Irasshaimase!

Irasshaimase! 

"Irassahimase!"
Sapaan itu bersahut-sahutan diucapkan oleh setiap pegawai ketika kami masuk ke kedai atau toko. Tak hanya dengan suara, mimik wajah mereka pun semringah, seakan-akan kami adalah orang yang sangat berharga dan dinanti-nanti. Lalu, semua pertanyaan dan kebutuhan yang kami inginkan berusaha ditanggapi selugas mungkin.

Begitulah budaya orang-orang Jepang menyambut pelanggan di tempat usahanya. Berusaha memberikan penyambutan sepenuh hati, melayani walau hanya satu sen pembelian. Tak hanya di Jepang, kita pun bisa mendapati metode pelayanan yang mirip, diberikan oleh perusahaan Jepang yang ada di Indonesia. Hampir semua usaha menerapkan demikian, sepertinya budaya ini berusaha diterapkan pada setiap elemen masyarakat. 

Belakangan kuketahui istilah ometonashi, yang dipopulerkan pada tahun 2013 oleh seorang penyiar bernama Christel Takigawa. Dalam penyampaian berita tengan olimpiade yang akan dilakukan di Jepang, sang penyiar menekankan budaya Jepang ometonashi dan menyatakan siap menyambut tamu dari berbagai negara dengan sebaik-baik penyambutan. 

Kata ini terdiri dari dua karakter kanji, yaitu: “omote” yang berarti “depan”, dan “nashi” yang berarti “tidak ada”. Istilah ini juga mengacu pada sesuatu yang dapat dilihat (terletak di depan) dan tidak dapat dilihat (seperti jiwa). Jadi, omotenashi berarti melayani tamu dengan sepenuh hati. (Sc : Panasonic.com) 

Filosofi ini tak hanya berlaku untuk interaksi antara pemilik usaha / pelayan kepada pelanggan, tapi juga antara tuan rumah dan sang tamu yang berkunjung. Keramahtamahan yang harus diberikan oleh sang tuan rumah harus benar-benar dari hati, dan menyeluruh. Namun istilah ini lebih banyak digunakan dalam manajemen pelayanan. Bahkan ada istilah “Okyakusama wakamisama” (artinya “Pelanggan adalah dewa”), serupa dengan istilah di Indonesia "Pelanggan adalah raja".

Dalam Islam, memberikan pelayanan sebaik-baiknya pada tamu yang berkunjung merupakan salah satu tanda iman seseorang. Selama tiga hari, seorang muslim wajib memuliakan tamu semampu mungkin. Seluruh kudapan terbaik yang ada di rumah, seyogianya diberikan tanpa perhitungan. 

Dalam sabdanya, Rasulullah bahkan mengaitkan sikap memuliakan tamu dengan keyakinan pada dua hal, yaitu iman kepada Allah dan hari akhir. 

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Sambutan yang hangat dan mimik wajah yang ceria akan melapangkan hati sang tamu dan membuat kedudukannya terhormat di sisi tuan rumah. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah ketika menyambut utusan dari bani Abdul Qois, 

مرحبا بِالْقَوْمِ، غَيْرَ خَزَايَا، وَلَا النَّدَامَى

Selamat datang para utusan, yang datang tanpa akan kecewa dan tidak akan menyesal." (HR Bukhari dan Muslim).

Begitu pula ketika menyambut putrinya yang bertandang ke rumah, beliau menyambut dan memuliakannya.  

"Selamat datang wahai putriku." (HR Bukhari dan Muslim).

Bahkan pada orang-orang kafir sekali pun, beliau menjamunya jika datang berkunjung ke rumah.

Dari Abu Hurairah, beliau berkata, “Seorang kafir datang bertamu kepada Rasulullah ﷺ. Maka beliau memerintahkan untuk mendatangkan seekor kambing untuk diperah, orang kafir itu lalu meminum perahan susunya. Lalu diperahkan dari kambing yang lain, dan ia meminumnya. Lalu diperahkan dari kambing lain lain, dan ia meminumnya lagi, hingga menghabiskan susu dari tujuh kambing. Keesoakan harinya orang itu masuk Islam." (Muwatta Imam Malik)

Tak hanya dari Rasulullah, sikap ini diteladani dengan baik oleh para sahabat. Seperti kisah sahabat Anshor yang dikenal dengan Abu Thalhah Al-Ansori. Bagaimana ia bekerja sama dengan sang istri untuk menjamu tamunya sedangkan ia juga tak punya makanan lebih yang mencukupi keluarganya. 

Tatkala Rasulullah menuju para sahabatnya, seraya berkata “Siapa di antara kalian yang bersedia menjamu tamu malam ini? Sesungguhnya ia akan memperoleh rahmat dari Allah Ta’ala,” ungkap Rasulullah.

Abu Tholhah segera menjawab, “Saya, ya Rasulullah. Biarkan tamu itu menginap di rumahku.” 

Tamu tersebut kemudian dibawa ke rumah sahabat Nabi. Sesampainya di rumah, sahabat Anshor itu menjelaskan perihal tamu yang dibawanya kepada sang istri, “Ya, istriku,. Tadi aku menyanggupi tawaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menjamu tamu yang sedang dalam kesulitan malam ini. Adakah makanan yang dapat kita berikan pada tamu kita itu?”

“Wahai suamiku, sungguh yang kita punya hanya makanan yang cukup untuk makan anak kita saja. Kalau disajikan, anak kita tidak makan malam ini,” 

“Kalau begitu, bujuklah anak kita untuk tidur lebih cepat agar dia tidak merasa lapar.”

“Tapi, makanan itu hanya cukup untuk satu orang saja,” jelas istri sahabat.

Maka beliau menyuruh sang istri memadamkan lilin begitu makanan disajikan. Dalam kegelapan, sahabat ini akan menemani sambil berpura-pura ikut makan agar tak menimbulkan rasa sungkan pada hati sang tamu. 

Dari sikap yang diambil, Rasulullah memujinya seraya berkata, “Allah kagum pada usaha kalian berdua menjamu tamu dengan baik.”

Sungguh, memuliakan tamu adalah adab yang sudah ditanamkan oleh Rasul kita sejak 14 abad yang lalu. Sebagai orang yang beriman, sudah seharusnya seorang muslim berdiri di garda terdepan, berusaha semaksimal mungkin memuliakan tamu. Baik tamu di rumah sendiri, maupun tamu-tamu pelanggan di tempat usaha kita. 

Jika mereka yang selalu menyambut sepenuh hati dengan semangat "Ometonashi", mari memuliakan tamu-tamu kita dengan mengharap ridha Allah ❤️

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Salah?

Persiapan Keberangkatan (2)

Kail Pemancinh