Tulisan Tanpa Rekayasa
Sudah hampir setengah bulan tulisanku tentang Ummi terus berjalan hingga hari ini.
Di tengah perjalananku menulis ini, kegalauan menyelimuti. Bagaimana jika tulisanku tentangnya jelek? Bagaimana jika ada ingatanku salah? Bagaimana jika ada bagian yang tidak Ummi ridhai dibaca oleh banyak orang?
Beribu keraguan mendatangi setiap kali akan kugerakkan jari jemariku menulis tentang Ummi. Setiap dialog yang kubuat, setiap percakapan yang kuingat, apa memang seperti ini bentuknya? Apa tidak salah satu atau dua, yang bisa jadi mengubah maksud Ummi sesungguhnya?
Terkadang pula, rasa rindu yang teramat membuatku mengetikkan hal-hal yang terlintas dalam khayalan. Ummi bermain dengan Nusaibah, Ummi tersenyum melihat Nusaibah berhasil membaca surah Al-Fatihah, Ummi menghibur Nusaibah yang sedang sedih, dan lain sebagainya. Padahal tak sekali pun mereka sempat bertemu dan tatap muka langsung tanpa perantara. Tentu saja, buru-buru kuhapus tulisan tersebut sambil menseka air mata yang diam-diam turun.
Terus berusaha membuat catatan yang real, yang tidak mengada-ngada. Membuat goresan ingatan yang benar-benar pernah terjadi, tanpa tercampur oleh kecamuk rindu yang sering mengendalikan imajinasi.
Tantangan calon buku yang satu ini bukan tentang writer blocks lagi. Namun bagaimana ia menuliskan tentang Ummi dalam bentuk sebenar-benarnya tanpa rekayasa sedikit pun. Agar siapa pun pembacanya bisa memetik teladan, juga bagi yang mengenalnya bisa mengenang dengan baik.
Komentar
Posting Komentar