Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2022

Sejak 35 Tahun yang Lalu

"...Duka sangat mendalam atas kepergian beliau. Kehilangan aktifis dan penggerak dakwah Islam di SMA Negeri 2 dan di Fak Teknik Unhas sekitar tahun 1987..." Sekitar 1987.. Kata-kata itu kubaca berkali-kali. Terhitung hingga ajalnya tiba, beliau telah berkiprah dalam dakwah selama hampir 35 tahun masa hidupnya. Sosok teladan dalam dakwah adalah Ummiku sendiri. Walau tak terekspos di media mana pun, walau namanya mungkin tak seterkenal da'iyah yang lain, Ummi tetap konsisten menjalankan dakwah. Mengajarkan risalah agama yang dibawa sejak rasul-rasul terdahulu. Sebagai putri bungsunya, aku tahu kesibukan demi kesibukan mengejarnya tanpa henti. Mengurus rumah, mengurus kami yang beberapa kali acuh pada perintahnya, hingga mengurus masalah finansial yang lebih banyak minusnya. Namun di samping kesibukannya yang luar biasa, Ummi selalu menyempatkan waktunya untuk mengisi kajian. Bukan pada yang sisa, tetapi selalu jadi prioritas. Pada momen chat suatu waktu, kulontarkan per...

Boneka Pembangkit Semangat

Teman-temanku duduk berbaris sesuai arahan Ummi. Yang paling besar, berusia 150 tahun. Sedangkan yang paling kecil masih berusia dua tahun. Di ujung sana, kakakku yang terpaut dua tahun denganku duduk mengawasi. Masing-masing mendapat jatah buku tulis serta pensil yang sudah runcing. Sambil menatap papan tulis yang berisi coretan tangan Ummi, kami serius menyalin setiap yang diajarkan. Kadang kala, salah satu dari kami mengangkat tangan, bertanya tentang hal yang tidak dimengerti.  Begitulah bayanganku kala itu. Belajar bersama boneka adalah metode yang Ummi terapkan dalam kegiatan homeschooling kami. Begitu senangnya kami bermain boneka, hingga imajinasi yang tercipta kadang melampaui akal orang dewasa. Hal ini dimanfaatkan dengan baik, setiap hari Ummi mengadakan kelas yang mengikutsertakan seluruh boneka, tanpa terkecuali.  Aku dan kakakku selalu bertugas memberi "ruh" pada boneka-boneka tersebut. Mereka seakan-akan hidup, tertawa dan ikut belajar bersama kami. Tangan-tang...

Tulisan Tanpa Rekayasa

Sudah hampir setengah bulan tulisanku tentang Ummi terus berjalan hingga hari ini.  Di tengah perjalananku menulis ini, kegalauan menyelimuti. Bagaimana jika tulisanku tentangnya jelek? Bagaimana jika ada ingatanku salah? Bagaimana jika ada bagian yang tidak Ummi ridhai dibaca oleh banyak orang?  Beribu keraguan mendatangi setiap kali akan kugerakkan jari jemariku menulis tentang Ummi. Setiap dialog yang kubuat, setiap percakapan yang kuingat, apa memang seperti ini bentuknya? Apa tidak salah satu atau dua, yang bisa jadi mengubah maksud Ummi sesungguhnya?  Terkadang pula, rasa rindu yang teramat membuatku mengetikkan hal-hal yang terlintas dalam khayalan. Ummi bermain dengan Nusaibah, Ummi tersenyum melihat Nusaibah berhasil membaca surah Al-Fatihah, Ummi menghibur Nusaibah yang sedang sedih, dan lain sebagainya. Padahal tak sekali pun mereka sempat bertemu dan tatap muka langsung tanpa perantara. Tentu saja, buru-buru kuhapus tulisan tersebut sambil menseka air mata yan...

