Sesal
Dalam beberapa kurun waktu terakhir ini, aku selalu menuliskan hal-hal indah tentang pondok tempatku belajar. Bahasa Arab yang fasih, partner yang penuh pengertian, kesungguhan yang benar-benar terpatri dalam dada setiap santri hingga guru yang mengajar dengan ikhlas kutuangkan pada tulisan-tulisanku. Ditambah percikan rindu yang terus terluap, pondokku itu tergambar seakan tak ada cela padanya.
Kendati demikian, tak sedikit santri yang gugur di tengah perjalanan. Sekian persen memang karena gagal dalam ulangan tulis semesteran, sebagian lainnya mengundurkan diri dengan berbagai alasan.
Perang terhadap diri sendiri merupakan ujian pertama yang harus dihadapi sejak detik permulaan. Menyingkirkan bayang zona nyaman, dan terus bertahan di tengah badai perbedaan karakter adalah ujian berikutnya yang harus dilalui oleh seorang santri. Bayangkan, pelajar lulusan SMA dari Sabang hingga Merauke berkumpul dalam satu tempat. Gesekan yang timbul akibat keragaman kebiasaan dan budaya tentu takkan terelakkan.
Aku ingat bagaimana teman sekamarku menangis tersedu-sedu sesaat setelah mendapat teguran dari senior. Menurutku, senior itu telah berusaha semaksimal mungkin melembutkan intonasi suara. Namun wataknya yang memang sejak lahir sedikit keras dan tomboi, belum cukup ia samarkan di depan temanku yang begitu kemayu nan lembut. Katanya, belum pernah ia dimarahi dengan nada sekeras itu kecuali dari ayahnya ketika kemarahan berada di puncak. Mendengar penuturannya, aku langsung bisa membayangkan betapa "sepi"nya keluarga mereka jika dibandingkan dengan keluargaku yang cenderung ngapak dan blak-blakan.
Sejak itu, ia mengaku bahwa rasa sesal sedikit demi sedikit merasuki hatinya. Ia merasa salah memilih pondok. Seharusnya ia tetap tinggal di kampungnya, dan ikut perkuliahan yang ada di dekat sana. Padahal di mana pun kaki berpijak, di situlah adaptasi harus dilakukan. Perbedaan karakter yang jauh malah bisa menempa diri agar lebih menerima satu sama lain.
Begitulah setiap tempat pasti punya tantangannya masing-masing. Yang harus kita lakukan bukan mengganti karakter tempat tersebut, tetapi mengubah mindset kita terhadapnya. Berusaha fokus pada potensi kebaikan yang terkandung, dan menimalisir hal-hal negatif yang mungkin bisa didampakkan.
Mari belajar mengatur mindset dan beradaptasi. Sebab manusia takkan pernah berhenti adaptasi hingga liang lahat memakan jasadnya.
Komentar
Posting Komentar