Sebuah Ekspektasi
Sebelum dia berangkat, ekspektasiku tentang keseharian tidak seperti ini.
Waktu luang akan lebih banyak, berbagai proyek juga kusiapkan. Mendaftarkan diri pada perhelatan menulis selama 30 hari berturut-turut pun juga kulakukan. Pikirku, akan banyak sekali untaian kata yang bisa dituang selama menunggu kepulangsnnya. Maka, kuambil tema yang sedikit lebih sulit dibanding biasanya.
Namun sejak hari pertama, aku ternyata kehilangan semangat melakukan apa pun. Hanya memandang handphone, berharap notifikasi masuk dari kontaknya. Ingin bercerita panjang lebar, tapi kesibukannya menghalangi kami berkomunikasi lama. Kalau pun sempat, tetap terasa berbeda berbicara langsung dibanding melalui kotak kecil.
Selama menelpon, perhatiannya juga tetap harus dibagi pada si kecil. Tak jarang gadisku itu menarik perhatian dengan cara-cara yang tak terduga, karena aku keasyikan bercerita sendiri. Akhirnya aku harus belajar menahan ego untuk bercerita lebih banyak dan mengalah. Sesekali kami berkomunikasi di tengah malam agar bisa ngobrol berdua, tapi sangat jarang. Rasa kantuk sering menculik kami sebelum jadwal telepon tiba.
Aku benar-benar mengira bahwa tinggal berdua saja di rumah ini takkan berarti banyak. Kehidupan tetap normal, rutinitas sehari-hari juga masih biasa saja. Namun ternyata ada yang kurang, dan rasanya hampa. Meski dari luar aku tetap menjalankan aktivitas seperti hari-hari lain, membersihkan rumah, mendidik Nusaibah, dan mengejar perkuliahan, aku selalu merasa kosong. Terutama ketika gundah meminta telinga agar didengar, tapi jarak dan waktu menghalangi.
Sudah hari ke-17. Sisa 11 hari lagi. Semoga rentang waktu dan jarak di antara kami bisa memperkuat cinta di dalam hati, dan memberkahi setiap langkah kami dalam mencari ridha-Nya.
Komentar
Posting Komentar