Mertua Perempuan vs Menantu Perempuan
"Ummi sepertinya mau kembali tinggal di Makassar. Nanti tinggal sama Zainab dan suaminya saja," kata Ummi melalui pesan chat.
Pagi itu aku mendapat pesan yang sedikit mengejutkan. Setelah hampir tiga tahun tinggal di Bandung, beliau memutuskan untuk kembali tinggal di tanah kelahirannya. Dari yang semula tinggal bersama kakak sulungku dan tingal di antara saudaranya, pindah ke Makassar tempatnya berkuliah dahulu.
Bandung, kota ini memang tempat yang nyaman bagi kami tinggali, bahkan seperti kampung kedua. Keempat saudara Ummi menetap di Bandung sejak kuliah, lalu menikahi keturunan sana. Kakak sulungku pun demikian, berkuliah dan menikahi gadis asli Ciamis yang menetap di Bandung.
Sedangkan Makassar adalah kampung keluarga besar lainnya. Tante, dan om Ummi yang berjumlah belasan hampir semuanya tinggal di sana. Organisasi dakwah yang Ummi geluti sejak kuliah juga berpusat di sana.
Semula aku berpikir bahwa Ummi ingin kembali dekat bersama teman-teman seperjuangan. Merajut tali kekeluargaan, menjadi wakil penyambung silaturahmi bagi saudara-saudaranya.
Namun selain itu, ternyata Ummi juga punya pertimbangan lain.
"Menurut Ummi, mungkin sebaiknya tinggal bersama menantu laki-laki dibanding menantu perempuan,"
"Loh, kenapa Ummi? Apa kakak ipar tidak bermuamalah dengan baik?"
"Tidak, bukan begitu. Malah sebaliknya, dia sangat baik, kok." Perkataan Ummi memutus pemikiranku yang mulai ke mana-mana.
"Terus, kenapa Ummi memiliih kembali ke Makassar?"
"Selain karena alasan-alasan tadi, Ummi juga berpikir bahwa alangkah baiknya untuk tidak terlalu lama satu dapur dengan menantu perempuan. Menginap dua sampai tiga bulan mungkin masih oke, tapi kalau bertahun-tahun, sepertinya bukan hal yang baik."
"Kenapa seperti itu?"
Ummi pun memberi penjelasan. Beliau berpendapat bahwa seorang istri pasti punya perasaan memiliki setelah menikahi suaminya. Ia ingin suaminya selalu hadir, mengutamakan dirinya di atas hal-hal lain dan bebas bercengkrama di rumahnya sendiri. Terutama soal selera makanan dan privasi rumah tangga, seorang istri kemungkinan butuh ruang untuk itu.
Sedangkan seorang ibu telah membesarkan anak laki-lakinya sejak ia tak mampu berbuat apa-apa hingga akhirnya bisa berdiri di atas kaki sendiri. Melihat setiap tumbuh kembangnya, mendampingi setiap momen spesialnya. Bagaimana pun seorang ibu menahan, tetap akan muncul rasa rindu. Rasa ingin menghabiskan waktu bersama buah hatinya yang dahulu selalu mengintil di kaki, yang dahulu selalu memeluk sebelum tidur.
Ketika seorang ibu dan menantunya tinggal bersama, seorang pria harus berusaha keras menjaga hati keduanya. Akan timbul rasa cemburu satu sama lain, terutama jika mendapat perlakuan yang "tidak adil".
"Makanya 'kan, banyak novel atau film yang bercerita tentang mertua yang jahat. Atau menantu yang durhaka. Karena jika seseorang kurang adab dan iman, rasa ego akan menghancurkan hubungan yang seharusnya baik.
Ummi mau menjaga hubungan baik itu. Ummi mau terus menyayangi kakak ipar seperti anak sendiri tanpa ada rasa canggung. Ummi tidak mau membuat kakak terjebak dalam pilihan sulit, ketika kepentingan Ummi dan istrinya bertabrakan suatu hari."
Diam-diam aku menyimpan setiap kata yang Ummi ucapkan. Menjadi catatan penting bagiku, bagaimana bersikap di hadapan mertuaku, juga bagaimana bersikap kelak jika akhirnya anak laki-lakiku menikah dan memberiku seorang menantu.
Ah, padahal anak laki-laki pun aku belum punya :D
Komentar
Posting Komentar