Kemurnian Sebuah Angka

Jenjang SMAku adalah masa ketika kusadari bahwa kecurangan telah tumbuh subur di mana-mana. Saking suburnya, hal itu dianggap lumrah saja di tengah masyarakat. Tenaga pendidik yang seharusnya berpartisipasi memberantas malah ikut-ikut mendukung dari jauh.

Kecurangan bernama contek menyontek itu sudah terjadi sejak tahun pertamaku bersekolah. Beberapa oknum siswa yang ogah bersusah payah mengerjakan sendiri akan meminta contekan pada yang rajin. Mulai dari tugas sekolah, PR hingga ulangan kenaikan kelas. Ketika menolak, siswa rajin ini akan dikucilkan oleh teman-temannya. Bahkan dalam tahap yang parah, bisa terjadi perundungan atau bullying padanya.

Akibat diamnya orang-orang yang punya kuasa dan seharusnya menjadi teladan, diriku mulai menganggapnya sebagai kewajaran. Gak curang, kok. Toh semua orang juga melakukannya. Aku mulai memberi contekan secara suka rela, juga menyontek pada masa kritis. Hanya saja setiap melakukannya, rasa tak nyaman dalam hati harus berkali-kali kuabaikan.

Setelah usiaku mencapai akil baligh, akalku berusaha mencari tahu penyebab rasa tak nyaman tersebut. Ya, ternyata kasus contek menyontek memang tak dibenarkan dalam agama. Nilai tertera pada lembar ijazah yang seharusnya menjadi tolak ukur seseorang bukan sesuatu yang murni lagi. Begitu mudah para siswa lulus dengan nilai memuaskan dari hasil menyontek di bangku sekolahnya. Jika berlanjut, kebiasaan ini akan terbawa hingga dewasa dan merugikan banyak sekitar.

Aku berusaha mencegah hal ini, paling tidak di lingkungan kelasku. Yang ada malah diremehkan. Bapakku yang mendengar cerita ini bahkan berkata, "Ga usah terlalu idealis. Orang-orang emang dah terbiasa gitu!"

Kecurangan yang diwajarkan ini meresahkan. Hingga ketika aku diterima di Arraayah, kudapati lingkungan yang sangat kuidam-idamkan. Kegiatan contek menyontek tak punya ruang di sana, bagaimana pun bentuknya. Hukuman bagi yang melanggar bisa sampai di dropout, keluar tak terhormat.

Karena peraturan ini, lingkungan belajar yang tercipta pun sangat kondusif. Setiap individu mengandalkan diri sendiri dan berusaha semampu mungkin dalam menghadapi tugas maupun ujian. Hasilnya, nilai yang tertera pun bisa dipertanggung jawabkan. Ilmu yang para guru berikan bisa masuk dan tertanam maksimal.

Kebiasaan ini juga membangun karakter yang sportif dan jujur. Bukan hanya di lingkungan kelas, tetapi akan terbawa hingga di dunia kerja kelak. Poin positif ini sangat dibutuhkan Indonesia, agar bisa semakin berkembang dan maju di masa depan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa yang Salah?

Persiapan Keberangkatan (2)

Kail Pemancinh