Mertua Perempuan vs Menantu Perempuan

"Ummi sepertinya mau kembali tinggal di Makassar. Nanti tinggal sama Zainab dan suaminya saja," kata Ummi melalui pesan chat.  Pagi itu aku mendapat pesan yang sedikit mengejutkan. Setelah hampir tiga tahun tinggal di Bandung, beliau memutuskan untuk kembali tinggal di tanah kelahirannya. Dari yang semula tinggal bersama kakak sulungku dan tingal di antara saudaranya, pindah ke Makassar tempatnya berkuliah dahulu.  Bandung, kota ini memang tempat yang nyaman bagi kami tinggali, bahkan seperti kampung kedua. Keempat saudara Ummi menetap di Bandung sejak kuliah, lalu menikahi keturunan sana. Kakak sulungku pun demikian, berkuliah dan menikahi gadis asli Ciamis yang menetap di Bandung. Sedangkan Makassar adalah kampung keluarga besar lainnya. Tante, dan om Ummi yang berjumlah belasan hampir semuanya tinggal di sana. Organisasi dakwah yang Ummi geluti sejak kuliah juga berpusat di sana.  Semula aku berpikir bahwa Ummi ingin kembali dekat bersama teman-teman seperjuangan. Mera...

Tali Silaturahmi

"Mamak itu sangat menjaga silaturahminya kepada orang lain, ya. Maasyaa Allah." Aku selalu setuju dengan pendapat Ummi mengenai mertuaku. Beliau senang berkunjung dan dikunjungi kerabat. Tipe manusia supel, orang baru akan merasa nyaman berbincang dengannya. Selain mudah akrab pada orang yang baru dikenal, beliau juga sering kali menjadi tempat curhat bagi siapa pun yang mengenalnya.  Dalam hal bergaul, Ummi sering merasa belum maksimal. Berbeda dengan sang mertua, Ummi bukan tipe yang memulai percakapan pada orang yang tidak dikenal. Juga bukan tipe yang mudah berbasa-basi mengisi waktu luang. Kami juga punya kekurangan yang sama terkait bergaul : sama-sama gampang lupa nama, apalagi jika yang bersangkutan sangat jarang bertemu.  Salah satu sahabatnya kerap memberi masukan, "Setiap kali bertemu orang baru, hafalkan ciri khasnya. Lalu pasangkan bersama namanya." Setelah menjalankan tips ini, kami sedikit lebih mudah menghafalkan nama.  Walau merasa belum maksimal, b...

Kosong

Hari ini jemariku enggan menuliskan kata. Ia mengkhianati ikrarku sejak dimulainya 30DWC ini, bahwa aku akan mengenang teladan Ummi dalam hidupnya. Bahwa aku akan mengulang kembali memori-memori bersama senyuman.  Sayangnya, pada hari suamiku kerja perdana setelah kepergiannya, aku terus mengkhayal. Berkali-kali mengambil handphone dan mengetik nama kontak Ummi, mencari kolom chat yang sering kubuka ketika hanya berdua di rumah. Membuka aplikasi video call dan menatap satu per satu barisan nama. Tak ada telpon yang masuk.  Bermain bersama Nusaibah, berusaha seceria mungkin di hadapannya menjadi jalan pelarianku. Tidak, setitik air mata pun tak jatuh sejak pagi tadi. Namun ketika Nusaibah telah tidur dan rumah kembali sepi, keyboard Ummi yang sengaja kubawa dari Indonesia memanggil-manggil. Menagih hutang tulisan hari kesepuluh yang enggan kutulis sejak tadi.  Bukan rasa sedih, tetapi hampa. Hati ini terasa kosong, ingin rasanya berbincang pada siapa pun itu. Namun sungkan...

