Kebiasaan Leluhur Jepang?

 

Sumber : Flickr

Disiplin, tepat waktu, dan bekerja dengan mengutamakan efisiensi adalah syarat yang perlu ditetapkan bagi masyarakat modern. Memperhatikan detail pekerjaan dan menuntaskannya hingga benar-benar tuntas menjadi tanggung jawab yang harus ditunaikan. Pendidikan moral sangat dijunjung tinggi, bahkan sejak kanak-kanak. Itulah yang terlihat hari ini dari masyarakat Jepang. Mereka dihormati karena kedisplinan, ketelitian dan ketetapan waktu, bahkan pada hal-hal kecil sekali pun. Berbagai negara mulai mengambil teladan dan berkiblat padanya, agar generasi pelanjut bangsa juga bisa mengikuti jejak kemajuan yang dialami Jepang.

Apakah kebiasaan ini adalah hasil ajaran turun temurun dari leluhur Jepang? Ternyata tidak juga. Beberapa catatan sejarah yang tersimpan menggambarkan betapa Jepang juga pernah mengalami berbagai krisis akibat kebiasaan buruk yang mengakar dalam diri seperti malas dan cuek terhadap tanggung jawab dan pekerjaannya. Seperti yang dituliskan dalam buku Chikoku no Tanjo (Lahirnya Konsep Terlambat) oleh seorang ahli manajemen perusahaan 90 tahun yang lalu,

“Karyawan kantor biasanya pagi begitu masuk kerja, ngobrol dulu dengan rekan kerja, merokok, ke toilet, menerima tamu, atau mondar-mandir di ruang kantor. Pokoknya sama sekali tidak efisien.”

Atau juga apa yang dikatakan oleh orang asing (Belanda) tentang masyarakat Jepang sekitar 150 tahun yang lalu, “Orang Jepang benar-benar santai dan cuek, tidak pernah menepati janji.”

Terdengar familiar ya? Hehe.

Dalam surat kabar ‘harian Doyo’ edisi 8 Maret 1906 juga disebutkan bahwa di dalam kereta api sering dijumpai penumpang bertelanjang dada dan mabuk-mabukan, hingga menjadi tontonan publik. Bercumbu dengan pelacur di depan umum, bertengkar atau melontarkan kata-kata porno, hingga perempuan berpakaian rapi yang buang air kecil sambil berdiri di toilet menjadi pemandangan sehari-hari di stasiun. ‘Pola hidup kampungan’ yang masih tertanam dalam diri-diri rakyat Jepang menghambat kemajuan SDM yang diharapkan oleh pemerintahan.

Status sosial perempuan juga lebih rendah dibandingkan laki-laki. Terjadi kesenjangan dan mereka sering diremehkan dalam kehidupan sosial. Banyak orang tua yang menjual putri mereka untuk dijadikan pelacur atau istri muda. Padahal kemajuan negara juga tergantung pada peran seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya. Sebagai orang pertama yang mengajari berbagai hal, perempuan butuh pendidikan dan status yang layak agar dapat memberikan kualitas bagi anak-anaknya.

Interaksi perdagangan dengan Amerika dan negara-negara barat lain pada pertengahan abad ke-19 menyadarkan tokoh masyarakat yang peduli, bahwa Jepang sangat tertinggal jauh dibanding negara-negara maju pada masanya. Keterbelakangan tersebut memaksa Jepang menerima perlakuan tidak adil, seperti hak kekebalan politik warga negara Barat yang sedang bermukim di sana. Hak untuk menjatuhkan hukuman kepada pelaku-pelaku kriminal dari warga negara Barat dicabut, karena Jepang dinilai sebagai negara yang belum beradab sehingga penegakan hukum juga tidak sempurna.

Melihat betapa mirisnya keadaan negeri, sejumlah tokoh masyarakat kemudian mendirikan Asosiasi Reformasi Pola Hidup Jepang. Nilai-nilai positif seperti disiplin dan sopan santun diambil dari buku-buku luar negeri yang kemudian ditulis kembali agar bisa diadaptasikan pada seluruh elemen masyarakat. Pada tahun 1891, buku yang diberi judul Reformasi Adat di Jepang diterbitkan dan didistribusikan dengan harapan moral dan tata susila masyarakat bisa diubah menjadi lebih baik.

Perubahan kebiasaan hidup ke arah yang lebih positif berusaha ditanamkan pada masyarakat Jepang selama ratusan tahun. Perubahan sedikit demi sedikit, dari hal terkecil dalam kehidupan diatur sedemikian rupa demi negara yang lebih baik. Lalu, apa saja langkah yang mereka lakukan hingga Jepang bisa mencapai titik keteladanan seperti hari ini?

Bersambung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Salah?

Persiapan Keberangkatan (2)

Kail Pemancinh