Resep Marah

Aku masih bisa mengingat momen Ummi pernah marah hingga harus memberi hukuman fisik pada kami. Bukan karena beliau sering melakukan. Sebaliknya, Ummi jarang sekali menyakiti anak-anaknya bahkan walau di puncak marahnya sekali pun.

Beliau hanya mengomel pendek-pendek di malam hari, tatkala rasa lelah telah menghabisi badan dan kami masih bisa-bisanya melengos atas beberapa perintah. Juga di detik-detik urgen menjelang tenggat waktu pemesanan kue yang dijanjikan, sementaran kami bersiap terlalu lama. Mengomel pendek dengan suara yang tidak terlalu tinggi, tapi berhasil membuat kami bergegas lebih cepat.

Hukuman yang paling aku ingat di kala beliau marah adalah mencubit. Ketika matahari telah meninggi sedang aku belum shalat Subuh, dan ngeyel tak mau membuka mata walau sebenarnya sudah sadar. Setelah itu, beliau menitikkan air mata hingga sesenggukan. Memohon pertolongan Allah agar hatiku dilembutkan. Rasa bersalah yang teramat sangat menyergap melihat air mata itu jatuh membasahi pipinya.

Hingga aku menjadi ibu kini, cubitan dan air mata itu masih membekas. Terutama jika azan Subuh telah berkumandang, tetapi kemalasan mengajakku tidur kembali. Bayang wajah sedihnya kadang membuatku tersentak, bersegara mengambil langkah seribu melaksanakan shalat subuh.

Aku menyesal tak pernah menanyakan resep rahasia yang membuatnya mampu menahan marah sebegitu sering. Pada akhirnya, aku takkan pernah bisa menanyainya lagi. Berusaha meneladani sikap sabarnya menjadi PR besarku hari ini. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Salah?

Persiapan Keberangkatan (2)

Kail Pemancinh