Kami Kembali

Suhu Kairo terasa dingin tatkala kaki melangkah keluar dari gedung bandara. Tulisan papan "kedatangan" berbahasa Arab terlihat tepat di depan pintu keluar. Suara obrolan berbahasa Ammiyyah terdengar di mana-mana, termasuk dari sang petugas bandara yang berusaha mengatur para penjemput agar tak mendesaki gerbang dan menghalangi para pendatang. 

Kami menghampiri penjemput yang terlihat berbeda. Selain karena wajah asianya yang tak seperti kebanyakan penduduk Mesir, ia juga tak mendesaki gerbang, hanya duduk tenang di salah satu kursi yang telah disediakan. Melihat kami datang, ia segera mengambil alih trolley yang penuh barang dan mengantar ke tempat mobilnya diparkir. Setelah memastikan seluruh bawaan masuk bagasi, mobil pun meluncur ke rumah kami di Tabbah. 

Rumah yang telah ditinggal pemiliknya pulang kampung selama dua bulan itu terlihat cukup bersih. Salah satu temanku ternyata sempat membersihkannya dua hari yang lalu, hanya sedikit katanya. Kebaikan yang sangat berarti, kami tinggal menyapu sedikit dan bisa langsung mengambil istirahat setelah menempuh perjalanan 20 jam. 

Pulang ke tanah kelahiran putriku dan kembali melanjutkan hal yang telah kami mulai. Kakak perempuanku pun telah kembali ke Makassar, menempati rumah yang telah ditempati sebelumnya. Rumah kakak sulungku akan kembali seperti semula, kecuali mereka memutuskan untuk menambah anggota lagi. 

Kembali pada rutinitas sehari-sehari ternyata terasa lumayan sulit. Selain kembali membiasakan diri menjaga Nusaibah tanpa bantuan siapa pun di rumah, kini aku hanya bisa memandangi nomor yang sebelumnya sangat sering kuhubungi. Sejak rezekinya terputus di dunia ini, aku tak bisa lagi curhat pada Ummi bahkan sekadar chatting. Tak mungkin ada yang bisa menyamai, teman curhat yang telah menemani hari-hari penuh tantangan sejak Nusaibah lahir meski via virtual. 

Mungkin kakak-kakakku juga merasakan hal yang sama. Kakak perempuanku akan terus memandangi kamar kosong yang dulu ditempati oleh beliau. Keponakanku akan terus bertanya tentang keberadaannya, yang akan dijawab pilu oleh sang ayah "Ummi sudah pulang." Bersama luka kehilangan yang mungkin takkan pernah sembuh total, kami melanjutkan perjalanan. 

Bulan Oktober tahun ini menjadi waktu kami kembali. Kembali pada rutinitas, kembali menyelesaikan tugas di tempat masing-masing. Walau takkan pernah sama lagi, kami harus tetap melangkahkan kaki. Sambil terus meniatkan hati, bahwa semoga setiap kebaikan yang kami perbuat terus memberatkan timbangan amal baik beliau dan mengantarnya pada tempat terbaik di sisi Allah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Salah?

Persiapan Keberangkatan (2)

Kail Pemancinh