Babang Galon
Sebagai pondok yang memperhatikan batas antar lawan jenis para santrinya, Arraayah memberlakukan peraturan yang cukup ketat. Penjaga area putri selalu memastikan hubungan kekerabatan yang ada dalam setiap kunjungan keluarga santri. Sesama santri laki-laki dan perempuan yang bersaudara pun punya kartu khusus yang harus diperlihatkan kepada satpam setiap akan bertemu.
Gerbang utama dan satu-satunyan untuk masuk ke area perempuan berada jauh di dalam, di antara rumah-rumah dosen yang sudah menikah. Jalanan setapak di depannya pun bukan jalan umum yang bebas dilalui. Hanya dosen berkeluarga dan mereka yang memiliki kepentingan dengan dosen yang boleh melaluinya. Tak heran jalanan yang cukup lengang ini seringnya hanya dilintasi kendaraan para dosen.
Karena keadaan ini, kami sangat jarang melihat atau bahkan bertemu santri laki-laki. Satu-satunya 'kesempatan' itu adalah ketika waktu pengantaran galon tiba.
Sumber air minum di pondok ini berasal dari mata air pegunungan. Keran-keran yang tersambung dengan filter terpasang di beberapa titik, siap diminum kapan saja. Namun keran ini tak dapat dijangkau sendiri oleh kami sebab letaknya yang berada di area putra. Tak mungkin kami bolak-balik melintasi area tersebut setiap hari. Alhasil, pondok mengatur kelompok-kelompok yang bertugas mengantar galon ke area putri. Kami sering menyebutnya, babang galon.
Dua sampai tiga hari sekali, pintu gerbang akan dibunyikan cukup keras. Beberapa saat kemudian, truk yang mengangkut belasan hingga puluhan galon masuk dan berhenti di depan asrama. Pengantarnya bahu membahu menurunkan muatannya dengan cepat. Sebelum berbalik, mereka biasanya singgah sebentar di dapur, mencomot sedikit lauk yang tersisa pada hari itu.
Apakah 'kesempatan' ini dimanfaatkan dengan baik oleh santri putri? Ya, kami memanfaatkan kesempatan untuk bersembunyi! Rasa malu membuat kami terbirit-birit masuk gedung mana saja ketika pertanda itu telah dibunyikan. Sang babang galon juga tentu merasa terganggu jika melihat kami, berusaha menyelesaikan tugasnya secepat mungkin.
Peraturan yang pondok tetapkan takkan ada gunanya tanpa ilmu yang mendasarinya. Santri akan berbuat apa saja demi melanggar peraturan tersebut. Namun jika pondasi ilmu yang terbangun cukup kokoh, tak perlu pendisiplinan ketat untuk membangun aturan tersebut. Pondok cukup mengumumkan, santri akan melaksanakannya sepenuh hati. Sebab di hati-hati mereka, aturan tersebut bukan untuk mengekang, tetapi agar diri-diri mereka tetap terjaga dalam batasan kebaikan.
Komentar
Posting Komentar