Kosong
Hari ini jemariku enggan menuliskan kata. Ia mengkhianati ikrarku sejak dimulainya 30DWC ini, bahwa aku akan mengenang teladan Ummi dalam hidupnya. Bahwa aku akan mengulang kembali memori-memori bersama senyuman.
Sayangnya, pada hari suamiku kerja perdana setelah kepergiannya, aku terus mengkhayal. Berkali-kali mengambil handphone dan mengetik nama kontak Ummi, mencari kolom chat yang sering kubuka ketika hanya berdua di rumah. Membuka aplikasi video call dan menatap satu per satu barisan nama. Tak ada telpon yang masuk.
Bermain bersama Nusaibah, berusaha seceria mungkin di hadapannya menjadi jalan pelarianku. Tidak, setitik air mata pun tak jatuh sejak pagi tadi. Namun ketika Nusaibah telah tidur dan rumah kembali sepi, keyboard Ummi yang sengaja kubawa dari Indonesia memanggil-manggil. Menagih hutang tulisan hari kesepuluh yang enggan kutulis sejak tadi.
Bukan rasa sedih, tetapi hampa. Hati ini terasa kosong, ingin rasanya berbincang pada siapa pun itu. Namun sungkan rasanya mengambil waktu orang lain, hanya untuk berbincang ala kadarnya. Mereka selalu punya kesibukan, aku juga belum terbiasa cerita dan terbuka pada orang selain Ummi.
Maka jadilah tulisan ini. Tulisan hari kesepuluh yang terlambat, ditulis pukul sembilan malam waktu Mesir. Artinya, aku sudah telat dua jam lebih, ladangku akan menguning. Tulisan yang mungkin akan sulit menjadi bagian dari calon bukuku.
Ah, bagaimana ini? Tulisanku terus saja jadi pelampiasan dukaku, hingga detik ini!
Komentar
Posting Komentar