Pesona Gelap Sungai Nil
Bulan November tiga tahun lalu, kehamilan pertamaku penuh oleh air mata kesedihan. Kebanyakan, kehadiran buah hati merupakan impian sepasang pasutri yang baru saja menikah. Setelah sepasang suami istri bertemu dan saling menutup kekurangan, sang buah hati diharapkan melengkapi.
Begitu pula yang kami harapkan di awal pernikahan. Walau sebenarnya tidak harus cepat-cepat, mengingat aku maupun suami masih harus melanjutkan jenjang kuliah di Kairo. Kepada yang bertanya, kami selalu menjawab,
"Tergantung Allah, sekasihnya."
Setelah dua bulan menetap di Indonesia paska pernikahan, kami kembali ke Mesir. Perjalanan yang ditempuh terasa sedikit lebih berat bagiku, lebih mudah capek dari biasanya. Awal-awal kehidupan kami berdua di Mesir kulalui dengan sedikit kepayahan. Mood naik turun, rasa lelah sering menghampiri dan nafsu makan berubah-ubah.
Kupikir, apa yang kurasakan disebabkan oleh panjangnya perjalanan yang kami tempuh. Dari Makassar, Sulawesi Selatan, ke Kendari, Sulawesi Tenggara. Dilanjutkan perjalanan menuju Malaysia, Jogja, Bandung, dan terakhir Jakarta. Sebelum akhirnya terbang selama 12 jam ke Kairo yang diantarai oleh transit sepuluh jam di Dubai.
Namun ketika periode datang bulanku tiba, yang kudapatkan hanya sedikit flek. Suami iseng membelikan alat pendeteksi kehamilan, yang setelah kugunakan menampilkan hasil positif. Rasa khawatir mendominasi rasa gembira, keesokan harinya kami langsung mendatangi dokter spesialis kandungan.
"Kandungannya lemah. Habis safar ya?"
Begitu reaksi dokter setelah melakukan pemeriksaan USG. Janin yang kukandung sudah berusia empat minggu, artinya ia telah tinggal di dalam rahimku sejak kami melalang buana di Indonesia. Faktor kelelahan menyebabkan kandunganku sedikit melemah, sehingga dokter memberikan obat penguat kandungan.
Dokter berbicara, memberikan banyak pengarahan. Aku dihimbau untuk istirahat lebih banyak di rumah. Sayangnya pengurusan administrasi kuliah tak bisa diwakilkan, sedangkan tahun ajaran baru sebentar lagi dimulai. Rasa lelah dan cemas membuatku sering uring-uringan. Setelah beberapa tahap pengurusan selesai, kami memutuskan mengambil sedikit rihlah. Berjalan-jalan menelurusi sungai Nil, menikmati keindahannya di malam hari.
Pesona sungai Nil selalu menyihir pendatangnya, membuat betah siapa pun yang berkunjung ke sana. Bersama seorang kawan dan suaminya, kami menikmati suasana yang disediakan. Menyisir pinggir sungai, melintas menggunakan perahu layar tradisional dan membeli beberapa cemilan khas.
Rasanya perjalanan itu mengembalikan moodku yang selama beberapa hari terakhir turun drastis. Ada kenangan yang terpahat dalam hati pada kedatangan perdanaku di salah satu sungai terpanjang di dunia, bersama pasangan halal.
Sayangnya, kesenangan itu hanya bertahan sebentar. Sesampainya di rumah, kurasakan darah merembes di pakaian dalamku. Panik. Rasa senang itu berganti menjadi kepanikan luar biasa. Darah yang keluar bukan sekedar flek lagi, ia seumpama darah haid yang biasa kulihat ketika datang bulan. Keluar bersama nyeri yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
Malam itu, tangisanku pecah tak tertahankan. Pemeriksaan belum dilakukan, namun aku sudah merasa kehilangan. Kuraba perutku yang masih rata, berusaha menyapa sang calon buah hati. Namun bagaimana pun kuberharap, kehilangannya adalah sebuah niscaya yang harus kuterima.
Tanggal 18 November, bayi pertama yang kukandung dinyatakan gugur. Rasanya kosong, ada yang hilang dari dalam diri. Rasa bersalah merasuki selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Pundak suami dan sujud dalamku menjadi peneman setia melalui hari. Kawan-kawan datang bergantian berkunjung, berusaha menghibur lara.
Bayang sungai Nil selalu terlintas di pikiran, tatkala rindu pada anak pertama menguasai diri. Tempat yang indah sebenarnya. Siangnya menghembuskan angin sepoi-sepoi yang lembab. Malamnya penuh gemerlap lampu beraneka warna yang terpantul-pantul air sungai tenang.
Sungai yang menjadi sumber air, memenuhi kebutuhan seluruh penduduk Mesir. Sekitarnya adalah tanah subur yang siap ditumbuhi tanaman apa saja. Apakah tempat itu akan menjadi duri yang 'kan kuhindari selamanya? Apakah tempat itu akan selamanya kelam di hati, walau mentari masih terus bertugas dalam teriknya?
Namun harus kupatri dalam lubuk jiwa. Bukan Nil yang menghadirkan gelap dalam malam-malam tangisku. Bukan perahu layar tradisional yang memberi sempit dalam kehilangan. Hanya saja, Allah berkehendak mengambil salah seorang hamba-Nya. Salah satu ciptaan-Nya, milik-Nya yang akan kembali pula pada-Nya.
Bukan salah siapa-siapa. Hanya saja,
Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un :)
#30dwc #30dwcjilid32
Komentar
Posting Komentar