Nasehat Penuntut Ilmi

Dalam suatu percakapan video call, pembahasan yang ngalor ngidul mengantarkan kami membahas satu permasalahan yang sering dirasakan oleh para penuntut ilmu. Merasa berat dan cepat bosan ketika belajar. Penyakit para penuntut ilmu khususnya bagi seorang murid formal di suatu sekolah atau kampus yang memiliki kelas dan tugas rutin adalah merasa seluruh kegiatannya rutinitas belaka. Di antara mereka, akan ada yang merasa rutinitas tersebut beban, berangkat sekolah menjadi sesuatu yang sangat berat untuk dilakukan. Sebab hadir di kelas kuliah diniatkan hanya mengisi persyaratan absensi. Akibatnya, mata pelajaran yang diajarkan tak lebih dari dongeng pengantar tidur. Masuk di telinga kanan dan keluar kembali dari telinga kiri. Bangku kelas terasa panas dan waktu berjalan sangat lambat, lonceng waktu pulang menjadi nyanyian paling merdu di telinganya. Ummi sendiri mengaku pernah melewati masa-masa tersebut. Ketika duduk di bangku kuliah, beliau merasa salah jurusan. Berbagai mata kuliah y...

Ummi Lagi Apa?

Ummi, lagi apa?  "Ummi terbangun tadi jam 2, nda bisa tidur kembali jadi akhirnya shalat lail. Mau tidur dulu sedikit sebelum subuh nah." Ummi, lagi apa?  "Ummi lagi murojaah mau nyetor hafalan sebentar habis magrib. Dina mau dengarkan? Koreksi yang salah nah." Ummi, lagi apa?  "Ummi lagi ngezoom dulu nak, dengar ceramah ust fulan. Dina ikutmi juga, bagus ini pembahasannya tentang sejarah Turki Usmani." Ummi, lagi apa?  "Ummi mau pergi dulu tarbiyah nah. Sudah hampir telat ini, ditunggu dari tadi sama ammah-ammah. Nelponnya sebentar lagi yaa." Ummi, lagi apa?  "Ummi mau isi dulu ini pengajian tajwid dan tahsin ibu-ibu. Maasyaa Allah semangat mereka mempelajari Al-Quran walau masih terbata-bata, Ummi juga jadi ikut semangat. Dina nanti sekali-kali isi juga nah di sana."  Ummi, lagi apa?  "Ummi habis nonton Youtube channel ust Fulan. Ternyata... (Menjelaskan isi ceramah yang barusan didengar)" Ummi, lagi apa?  "Ummi sebenta...

Teladanku Menuntut Ilmu

Sejak dahulu, Ummi selalu menanamkan bahwa belajar adalah kegiatan yang takkan ada akhirnya. Berapa pun usia, di mana pun tinggal, setiap muslim wajib menuntut ilmu. Khususnya ilmu agama yang menjadi petunjuk kehidupan sehari-hari. Beliau banyak mengamalkan banyak adab penuntut ilmu. Salah satu yang paling tampak adalah mulazamah terhadap seorang guru. Mulai dari tahun 1987 hingga detik-detik menjelang ajalnya, beliau tetap duduk di majelis ilmu yang sama dengan guru yang sama. Selama 35 tahun beliau bermulazamah, tanpa menutup pintu-pintu majelis ilmu lainnya. Bermulazamah terhadap seorang guru merupakan anjuran para ulama, agar ilmu yang didapatkan lebih melekat dan nasehat yang didapatkan lebih mengena. Walau telah menyelesaikan sarjananya, beliau sempat mengambil kursi kuliah lagi di Sekolah Tinggi Bahasa Arab (STIBA) Wahdah Al-Islamiyyah Makassar. Menjadi mahasiswa yang paling senior di antara kawan-kawan sekelasnya tak menghalangi prestasi belajarnya, beliau selalu menduduki ...

Ngerawat Diri, Mestikah?

Hari Senin kemarin, aku mendapat kesempatan ke salon kembali setelah hampir tiga tahun tak menginjakkan kaki di sana. Kedatanganku pada siang itu ke tempat yang mengeluarkan wangi-wangian khas mengajakku bernostalgia, berjalan-jalan menulusuri lorong waktu. Di depan pantulan diriku yang sedang dikerja oleh sang stylist, aku mengenang pertama kali kumengetahui tempat sejenis ini. Masih SMP kalau tak salah ingat, saat itu aku hanya menemani Ummi memotong rambutnya. Sering melihat salon-salon terbuka di mall, di situlah aku baru tahu kalau ada salon khusus muslimah yang tertutup dan aman bagi perempuan berhijab. Istilah-istilah salon kutanya satu per satu pada kakak penjaga salon yang sangat ramah. Crembath, facial hingga perawatan ratus tak ketinggalan satu pun. Setelah beberapa kali hanya menemani, Ummi menawariku untuk mencoba salah satu treatment. Saat itu aku telah duduk di bangku SMA. Aku memilih creambath, sepertinya seru merasakan sensasi pijat di kepala. Nyatanya, aku terus mem...

