Alasanku untuk Tak Mati
Di usia yang belum genap 17 tahun, aku pernah merasa bahwa hidup tak ada gunanya. Sepertinya kematian lebih nyaman bagiku kala itu. Seandainya bunuh diri tak memasukkan diri ke neraka, jika saja ada jaminan bahwa kehidupan setelah kematianku berakhir bahagia, aku akan dengan senang hati mengakhiri hidupku saat itu juga.
Toh, walaupun teman-temanku mungkin akan kaget, keluarga juga akan berduka paling lama tiga hari, kehidupan mereka akan kembali berjalan normal. Hadirku tak begitu memberi pengaruh pada mereka, bahkan aku merasa bahwa ada dan tiadaku tak begitu berarti. Sikapku yang sering menutup diri dari kehidupan sosial akan menambah poin plus, mereka tak akan kehilangan.
Abi akan tetap menjalani hidup bersama keluarga barunya. Ia takkan lagi terbebani oleh berbagai tuntutan dari kiri kanan sebab pemenuhan kebutuhanku. Kakak-kakakku akan melanjutkan pendidikan mereka, yang memang sudah jauh dari tempat tinggalku. Aku hanya menjadi beban, ketiadaanku akan melegakan bukan?
Namun bayang kesedihan yang akan terukir di wajah manusia kesayanganku selalu menghentikan pemikiran-pemikiran itu. Matanya yang begitu mudah menitikkan air mata itu akan bengkak, mungkin beberapa rutinitas akan terhenti berhari-hari. Kehilangan anak untuk kedua kalinya, bagaimana rasa sedih itu akan sangat memukul jiwanya? Bahkan ketika bayi yang belum mencapai usia setahun meninggal dalam buaiannya, ia jatuh pingsan. Cerita yang dikisahkan berulang-ulang, bersama raut wajah yang masih menampakkan sisa-sisa kesedihan. Seakan-akan kejadian itu terjadi kemarin.
Aku memutuskan untuk menyimpan dulu pemikiran-pemikiran itu. Mungkin nanti. Ketika ia menghembuskan napas terakhir, aku akan kembali membuka luka-luka itu dan memikirkannya. Ia menjadi satu-satunya alasanku melanjutkan hidup, walau terseok-seok. Lambat laun, rasa takut akan kehilangannya timbul dan membesar. Munajat agar ia disehatkan dan dipanjangkan umurnya, selalu terselip di antara doa-doa selepas shalat. Setiap kali kudengar kabar sakitnya, jantungku berdetak dua kali lebih cepat dan aku tak bisa melakukan apa pun selain duduk berdoa dan menunggu kesembuhannya.
Pada akhirnya, ia dipanggil terlebih dahulu. Setelah aku berinisiatif berdamai dengan luka-luka lama. Setelah ia memilihkan pendamping hidup, sosok yang bisa kupeluk erat ketika duniaku terasa runtuh. Walau tangisan meraung kutumpahkan di malam-malam pertama kepergiannya, aku tak lagi memikirkan untuk langsung mati saat itu juga sebagaimana apa yang kubayangkan sebelumnya. Sebab Allah memanggilnya pulang, setelah menghadirkan alasan lain bagiku untuk tetap hidup. Mendampingi suami dan putri kecilku yang masih meraba mengenal dunia.
Ia telah pergi. Rasa kehilangan yang mungkin takkan pernah sembuh. Namun akan kupeluk semua kesedihan itu, dan menatap ke depan. Melanjutkan hidup, terus berusaha konsisten meniti jalan kebaikan, agar kelak kami semua bisa berkumpul dalam keadaan bahagia. Duduk di dipan-dipan, menikmati pemandangan sungai yang mengalir tenang di bawah sana.
18 Oktober 2022
Komentar
Posting Komentar