. Memproklamasikan kemerdekaan, menjadikan Nusantara sebagai negara kesatuan yang berdiri di atas kaki sendiri, menolak dijajah oleh siapa pun.
76 tahun telah berlalu, masih terbilang muda untuk sebuah negara. Namun tak bisa juga dikatakan singkat. Sudah lewat setengah abad sejak pengakuannya sebagai negara yang berdaulat. Apa yang sudah dilalui oleh ibu pertiwi kita ini?
Kemiskinan masih menjadi salah satu masalah terbesar di negeri ini. Per Maret 2021, sebanyak 27,54 juta orang warga Indonesia dikategorikan sebagai warga miskin. Ribuan KK di ibukota Jakarta tuna wisma, tak memiliki atap tetap sebagai tempat tinggal. Sementara para oknum berdasi yang terbukti mencuri uang rakyat, difasilitasi tempat tinggal nyaman nan mewah. Judulnya saja penjara, namun kehidupan yang ada nikmat tiada tara.
Dalam kurun 76 tahun, apa yang telah berubah dari Indonesia ini? Merdeka hanya label, sedangkan masyarakatnya masih banyak yang menderita. Berbagai pembangunan digalakkan, yang terbukti hanya menguntungkan manusia-manusia berduit. Adakah wakil-wakil rakyat yang mampu membela rakyat kecil di pinggiran? Atau tak ada harapan, khususnya ketika mereka ikut begabung bersama tikus-tikus bergigi emas?
Sebagai negara demokrasi yang mengizinkan warga negara berpartisipasi dalam kemajuan negara, Indonesia sangat membutuhkan individu-individu yang berkualitas. Manusia yang tidak mudah disogok, terbeli suaranya hanya oleh sekarton mie instan. Sebab, ketika rakyat yang merupakan puncak tertinggi piramida demokrasi tak berprinsip teguh, sangat mudah negara ini terombangambing oleh kepentingan oknum yang tidak bertanggung jawab.
Karena sedemokrasi apapun negeri ini, jika suara rakyat masih bisa dibeli, maka demokrasi hanyalah sampah. Keputusan-keputusan negara dikuasai oleh mereka yang memiliki modal suara untuk kuasa, yang kemudian meraup hasilnya masuk ke kantong pribadi atas nama kesejahteraan sosial.
Diharapkan bangsa Indonesia memiliki SDM yang lebih memadai dan berkarakter. Berdikari. Anti korupsi. Tidak mudah dibodoh-bodohi, dengan iming-iming sekarung beras berkutu. Alih-alih berharap pemimpin teratas melakukan
perubahan, mungkin kita bisa mulai berbenah untuk memperbaiki negara Indonesia.
Bagaimana caranya? Salah satu solusi terbesar yang mampu kita lakukan : tumbuhkan literasi Indonesia. Literasi yang dimaksud tidak hanya didefinisikan sebagai kemampuan baca dan tulis. Karena menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kemampuan baca tulis masyarakat Indonesia tidak seburuk tahun-tahun kemarin. Tercatat pada tahun 2011 tingkat buta huruf Indonesia sebesar 6,44%, lalu menurun hingga sebesar 3,62% pada tahun 2020 lalu.
Namun, apa gunanya jika hanya ‘bisa’ membaca dan menulis? Hakikatnya, literasi dalam masyarakat demokratis mencakup : memahami, meliputi, menggunakan, menganalisis, dan mentransformasi teks. Tanpa kemampuan literasi yang baik, berbagai stigma bisa terjadi di tengah masyarakat. Kualitas SDM Indoesia menurun, masyarakat memiliki daya saing yang rendah, mayoritas
bekerja mengandalkan otot bukan otak. Akibatnya, tingkat kemiskinan melonjak naik, gizi buruk meraja lela, sedang penguasa lalim bertopeng domba terus dieluelukan.
Meningkatkan literasi bukan hanya dengan cara membagi-bagikan buku bekas secara gratis, atau membangun perpustakaan secara massif. Karena ironisnya, perpustakaan Indonesia yang sebanyak 164.610 unit itu hanya menempatkan Indonesia berada di posisi kedua perpustakaan terbanyak di Indonesia.
Sementara minat baca masih sangat memprihatinkan. Hasil studi berjudul “The
World’s Most Literate Nations” menyebutkan, Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara. Sementara menurut data UNESCO, minat baca Indonesia hanya 0,001%. Atau dengan kata lain, dari 1000 orang Indonesia hanya satu yang rajin membaca!
Akibat dari minimnya kualitas literasi, bangsa Indonesia mudah terbawa arus oleh kabar-kabar hoax yang bertebaran di berbagai media. Bukan salah teknologi, karena Jepang sebagai salah satu negara penghasil teknologi tertinggi tetap menunjukkan kualitas literasinya. Akan tetapi, masyarakat Indonesia tidak terbiasa
membaca teks-teks panjang atau berpikir kritis terhadap suatu bacaan yang lewat di gawainya. Sehingga kalimat sepotong-sepotong bisa dijadikan dalil yang mengundang perdebatan heboh orang-orang bodoh.
Buah dari literasi yang memadai menghasilkan masyarakat yang kritis dan intelek. Seseorang tidak mengambil kesimpulan serampangan, sehingga informasi yang masuk bisa lebih baik. Ia juga mampu mengolah berita secara kritis, dengan tidak mudah terlalu cepat bereaksi. Dari literasi, budi pekerti pada
kaula muda juga bisa ditanamkan sedini mungkin.
Mulai dari elemen terkecil, diri kita sendiri. Mengubah diri kita sendiri, meningkatkan minat belajar dan membaca. Menjadi kritis terhadap segala informasi yang masuk. Mengedukasi lingkungan sekitar, keluarga dan kerabat agar meningkatkan kualitas intelektual dan spiritual. Menolak keras berbagai
bentuk korupsi, kolusi, nepotisme, dan seluruh kecurangan-kecurangan yang dapat merugikan.
Selanjutnya, melalui literasi yang baik, tertanam kokoh dalam diri generasi pelanjut bangsa rasa malu mencuri. Meningkatkan rasa penasaran yang kuat, sehingga memiliki kemauan belajar yang tinggi namun tetap menyenangkan.
Dengannya, bibit-bibit pembodohan bisa dihapuskan. Wakil-wakil rakyat di masa depan bisa lebih berkualitas dan berbudi pekerti. Dan Indonesia bisa lebih maju dan merdeka.
Pertanyaan utamanya, apa yang sudah Anda upayakan untuk meningkatkan literasi diri Anda?
Merdeka!
#30dwc #30dwcjilid32 #day4
Komentar
Posting Komentar