Kami Kembali

Suhu Kairo terasa dingin tatkala kaki melangkah keluar dari gedung bandara. Tulisan papan "kedatangan" berbahasa Arab terlihat tepat di depan pintu keluar. Suara obrolan berbahasa Ammiyyah terdengar di mana-mana, termasuk dari sang petugas bandara yang berusaha mengatur para penjemput agar tak mendesaki gerbang dan menghalangi para pendatang.  Kami menghampiri penjemput yang terlihat berbeda. Selain karena wajah asianya yang tak seperti kebanyakan penduduk Mesir, ia juga tak mendesaki gerbang, hanya duduk tenang di salah satu kursi yang telah disediakan. Melihat kami datang, ia segera mengambil alih trolley yang penuh barang dan mengantar ke tempat mobilnya diparkir. Setelah memastikan seluruh bawaan masuk bagasi, mobil pun meluncur ke rumah kami di Tabbah.  Rumah yang telah ditinggal pemiliknya pulang kampung selama dua bulan itu terlihat cukup bersih. Salah satu temanku ternyata sempat membersihkannya dua hari yang lalu, hanya sedikit katanya. Kebaikan yang sangat berarti, ...

Tulisan Tanpa Konsep

Sebenarnya aku sudah sangat lelah. Badan remuk karena harus menggendong anak 23 bulanku seharian. Menyelesaikan persiapan kepulangan ke tanah kelahiran putri sulungku di bumi Kinanah.  Keikutsertaanku di 30 DWC jilid 39 ini punya permulaan berat di lima hari pertama. Harus menyelesaikan 200 kata per hari dengan tema yang sama dalam keadaan bersafar. Mengadakan perjalanan antar kota kemudian menghabiskan 12 jam di atas pesawat.  Namun aku ingin tetap menuliskan tentang Ummi. Di keadaan lelah seperti ini, wejangannya selalu mengembalikan energi. Doa-doa terpilin menambah harapan, memberi kekuatan baru untuk terus maju apa pun rintangannya.  Banyak hal yang ingin kuceritakan padanya. Bahwa Nusaibah telah menghafal surah Al-Fatihah dan Al-Ikhlas. Bahwa Nusaibah dan sepupunya Daffa sangat akrab, tapi juga sering bertengkar. Bahwa mertuaku di Kendari senang meminum herbal seperti yang biasa Ummi lakukan.  Akhirnya aku hanya mampu bercerita di sini. Sekarang di tempat Ummi ...

Semua Milik Allah

Gambar
Pertama kali mengunjungi tempat jasad Ummi terakhir kali bersemayam di dunia ini, membuatku memutar seluruh nostalgia yang pernah terlewati. Betapa pun rindu yang kutumpuk bertahun-tahun menggunung tinggi, pelukan hangatnya tak lagi bisa kurasakan kini.  Kuburan yang masih basah, 11 hari yang lalu ia masih tertawa mendengar suara sang cucu. Membayangkan pertemuan mereka pertama kali di dunia yang ternyata ditakdirkan tak pernah terjadi, membuat linangan dari mataku terus terjun deras.  Namun akhirnya air mataku berhasil berhenti. Diingatkan oleh sebaris pertama yang tertulis di nisan Ummi.  Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.  Kami adalah milik Allah dan sesungguhnya padaNya lah kami kembali.  Tempat kembali sesungguhnya ternyata tak ada di dunia ini. Selama ruh masih diberi waktu di dunia ini, selama itulah kita tetap harus bergerak. Tak ada tempat kembali, kecuali pada Allah.  Harapan akan pertemuan di masa kembaliku ke tanah kelahiran bukanlah takdir yang...

