Kebiasaan Leluhur Jepang?
Disiplin, tepat waktu, dan bekerja dengan mengutamakan efisiensi
adalah syarat yang perlu ditetapkan bagi masyarakat modern. Memperhatikan detail pekerjaan dan
menuntaskannya hingga benar-benar tuntas menjadi tanggung jawab yang harus ditunaikan.
Pendidikan moral sangat dijunjung tinggi, bahkan sejak kanak-kanak. Itulah yang
terlihat hari ini dari masyarakat Jepang. Mereka dihormati karena kedisplinan,
ketelitian dan ketetapan waktu, bahkan pada hal-hal kecil sekali pun. Berbagai
negara mulai mengambil teladan dan berkiblat padanya, agar generasi pelanjut
bangsa juga bisa mengikuti jejak kemajuan yang dialami Jepang.
Apakah kebiasaan ini adalah hasil ajaran turun temurun dari leluhur
Jepang? Ternyata tidak juga. Beberapa catatan sejarah yang tersimpan
menggambarkan betapa Jepang juga pernah mengalami berbagai krisis akibat kebiasaan
buruk yang mengakar dalam diri seperti malas dan cuek terhadap tanggung jawab
dan pekerjaannya. Seperti yang dituliskan dalam buku Chikoku no Tanjo (Lahirnya
Konsep Terlambat) oleh seorang ahli manajemen perusahaan 90 tahun yang lalu,
“Karyawan kantor biasanya pagi begitu masuk kerja, ngobrol dulu
dengan rekan kerja, merokok, ke toilet, menerima tamu, atau mondar-mandir di
ruang kantor. Pokoknya sama sekali tidak efisien.”
Atau juga apa yang dikatakan oleh orang asing (Belanda) tentang
masyarakat Jepang sekitar 150 tahun yang lalu, “Orang Jepang benar-benar santai
dan cuek, tidak pernah menepati janji.”
Terdengar familiar ya? Hehe.
Dalam surat kabar ‘harian Doyo’ edisi 8 Maret 1906 juga disebutkan
bahwa di dalam kereta api sering dijumpai penumpang bertelanjang dada dan mabuk-mabukan,
hingga menjadi tontonan publik. Bercumbu dengan pelacur di depan umum, bertengkar
atau melontarkan kata-kata porno, hingga perempuan berpakaian rapi yang buang
air kecil sambil berdiri di toilet menjadi pemandangan sehari-hari di stasiun. ‘Pola
hidup kampungan’ yang masih tertanam dalam diri-diri rakyat Jepang menghambat
kemajuan SDM yang diharapkan oleh pemerintahan.
Status sosial perempuan juga lebih rendah dibandingkan laki-laki. Terjadi
kesenjangan dan mereka sering diremehkan dalam kehidupan sosial. Banyak orang
tua yang menjual putri mereka untuk dijadikan pelacur atau istri muda. Padahal kemajuan
negara juga tergantung pada peran seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya.
Sebagai orang pertama yang mengajari berbagai hal, perempuan butuh pendidikan
dan status yang layak agar dapat memberikan kualitas bagi anak-anaknya.
Interaksi perdagangan dengan Amerika dan negara-negara barat lain
pada pertengahan abad ke-19 menyadarkan tokoh masyarakat yang peduli, bahwa
Jepang sangat tertinggal jauh dibanding negara-negara maju pada masanya. Keterbelakangan
tersebut memaksa Jepang menerima perlakuan tidak adil, seperti hak kekebalan
politik warga negara Barat yang sedang bermukim di sana. Hak untuk menjatuhkan hukuman
kepada pelaku-pelaku kriminal dari warga negara Barat dicabut, karena Jepang
dinilai sebagai negara yang belum beradab sehingga penegakan hukum juga tidak
sempurna.
Melihat betapa mirisnya keadaan negeri, sejumlah tokoh masyarakat kemudian
mendirikan Asosiasi Reformasi Pola Hidup Jepang. Nilai-nilai positif seperti
disiplin dan sopan santun diambil dari buku-buku luar negeri yang kemudian
ditulis kembali agar bisa diadaptasikan pada seluruh elemen masyarakat. Pada
tahun 1891, buku yang diberi judul Reformasi Adat di Jepang diterbitkan dan
didistribusikan dengan harapan moral dan tata susila masyarakat bisa diubah
menjadi lebih baik.
Perubahan kebiasaan hidup ke arah yang lebih positif berusaha ditanamkan
pada masyarakat Jepang selama ratusan tahun. Perubahan sedikit demi sedikit,
dari hal terkecil dalam kehidupan diatur sedemikian rupa demi negara yang lebih
baik. Lalu, apa saja langkah yang mereka lakukan hingga Jepang bisa mencapai titik
keteladanan seperti hari ini?
Bersambung
Komentar
Posting Komentar