Marinasi Kata

Dalam proses penyusunan buku, mengendapkan naskah sebelum diedit merupakan langkah penting yang harus diambil. Setelah mengganti jubah penulis menjadi editor di tahap awal, mata bisa jadi belum menangkap hal-hal yang kurang. Menyimpannya beberapa waktu kerap mengubah sudut pandang terhadap naskah, memunculkan hal-hal yang luput sehingga bisa diperbaiki kembali.

Bagiku, proses ini seperti marinasi yang kerap dilakukan di dapur. Sebagaimana daging, tulisan butuh disimpan dalam waktu tertentu agar lebih enak dan empuk. Marinade berupa referensi tambahan juga dibutuhkan dalam langkah ini.

Selain mengandalkan mata sendiri sebagai pengedit, seorang penulis juga bisa meminta mata pembaca lain untuk memberi ulasan. Bumbu tambahan dalam memarinasi naskah adalah pendapat pembaca. Memastikan sang calon buku bisa dipahami dengan baik, demi mencapai tujuan sang buku ditulis : menyampaikan informasi pada pembaca. Pembaca pertama sebaiknya orang yang juga gemar membaca, agar ulasan yang diberikan bisa lebih objektif dan punya wawasan pembanding dengan buku lain. 

Orang pertama yang kuhubungi untuk membaca calon bukuku adalah Ummi. Sejak masih seumpama embrio, aku rutin mengirimkan tulisan-tulisan kepadanya untuk diulas. Sebagai mentor menulis pertamaku, Ummi selalu tahu kekurangan dalam tulisanku. Tak jarang kami mengobrol panjang lebar tentang hal itu hingga lupa waktu. 

Begitu detail pengeditan yang dilakukan Ummi terhadap naskahku. Di sela-sela kesibukan rutinitas, beliau selalu menyempatkan mengedit selembar dua lembar dari tulisanku. Ada saja yang harus diperbaiki, paling sering ditemukan logat daerah yang tak sengaja kusisipkan. Orang lain mungkin tidak akan sadar, tetapi beliau selalu jeli melihat hal-hal seperti itu. 

Di samping tata cara penulisan, aku juga sempat mendiskusikan paket penerbitan yang sebaiknya kupilih. Awalnya penerbit mayor menjadi incaran, mengingat ilmu marketingku masih cetek. Diharapkan dengan menerbitkan di penerbit mayor, proses iklan tak harus dilakukan olehku sebagai penulis. Namun Ummi berpendapat lain, beliau menyarankan untuk menerbitkan secara indie terlebih dahulu agar semangat menulis buku tak luntur tatkala naskah tak berhasil lolos. 

Chat diskusi kami masih tersimpan rapi di HP, kubaca ulang setiap merasa butuh semangat tambahan. Sayangnya Ummi tak pernah sempat menggenggam karyaku itu hingga akhir hayat. Waktu untuk pindah ke alam selanjutnya tiba sebelum naskah masuk mesin cetak, aku bahkan tak sempat meminta sepatah kata darinya. 

Semoga setiap kata yang tergoreskan selalu mengalirkan pahala untuk Ummi, ikut serta memberi kenikmatan di alam kuburnya dan memberatkan timbangan kebaikannya di akhirat kelak. Aamiin.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Salah?

Persiapan Keberangkatan (2)

Kail Pemancinh