Telur Ke-12

Satu per satu, telur yang tersusun rapi di rak berkurang. Telur kesebelas, harusnya semakin berhati-hati. Namun matahari yang meninggi menandakan tenggat waktu terus menipis. Dikejar waktu, ketelitian piun berkurang, telur kedua belas diluncurkan begitu saja tanpa diperiksa kembali.

"Yaaaaaah." Seruan sedih terdengar bersama bau busuk yang menguar ke udara. Telur ke-12 ternyata busuk!

Aku yang menonton hanya bisa nyengir, lalu mulai bersiap setelah mendapat perintah membeli beberapa bahan tambahan yang kurang. Sang calon adonan berupa 12 butir telur, setengah kilo gula dan beberapa sendok teh SP harus dibuang akibat satu telur busuk terakhir. Hanya satu, tetapi merusak seluruh bahan lain yang masih bagus. Meski demikian, pesanan blackforest yang diharap diantar sebelum matahari tegak di atas ubun-ubun harus segera diselesaikan.

Begitulah lika-liku pengusaha kue, terutama usaha rintisan yang dibina sendiri. Menentukan dan membeli bahan, mengadon, mengoven, hingga mengantar sendiri sampai ke pelanggan. Rasa lelah terus dikejar waktu membuat ketelitian berkurang, padahal telur busuk bisa diketahui langsung dari aromanya ketika baru diretakkan.

***

Ummi tak pernah menyangka bahwa hobi membuat kue tatkala masih muda kini menjadi sumber pemasukan. Berawal dari ajakan sang kakak yang terlebih dahulu membuka usaha brownies, beliau mencoba membuat kue andalannya sendiri. Setelah otak-atik resep dan menemui kegagalan berkali-kali, sus spesial buatannya pun mulai dikenal banyak orang.

Dalam membuat kue, Ummi jarang berpuas diri. Baik untuk konsumsi pribadi maupun dijual ke orang lain, seluruh bahan yang digunakan selalu premium. Biar tidak ada yang kecewa katanya. Meski demikian, beliau tak pernah mematok selisih harga yang sangat tinggi dari modal awal. Ketika harga bahan melambung naik, beliau tak pernah tega menaikkan harga terlalu banyak. Padahal kalau bicara rasa, toko-toko kue elegan di mall bagiku kalah.

Bertahun-tahun jatuh bangun menjalankan usaha kue tak pernah menyurutkan semangatnya. Tanpa marketing khusus, hanya mengandalkan berita dari mulut ke mulut. Meski demikian, kami selalu kebanjiran order pesanan. Harga yang terjangkau dan rasa yang bintang lima membuat pelanggan repeat order berkali-kali. Walau selalu merasa bentuk kuenya kurang menarik, telingaku sangat jarang mendengar keluhan pelanggan. Paling parah sebatas kurang tepat waktu. Bagaimana tidak, beliau yang membuat, beliau pula yang mengantar dengan motor.

Nama dan rasa semakin dikenal, pesanan pun semakin banyak. Di titik ini, Ummi memilih untuk berhenti. Ikut merantau ke Sukabumi dan alih profesi menjadi guru sekaligus musyrifah di salah satu pesantren. Melepas usahanya yang masih mode rumahan dan meninggalkannya di tanah kelahiran.

Pernah suatu hari kubertanya, mengapa tak dilanjutkan saja usaha kue ini di tanah rantau? Jawaban beliau adalah senyuman, dan juga,

"Ah, kalau bikin kue capek. Ibadah jadi keteteran. Bangun tidur langsung ingat pesanan orang, bukannya ingat Allah."

Setahun terakhir, beliau sempat memulai kembali usaha tersebut. Hanya sebagai pengisi waktu luang, tak lagi jor-joran seperti sebelumnya. Di antara rutinitas menghafal, pergi ke kajian dan mengisi tahsin ibu-ibu, beliau membuat beberapa kotak kue pesanan teman-teman dekat. Bekerja santai, tak lagi dikejar tenggat pesanan.

Bukan hanya aku, seluruh orang yang pernah mencicipi mengaku suka dan rindu pada kue buatannya. Kue yang bahannya selalu dipilih hati-hati, dan dibuat penuh cinta. Takkan pernah kudapatkan kue seperti itu lagi setelah kepergiannya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Salah?

Persiapan Keberangkatan (2)

Kail Pemancinh