Alasanku untuk Tak Mati

Di usia yang belum genap 17 tahun, aku pernah merasa bahwa hidup tak ada gunanya. Sepertinya kematian lebih nyaman bagiku kala itu. Seandainya bunuh diri tak memasukkan diri ke neraka, jika saja ada jaminan bahwa kehidupan setelah kematianku berakhir bahagia, aku akan dengan senang hati mengakhiri hidupku saat itu juga. Toh, walaupun teman-temanku mungkin akan kaget, keluarga juga akan berduka paling lama tiga hari, kehidupan mereka akan kembali berjalan normal. Hadirku tak begitu memberi pengaruh pada mereka, bahkan aku merasa bahwa ada dan tiadaku tak begitu berarti. Sikapku yang sering menutup diri dari kehidupan sosial akan menambah poin plus, mereka tak akan kehilangan.   Abi akan tetap menjalani hidup bersama keluarga barunya. Ia takkan lagi terbebani oleh berbagai tuntutan dari kiri kanan sebab pemenuhan kebutuhanku. Kakak-kakakku akan melanjutkan pendidikan mereka, yang memang sudah jauh dari tempat tinggalku. Aku hanya menjadi beban, ketiadaanku akan melegakan bukan?...

Sang Peniru Ulung

Masih kenal dengan Musa Laode Abu Hanafi sang hafiz cilik yang memenangi kompetisi hafiz Indonesia tahun 2014 silam? Di usianya yang belum genap 6 tahun, ia nyaris menyelesaikan hafalan Al-Qurannya. Jika ditanya tentang itu, hafiz cilik yang berasal dari Bangka ini selalu menjawab "Masih kurang satu!" Menurut hasil wawancara, ia telah menghafal sejak sangat belia. Di golden age dua tahun pertamanya, sebanyak dua juz Al-Quran berhasil dihafalkan. Lalu menyelesaikan 21 juz selanjutnya dalam rentang waktu kurang dari 2 tahun. Ketika tampil di acara TV yang mengharumkan namanya, ia telah mengumpulkan 29 juz di dada. Aku baru saja duduk di bangku SMA ketika namanya keluar sebagai juara pertama kompetisi hafiz cilik. Dalam benakku, anak ini ajaib. Semuda itu telah hafal 29 juz, sedangkan otakku yang sudah hidup 15 tahun tetap kesulitan mengumpulkan hafalan walau sekadar satu juz. Ketika menikah dan memiliki anak, banyak mencari tahu tentang parenting membuat pandanganku sedikit ...

Sudahkah Engkau Bersujud Kepada-Nya, Mensyukuri Nikmat-Nya, Anakku?

Oleh : Erna Manimbangi Perjalanan hidupmu sudah genap memasuki angka 12. 12 tahun bukanlah angka yang sedikit untuk mensyukuri segala nikmat-Nya kepadamu. Alhamdulillah, lantunkan itu sayang dalam setiap langkahmu. Jangan engkau lupakan segala pemberian-Nya kepadamu yang sungguh tak dapat dihitung walau seluruh temanmu engkau ajak untuk turut membantu, walau seluruh keluarga juga turut membantumu, bahkan walau seluruh manusia turut membantumu, tak dapat semuanya menghitung betapa banyak nikmat yang telah diberikan kepadamu sampai hari ini. Coba hitung sayang, sudah berapa liter udara-Nya yang engkau hirup secara gratis, tanpa bayar sama sekali, sejak engkau menangis untuk pertama kalinya di pagi 27 ramadhan, 27 Februari, 12 tahun yang lalu. Andai saja Allah menahannya tidak memberimu barang itu tiga menit saja, maka mungkin hidupmu tidak bertahan sampai genap 'dua belas' seperti hari ini. Ya...tiga menit saja udara tidak mengalir ke dalam paru-parumu, engkau akan kes...