Penjara Suci Bernama Arraayah (1)
Awal kedatangan ke sana, disambut para senior yang super ramah. Muka mereka berbinar-binar, berbahagia menyambut kami para mahasiswa baru. Bayangan senioritas di luar sana pupus tak berbekas. Mana ada senioritas di tengah kakak tingkat yang berebut berbagi kasur pada kami yang belum kebagian kasur? Mana ada senioritas di antara kakak tingkat yang rela menyisihkan waktunya yang padat menemani juniornya tertatih berlatih berbahasa Arab?
Masa orientasi mahasiswa baru diisi ragam kegiatan perkenalan. Perkenalan antar angkatan, perkenalan lingkungan kampus, perkenalan beberapa kakak tingkat, perkenalan teman-teman sekamar, hingga perkenalan peraturan yang berlaku. Aturan yang diberlakukan kurang lebih sama seperti pondok pada umumnya. Hanya saja aturan berpakaian dan berbahasa lebih ketat dibanding beberapa pesantren yang ada di Indonesia.
Dalam berpakaian, kami hanya boleh membawa beberapa lembar gamis dan baju santai dalam kamar. Jika melebihi kapasitas, pakaian-pakaian tersebut harus masuk gudang yang hanya dibuka setahun sekali. Selain itu, pakaian yang kami gunakan di dalam kamar harus menutupi lutut dan juga ketiak. Jadi tidak boleh menggunakan celana pendek, atau baju tanpa lengan. Ketika tidur wajib hukumnya menggunakan celana panjang.
Sedangkan dalam berbahasa, aturan ketat menanti kami para mahasiswa baru. Bahasa Indonesia hanya boleh digunakan di tiga bulan pertama, tak peduli walau mahasiswa tersebut belum punya dasar berbahasa sama sekali sebelumnya. I'lan atau pengumuman yang diumumkan selepas salat dibawakan dalam dua bahasa. Kakak tingkat juga dihimbau untuk terus berbahasa Arab, menggunakan isyarat jika tidak dimengerti. Bahasa Indonesia hanya untuk keadaan darurat.
Bagi mereka yang pernah belajar bahasa Arab terutama di pondok sebelumnya, peraturan-peraturan ini mungkin hanya menertibkan bahasa yang sedikit terkikis akibat jarak liburan. Sedangkan bagi orang-orang sepertiku, peraturan ini adalah sebuah beban sekaligus tantangan. Bahasa Arab dasar seperti perbedaan huwa dan hiya pun belum kukuasai, apalagi untuk berbicara aktif sehari-hari. Bukan hanya sekali mendapati diriku melongo tidak mengerti mendengar arahan kakak tingkat yang nyerocos dalam bahasa Arab.
Hal yang tak terlupakan adalah ketika kami telah mendapat kamar masing-masing. Panitia mengacak isi kamar anak-anak baru, mengusahakan agar yang berasal dari satu daerah tak sekamar. Kamar ditempati empat mahasiswa baru dan delapan orang kakak tingkat yang berasal dari jenjang yang berbeda-beda.
Saat itu aku menyadari bahwa diriku satu-satunya yang bahasanya paling rendah. Tiga orang kawan baruku berasal dari pondok yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar. Kakak-kakak tingkat menyambut kami menggunakan bahasa campuran, terutama ketika mengetahui diriku tak paham sama sekali apa yang mereka bicarakan. Kamarku didominasi oleh mereka yang berkarakter suka bicara dan cepat bicara.
Saat masuk kamar, salah satu kakak tingkat sedang mengomel atas apa yang terjadi padanya hari ini. Mengomel dengan kecepatan bicara di atas rata-rata, menggunakan bahasa Arab! Ya, seratus persen bahasa Arab tanpa ada tambahan bahasa Indonesia walau sekedar imbuhan ke, eh, dan kawan-kawannya. Aku yang lagi memikirkan peraturan berbahasa yang baru saja dibahas mendadak bengong. Kemudian pikiran itu datang. Apa aku salah masuk kampus? Malamnya, air mataku tersedu-sedu tak tertahankan.
Bersambung...
#30dwc #30dwcjilid32
Komentar
Posting Komentar