Atas Nama Donasi
Berita gempa di Turki dan Suriah beberapa waktu lalu cukup menggemparkan dunia. Informasi dari berbagai segi pandang tersiar, foto maupun video korban tersebar di seluruh jagat maya. Mudah sekali mengakses berita tentang ini, hanya dengan sentuhan jempol yang ringan dan satu kali klik. Bahkan terkadang kita tak perlu melakukan apa-apa, video demi video akan terputar sendiri sepanjang waktu tanpa harus digerakkan sama sekali.
Kemudahan penyebaran informasi ini menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, bantuan dan donasi mudah dikumpulkan dari empati penduduk dunia akan musibah yang para korban alami, terutama ketika melihat cuplikan penyelamatan anak-anak di antara reruntuhan. Seluruh dunia bisa patungan membantu tanpa harus beranjak dari ranjang nyaman di rumah.
Sayangnya, di sisi lain, ada pihak yang tak bertanggung jawab memanfaatkan momen ini untuk menipu. Mengunggah tulisan yang menyentuh hati bersama foto-foto yang mengundang air mata. Mengatasnamakan sebuah lembaga untuk meraih untung sebanyak mungkin.
Kadang heran juga, bagaimana bisa sekelompok manusia ini bisa tetap menikmati harta tersebut di atas penderitaan korban yang terlara-lara, menangis dengan penuh kesedihan mencari sanak saudara di antara puing bangunan runtuh? Bagaimana mereka mampu memasukkan sebagian besar donasi ke dompet pribadi, yang seharusnya bisa memberi sehelai selimut juga sepotong roti yang cukup mengganjal perut di tengah kecamnya suasana paska musibah?
Beberapa relawan dan tenaga medis memang kadang diberi insentif karena harus meninggalkan usaha, dan keluarga di rumah untuk berjibaku menolong para korban. Tim penyelamat juga digaji karena menghabiskan sebagian waktunya untuk mengikuti berbagai pelatihan dan turun langsung ke lapangan sebagai pekerjaannya. Bagiku, itu wajar saja. Bahkan dalam Islam pun, bagian mereka telah diatur sebagai dana operasional. Namun menjadikan bencana dan musibah menjadi "usaha" yang menghasilkan, mengaturnya seakan ia adalah sebuah perusahaan, apakah itu baik?
Jika ditilik lebih lanjut, begitulah kilau dunia kadang membutakan nurani. Harta dan adalah ujian di dunia. Baik kesempitan harta maupun kelapangannya merupakan cara Allah menguji hamba-Nya. Mereka mungkin sedang dalam keadaan butuh, lalu melihat kesempatan yang cukup menggiurkan. Atau mungkin juga hidup mereka sudah terbiasa disokong oleh pundi-pundi yang didapatkan dengan berbagai cara, sehingga hati pun mulai tak bisa membedakan.
Membicarakan mereka yang mencari harta dengan cara tak lazim, aku kadang larut dalam sebuah perenungan. Jika ditempatkan dalam posisi yang terjepit, dan hanya ada pilihan sulit yang dilarang oleh agama agar tetap bisa memberi sesuap nasi pada anak dan istri, apa suamiku akan memilih jalan itu? Apa aku sebagai istri akan mendukungnya? Atau jika pilihan itu dihadapkan padaku, apa aku serta merta akan mengambilnya?
Tentu ada peluang-peluang itu, sebab kami bukan manusia suci. Tetap ada kecondongan hawa nafsu untuk berbuat salah. Juga tak ada jaminan di masa depan tentang apa yang akan kami perbuat, kecuali dari Allah.
Maka terus memperkuat iman menjadi PR besar. Banyak-banyak menggunakan senjata seorang muslim, berdoa. Berdoa dan memohon agar hati kami terus dijaga dalam keimanan yang kokoh, sehingga selalu berada dalam koridor ketaatan-Nya. Semoga kami dihindarkan dari ujian yang menggoncang iman selama hidup. Semoga kami bisa menutup usia dalam keadaan sebaik-baiknya, dalam ridha Allah pada kami.
Ya Allaah, semoga kami benar-benar mati dalam keadaan beriman dan dalam keadaan yang Engkau Ridhai.
Komentar
Posting Komentar