Bekerja untuk Hidup atau Hidup untuk Bekerja?

Jepang terkenal dengan kemajuan negaranya, baik di bidang teknologi, industri dan pendidikan. Setelah kekalahannya di perang dunia kedua, negara ini berhasil bangkit dengan menetapkan nilai-nilai revolusi pola hidup bagi penduduknya. Salah satu nilai yang ditekankan adalah, masyarakat didorong untuk bekerja lebih ulet, tekun dan totalitas. Ketika itu, baik laki-laki maupun perempuan, semuanya didorong turun bekerja selama 12 jam sehari hingga tujuh hari dalam seminggu untuk membantu meningkatkan dan memperbaiki perekonomian negara. 

Karena kesibukan yang menyita hampir seluruh waktunya, kebanyakan masyarakat Jepang tidak berpikir untuk menikah apalagi memiliki anak. Ya, Jepang adalah tempatnya budaya bekerja yang keras. Beberapa di antaranya sudah mencapai titik workaholic, gila bekerja. Sebagian besar hidupnya berada di kantor. Jika pulang ke rumah, pikirannnya akan tetap berputar pada tentang perusahaan yang sedang dijalankannya.
  
Karena maraknya kejadian ini, Karoshi dijadikan sebagai bagian dari kesadaran publik yang perlu diperhatikan. Karoshi sendiri adalah istilah yang digunakan untuk mereka yag memiliki watak gila kerja berlebihan hingga mengakibatkan gangguan kesehatan bahkan kematian karena terlalu banyak bekerja. Biasanya disebabkan oleh serangan jantung dan stroke karena stres. Kekurangan gizi dan bunuh diri karena pekerjaan juga termasuk di dalamnya. Karoshi mulai mendapat perhatian publik sejak tahun 1980. 

Meski peraturan lembur kerja telah dibatasi oleh pemerintah, masih juga ditemukan pekerja di Jepang yang menghabiskan waktunya lebih banyak di kantor. Hal-hal seperti kebanggaan, kehormatan, rasa malu, dan keinginan untuk memberikan yang terbaik mendorong mereka bekerja lebih keras. Rasa senang karena menyelesaikan pekerjaan juga menjadi faktor lain, terkadang mereka juga tak sungkan menggunakan segala cara agar bisa mencapai tujuan. Jika belum mampu memenuhi ekspektasi, perasaan frustasi yang didapatkan sering kali berujung pada kegiatan bunuh diri. Sehingga cukup wajar jika menyebutkan bahwa masyarakat Jepang tidak bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup, tapi mereka hidup untuk menyelesaikan pekerjaan. 

Dalam Islam, bekerja bisa menjadi bagian dari ibadah yang berpahala, jika diniatkan untuk memenuhi kewajiban yang disyariatkan oleh Allah. Seorang Ayah memiliki tanggung jawab mencari nafkah yang halal untuk keluarganya di rumah. 

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah : 233)

Rasulullah juga menjelaskan dalam sabdanya, bahwa infak terbaik adalah yang dikeluarkan untuk keluarga. Dimulai dari lingkup terkecil, yaitu istri dan anak-anak. Lalu kepada sanak saudara dari yang terdekat lalu terjauh. 

“Dinar (uang) yang kamu infakkan (untuk kepentingan berjihad) di jalan Allah, dinar yang kamu infakkan untuk memerdekakan budak, dinar yang kamu sedekahkan untuk orang miskin, dan dinar yang kamu infakkan untuk (kebutuhan) keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah dinar yang kamu infakkan untuk keluargamu.” (HR. Muslim) 

Hamba-Nya yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi, alih-alih meminta-minta pada orang di sekitar juga sangat disanjung oleh Islam. 

“Tidak ada seseorang yang memakan satu makanan pun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya (bekerja) sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Daud as. memakan makanan dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari)

Islam sangat menganjurkan untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidup tanpa menggantungkan hidup pada kegiatan mengemis. Seorang muslim yang baik adalah mereka yang ulet dan totalitas dalam pekerjaannya. Bekerja dengan penuh kesungguhan, dan menyelesaikan tanggung jawab sebaik mungkin yang ia bisa. 

Kegiatan bekerja bagi seorang muslim akan dinilai pahala yang besar jika diniatkan untuk mencari ridha Allah. Membantu dan memudahkan urusan orang lain, mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan anak dan istri hingga mengumpulkan pundi-pundi harta agar dapat membantu mereka yang kurang beruntung. 

Namun tentu saja, berlebihan tetap tidak baik. Tujuan utama seorang muslim harus tetap diingat, yaitu meraih keridhaan Allah hingga akhir titik kehidupan. Bekerja menjadi salah satu penunjang, di antara banyaknya sebab-sebab lain yang bisa diambil untuk meraih tujuan ini. Ia tetap berada di baris prioritas ke sekian, karena prioritas utama seorang muslim adalah menyembah Allah dan beribadah kepada-Nya sesuai tuntunan agama. Sehingga ketika hasil pekerjaan tak sesuai ekspetasi, ia tidak serta merta kehilangan tujuan hidup. Keyakinan seorang muslim terhadap takdir Allah juga membantu agar tak terlalu lama terpuruk ketika menemui kegagalan. 

Selain itu, syariat juga telah menetapkan hukum-hukum yang berkaitan dengan pekerjaan. Fiqh muamalat misalnya, yang memberi rambu-rambu dalam kegiatan ekonomi antar manusia. Adab-adab dalam kegiatan jual beli juga sangat diperhatikan hingga detail, agar bisa menimalisir kerugian kedua belah pihak. 

Bekerja bisa menjadi salah satu ibadah, bahkan seorang muslim dianjurkan untuk bisa memaksimalkan potensi yang ia miliki untuk menyelesaikan tanggung jawab yang ia emban. Namun harus dalam batas koridor syariat, dan tetap memerhatikan kewajiban lainnya yang ia punya sebagai seorang muslim, sebagai seorang khalifah di muka bumi ini. Semoga Allah selalu memberi taufik. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Salah?

Persiapan Keberangkatan (2)

Kail Pemancinh