Takdir yang Terakhir

Dulu. Seriing sekali, jika setiap rencana yang telah disusun jauh-jauh hari berubah dan tak sesuai, Ummi selalu hadir dan menenangkan. 
"Qodarallah. Biar pun keinginan kita sangat dalam akan sesuatu, atau susunan rencana kita yang benar-benar detail dan terstruktur, kalau Allah menakdirkan hal lain, kita bisa apa? Qodarallah. Manusia merencanakan. Allah menakdirkan."

Setiap kali ditenangkan seperti itu, rasa-rasanya hati yang memberontak tak terima itu luluh. Memercayai salah satu rukun iman : takdir baik dan takdir buruk benar-benar menjadi pengobat gundah gulana. 

Dalam kehidupan, menjadi hal yang wajar mendapati realita tak terjadi sesuai ekspektasi dan rencana. Sehingga setiap manusia butuh percaya pada rukun iman terakhir ini, sepenting rukun-rukun iman lainnya. 

Ummi, dua bulan berlalu sejak terakhir kali percakapan kita. Setiap kali kalimat "Wah, padahal gak sampai dua minggu lagi." atau semacamnya terindera olehku, luka yang berusaha kututup dan kusembunyikan kembali terbuka. Mereka menyayangkan dengan mata prihatin, berusaha menghibur. Namun hatiku tersayat dalam. Ketika kini aku terluka, dengan luka yang amat perih, bisakah kata-kata itu hadir kembali sebagai obat? 

Ah, manusia memang tak ada yang kekal. Tapi bukankah Dzat yang paling menyayangiku, dan abadi, wajib untuk terus kuimani sepanjang hayat? 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Salah?

Persiapan Keberangkatan (2)

Kail Pemancinh