Gedung Biru, Garis Start Kami (4)
Perjalanan ke Markaz
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, perjalanan menuju markaz bisa ditempuh menggunakan tremco atau bus. Setiap hari, kami harus berdiri menanti kendaraan yang akan mengantar. Jika ingin menaiki bus 80 coret yang masih kosong seharga tiga geneh (junaih, alat tukar Mesir), maka harus berangkat lebih pagi.
Kadang kala kami juga lebih memilih tremco dengan tarif empat geneh. Satu geneh lebih mahal, tapi bisa jadi pilihan terbaik ketika berangkat dalam keadaan terburu-buru. Sebab kapasitas tremco yang sedikit dan tak mungkin ditambah jika sudah penuh membuat angkutan ini tak ngetem terlalu lama mencari penumpang. Berbeda dengan bus yang memiliki ruang untuk berdiri, sehingga tak ada batas penuh baginya.
Di dalam bus, tak jarang didapati beberapa orang tampak membaca Al-Qur'an. Perempuan dan laki-laki, tua dan muda, biasanya mereka menggenggam mushaf kantong berukuran kecil sembari menunggu bus sampai di tujuan. Sering pula kami temui sopir tremco menyetel murottal Al-Qur'an ataupun pembacaan hadis dari radio. Udara pagi yang menyejukkan ditambah setelah pembacaan kalam Allah selalu membuat perjalanan yang menghabiskan waktu kurang lebih setengah jam itu terasa menyenangkan.
Di awal-awal kelas mulai berjalan, kami bertiga selalu berangkat bersama. Seiring berjalannya waktu, seakan ada peraturan tak tertulis di antara kami. Siapa yang telat, dia ditinggalkan. Tidak saling tunggu menunggu seperti yang dilakukan di awal. Sebab, sepertinya masing-masing punya waktu yang nyaman baginya untuk berangkat. Nabilah suka berangkat lebih awal. Agaknya ia lebih menikmati perjalanan menggunakan bus dan tiba di kelas ketika suasana masih sepi dan lowong. Sedangkan Icha sepertinya lebih nyaman menghabiskan waktu pagi-pagi di rumah. Sarapan santai, bersiap-siap tanpa terburu-buru. Jadilah aku yang kadang ikut ke sana dan kadang ikut ke sini. Tergantung mood hari itu, dan jam bangun tidur pagi.
Bersambung...
#30dwc #30dwcjilid32
Komentar
Posting Komentar