Apa yang Kamu Pikirkan?
"Apa yang kamu pikirkan?"
"Berpikir untuk berhenti, dan bermasa bodoh dengan semua ini."
"Kenapa?"
"Karena aku seperti kehilangan tujuan untuk tetap menulis sesuai tema."
"Bukankah itu yang terus kamu katakan sejak hari-hari awal? Tapi, meski harus menemui semburat kuning di ladang, kamu berhasil melangkah hingga hari ini, kan? Kamu masih bertahan di grup para pejuang itu, kan?"
"..."
"Oke, saya tanya kembali. Apa tujuan awalmu?"
"Menuliskan Jepang dalam kacamata Islam."
"Itu bukan tujuan, tapi prosesnya. Apa yang ingin kamu capai dengan menulis tema itu?"
"Aku... Ingin menyampaikan kepada orang lain, bahwa sehebat-hebatnya budaya Jepang, Islam sebenarnya sudah hadir sebagai referensi utama pendidikan manusia sebenarnya. Islam mengajarkan begitu banyak tata cara kehidupan, serta cara menyelesaikan masalah yang kadang menimpa."
"Apa benar itu tujuannya?"
"..."
"Mungkin lebih tepatnya, aku ingin meyakinkan diri sendiri tentang ini. Agar berhenti merasa kagum berlebihan pada pencapaian Jepang masa kini."
"..."
"Mungkin juga, tulisan ini sebagai pengingat bagiku agar belajar lebih banyak sejarah. Juga belajar lebih banyak tentang ajaran-ajaran Islam yang mulai ditinggalkan."
"..."
"Juga..., tulisan ini adalah wujud rinduku yang terpendam atas cerita-cerita Ummi. Bagaimana beliau senang menceritakan keindahan Jepang ketika beliau tinggal di sana, tapi tak pernah luput mengaitkannya kepada Islam. Selalu dengan bangga mengatakan, bahwa ajaran Islam dan tiga generasi terbaik sudah terlebih dahulu mempraktekkan nilai-nilai tersebut. Bahwa Islam sudah sempurna, tak perlu lagi mengkiblat pada budaya lain yang belum tentu benar."
"Bagaimana perasaanmu ketika menulis?"
"Setiap memikirkan tentang kewajiban yang harus disetor hari ini, aku terus bingung hingga seringnya mengambil sikap menunda. Mungkin karena banyak yang harus diurus, pikiran pun bercabang, dan referensi harus dibaca ulang. Namun ketika malam hari, aku dihantui rasa bersalah. Apa ladangku akan merah lagi? Atau bahkan dikeluarkan dari barisan para pejuang menulis? Lalu jariku mulai mengetikkan paragraf pertama, ternyata ia tak mau berhenti menari. Isi pikiran yang meluap kadang tak tertebak akhirnya, walaupun tentu saja ia sangat berantakan. Tanpa dibaca ulang--seperti yang sering kulakukan sebelumnya, aku unggah tulisan itu di blog."
"Apa alasanmu untuk tidak membaca ulang?"
"Karena..., sudah lelah? Karena selalu menulis di detik terakhir tenggat waktu?"
"Lalu bagaimana? Apa ingin berhenti?"
"..."
"Meskipun lelah, meskipun harus terseok-seok, meskipun terus melawan diri sendiri, aku tidak mau berhenti. Aku berharap bisa kuat mencapai titik akhir, bahkan hingga naskah mentah ini kelak diterbitkan."
"Apa alasan terkuatmu?"
"Karena itu yang membuatku merasa lebih hidup dan bermanfaat, setidaknya untuk diriku sendiri di masa depan."
"..."
"..."
"Apa kamu siap jika ada seseorang yang membaca percakapan kita?"
"Tidak apa. Semoga yang membaca bisa memetik sedikit pelajaran, walaupun aku sendiri tidak tahu persis apa itu."
Komentar
Posting Komentar