Titah Sang Raja Muda

"Putra mahkota naik takhta! Putra mahkota naik takhta!" Seruan itu disambut penuh sukacita oleh seluruh penduduk, tanpa pengecualian. Usia sang raja masih belia ketika wasiat sang bapak, raja sebelumnya, dibacakan. Pemuda yang begitu mencintai rakyat, yang amat senang berbaur di tengah-tengah mereka tanpa rasa sungkan.  Tentu pengangkatannya sebagai pemimpin negeri sangat dinanti. Tatkala tersiar kabar penobatan di kerajaan, hampir seluruh rakyat menitikkan air mata, menangis bahagia karenanya. 

Harapan penduduk negeri terletak pada pundaknya. Maka masa-masa awal setelah penobatan, sang raja muda sering berpikir keras tentang cara terbaik menyenangkan hati masyarakat. Setelah mengurung diri berhari-hari di kamar, titah pertama sang raja adalah,
 
"Saya akan memberi wewenang kepada rakyatku agar mereka bisa menetapkan sendiri peraturan yang ditegakkan oleh kerajaan. Keputusanku akan ikut apapun yang mereka inginkan!"

Penasihat kerajaan yang telah berusia sepuh, ragu atas putusannya, "Apa Paduka tidak memikirkan kembali?"

"Apakah engkau menentang titah raja?"

"Ampun yang mulia, hamba hanya takut akan dampak di masa depan." 

Sang raja tetap pada keputusannya, "Cintaku pada rakyat begitu besar, saya ingin semua penjuru negeri bahagia tanpa seorang pun merasa sedih!" 

Begitulah, akhirnya titah pertama raja dilaksanakan. Bergemuruh penjuru negeri, bersorak-sorai usai keputusan tersebut diedarkan. Nama sang raja semakin dielu-elukan hingga pelosok desa. 

Bulan pertama, semua terlihat lancar. Raut bahagia terpancar dari wajah-wajah mereka. Petani gandum berharap harga gandum ditinggikan guna menaikkan taraf hidup mereka, kerajaan mengabulkan. Pemilik kendaraan mengajukan perluasan jalan raya agar lebih leluasa membawa hasil pertanian dari desa ke kota, kerajaan laksanakan. Seluruh permintaan yang masuk benar-benar dikabulkan tanpa syarat yang berarti. 

Tiga bulan berjalan, kekacauan kecil mulai terjadi dari sudut-sudut desa. Ibu-ibu mengeluh karena harga bulir gandum kian melonjak di pasar, kebutuhan anak mulai tak mampu terpenuhi. Seorang kakek menangis tersedu-sedu melihat pohon kesayangannya yang berusia ratusan tahun harus ditebang demi pelebaran jalan. 

Keluhan ini terdengar hingga telinga raja. Ia pun kembali berpikir keras. Setelah berhari-hari mengurung diri di kamar, ia mengeluarkan titah kedua. Mayoritas kekacauan terjadi akibat kesenjangan antara keinginan masyarakat kota dan desa. Maka setelah dipertimbangkan kembali, pengajuan yang masuk akan diputuskan setelah voting dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat. Suara terbanyak akan dipilih, sehingga rakyat kecil yang merasa dirugikan tetap punya wewenang di hadapan kerajaan. 

Rakyat kembali bersorak gembira. "Beruntung sekali kami mendapat raja muda yang begitu cerdas dan bijaksana!" 

Hari-hari pun berlalu lebih cepat. Setiap permintaan yang masuk, kerajaan akan menentukan voting sebelum menentukan keputusan. Harga bulir gandum kembali stabil, jalanan yang diperlebar hanya di beberapa titik, dan sebagainya. 

Lalu datanglah sekelompok remaja berkumpul di tanah perbatasan kerajaan. Mereka adalah segerombolan pemuda dari salah satu desa kerajaan yang baru saja tiba dari negeri yang jauh. Mendengar dekrit raja yang baru, mereka tersenyum licik sambil melihat kantong-kantong aneh bawaan mereka yang sangat banyak jumlahnya. 

Setelah berdiskusi, mereka segera berpencar ke seluruh penjuru negeri. Membawa sedikit isi kantong dan membakarnya di sudut-sudut rumah, di taman perkotaan, hingga di dekat sungai yang mengalir. "Ini adalah rempah wangi yang kami dapatkan dari negeri yang jauh. Siapapun yang menghirupnya akan merasakan kenikmatan yang tiada duanya!" 

Penduduk mulai menikmati aroma yang dikeluarkan oleh rempah kering mereka. Semakin lama dihirup, pikiran mereka mulai melayang-melayang. Beberapa bahkan tak mau beranjak dari pusat pembakaran, seakan hidupnya adalah untuk menciumi asap yang dihasilkan. Sang pemuda mulai menawarkan rempah 'istimewa' dengan harga yang sangat mahal. 

Para tabib dan pembuat minyak wangi melihat sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. Setelah diambil sedikit dan diteliti, rempah yang dibawa oleh para pemuda adalah dedaunan yang memberi efek euforia semu dan halusinasi! Buku-buku kuno  mencatatkan buruk pengaruh rempah ini terhadap pola hidup rakyat, mereka bisa kecanduan dan ingin menghirup aroma itu lagi dan lagi. Para tabib mengadu pada sang raja, memohon penyitaan rempah tersebut dari kawasan kerajaan dan hukuman setimpal bagi para pemuda. 

Masyarakat tidak terima inspeksi dadakan yang dilakukan atas perintah para tabib. "Kami ingin voting atas peraturan ini, seperti yang telah didekretkan raja untuk kami!" 

Raja tak ingin menarik kembali titahnya, kerajaan pun mengadakan voting yang dimenangkan telak oleh para penikmat ganja. Jumlah mereka sudah cukup banyak, para pemuda berhasil menyebar ke beberapa titik untuk memengaruhi pikiran. Mayoritas masyarakat telah kecanduan dan tak rela jika harus berpisah dengan aroma-aroma itu. 

Jadilah kerajaan itu mengalami kekacauan. Produtikfitas rakyat menurun, kejahatan mulai merajalela. Kabar ini tersiar ke mana-mana, hingga tak ada lagi yang mau berhubungan dengan kerajaan tersebut. 

Komentar

  1. Wiiiii, baru baca genre fiksi bikinan Kak Dina. Keren 😎😎

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Salah?

Persiapan Keberangkatan (2)

Kail Pemancinh